Syariah

Kapan Dianjurkan Mengulang Shalat Fardhu?

Sel, 15 Oktober 2019 | 06:30 WIB

Kapan Dianjurkan Mengulang Shalat Fardhu?

Secara umum ada enam persyaratan yang harus dipenuhi dalam kesunnahan mengulang kembali shalat fardhu yang harus dilakukan.

Tiap umat Islam wajib melaksanakan shalat lima waktu (Subuh, Zuhur, Asar, Maghrib, dan Isya’) dalam sehari. Kewajiban masing-masing shalat itu sudah terpenuhi manakala sudah ditunaikan satu kali saja menurut cara yang diabsahkan syariat.
 
Sehingga ketika salah satu dari shalat fardhu yang telah dilaksanakan oleh seseorang diulang kembali, maka status shalatnya sudah bukan menjadi wajib, tapi berubah menjadi ibadah sunnah. Anjuran mengulang kembali shalat fardhu berdasarkan salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Yazid bin al-Aswad:
 
عَنْ أَبِيهِ قَالَ : صَلَّيْنَا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- الْفَجْرَ بِمِنًى ، فَجَاءَ رَجُلاَنِ حَتَّى وَقَفَا عَلَى رَوَاحِلِهِمَا ، فَأَمَرَ بِهِمَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَجِىءَ بِهِمَا تُرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا ، فَقَالَ لَهُمَا :« مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَ النَّاسِ؟ أَلَسْتُمَا مُسْلِمَيْنِ ». قَالاَ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا صَلَّيْنَا فِى رِحَالِنَا. فَقَالَ لَهُمَا: « إِذَا صَلَّيْتُمَا فِى رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا الإِمَامَ فَصَلِّيَا مَعَهُ ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ »
 
“Kami shalat Subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Tanah Mina.  Lalu datang dua orang lelaki, mereka berdiam di atas kendaraan mereka (tidak ikut shalat). Lalu Rasulullah memerintahkan untuk memanggil mereka berdua. Dua orang lelaki itu pun terlihat gemetar ketakutan, Rasulullah berkata pada dua lelaki tersebut: ‘Mengapa engkau tidak ikut shalat bersama orang-orang? Bukankah engkau orang muslim?’
 
‘Benar wahai Rasulullah, kami telah melaksanakan shalat di tempat kami,’ jawab dua lelaki tersebut.
 
Rasulullah lalu berkata: ‘Jika kalian sudah shalat di tempat kalian, lalu kalian mendatangi imam (shalat jamaah), maka ikutlah shalat bersamanya, sesungguhnya shalat yang kalian lakukan adalah shalat sunnah’ (HR. Baihaqi).
 
Namun mengulang kembali shalat fardhu ini tidak selamanya merupakan sebuah anjaran yang disunnahkan, sebab terdapat berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi, agar seseorang dapat mengulang kembali shalatnya.
 
Mengulang kembali shalat atau yang biasa dikenal dengan istilah i’adah, hanya disunnahkan tatkala dalam shalat yang pertama terdapat sebuah kekurangan atau kecacatan dalam kesempurnaan shalat yang tidak sampai berakibat pada batalnya shalat tersebut. Misalkan seperti shalat pertama dilakukan tidak dalam keadaan berjamaah, shalat pertama tidak dilakukan di masjid dan lain sebagainya. Sehingga shalat fardhu yang diulang kembali harus lebih sempurna (akmal) jika dibandingkan dengan shalat yang pertama. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji:
 
أما الإعادة: فهي أن يؤدي صلاة من الصلوات المكتوبة، ثم يرى فيها نقصا أو خلل في الآداب أو المكملات، فيعيدها على وجه لا يكون فيها ذلك النقص أو الخلل. وحكمها: الاستحباب. ومثال ذلك أن يكون قد صلى الظهر منفردا، ثم يدرك من يؤدي هذه الصلاة جماعة، فيسن أن يعيدها معه. والفرض بالنسبة له هو الصلاة الأولى، وتقع الثانية نافلة.
 
“Adapun i’adah adalah ketika seseorang telah melaksanakan shalat fardhu, lalu melihat terdapat suatu kekurangan, kecacatan dalam etika shalat atau kesempurnaan shalat, kemudian ia mengulang kembali shalatnya dengan pelaksanaan yang tidak terkandung kekurangan dan kecacatan.
 
Hukum mengulang kembali shalat dalam keadaan demikian adalah sunnah. Misalnya seperti seseorang yang telah melaksanakan shalat dengan sendirian, lalu ia menemukan orang lain yang melakukan shalat secara berjamaah, maka ia disunnahkan untuk mengulang kembali shalatnya secara jamaah. Shalat fardhu baginya adalah tetap shalat yang pertama, dan shalat kedua menjadi shalat sunnah” (Dr. Musthofa al-Khin, Dr. Musthofa al-Bugha, Ali as-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji, juz 1, hal. 74).
 
Selain ketentuan di atas, terdapat pula lima persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk dianjurkannya mengulang kembali shalat fardhu, kelima syarat tersebut disebutkan dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin berikut ini:
 
وحاصل ما ذكره صراحة من شروط سن الاعادة ثلاثة: كونها في الوقت، وعدم زيادتها على مرة، وسيذكر الثالث، وهو نية الفرضية. وبقي من الشروط: كون المعادة مؤداة لا مقضية. وكون الاولى صحيحة وإن لم تغن عن القضاء كمتيمم لبرد.
 
“Kesimpulan yang dijelaskan para ulama’ bahwa mengulangi shalat dihukumi sunnah dengan tiga syarat. Pertama, shalat i’adah dilaksanakan pada waktu shalat. Kedua, mengulang shalat tidak melebihi dari sekali. Ketiga, dilaksanakan dengan niat fardhu. Dan masih terdapat syarat lain (syarat keempat) yakni shalat yang diulangi merupakan shalat ada’ (shalat pada waktu itu) bukan shalat qadha’. Dan syarat kelima, shalat yang pertama adalah shalat yang sah, meskipun masih butuh untuk diqadla’, seperti halnya shalatnya orang yang bersuci dengan tayamum karena faktor kedinginan” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 9).
 
Jika salah satu dari berbagai persyaratan yang dijelaskan di atas tidak terpenuhi, maka mengulang kembali shalat fardhu menjadi tidak disunnahkan untuk dilakukan: 
 
أما إذا لم يكن في الأولى خلل أو نقص، ولم تكن الصلاة أتم من الأولى، فلا تسن الإعادة
 
“Jika pada shalat yang pertama tidak terdapat suatu kecacatan atau kekurangan, dan shalat yang diulangi tidak lebih sempurna dari shalat yang pertama, maka tidak disunnahkan untuk mengulangi shalat” (Dr. Musthofa al-Khin, Dr. Musthofa al-Bugha, Ali as-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji, juz 1, hal. 74)
 
Maka secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat enam persyaratan yang harus dipenuhi dalam kesunnahan mengulang kembali shalat fardhu yang harus dilakukan. 
 
Pertama, shalat kedua harus lebih sempurna dari shalat yang pertama. Kedua, shalat i’adah harus dilakukan pada waktu shalat tersebut masih ada, sehingga tidak disunnahkan mengulang kembali shalat fardhu tatkala waktu shalat tersebut telah habis. Misalkan seperti i’adah shalat Zuhur di waktu ashar, maka hal tersebut tidak dianjurkan.
 
Ketiga, mengulang shalat hanya satu kali saja. Keempat, shalat i’adah meski sejatinya merupakan shalat sunnah, tapi pelafalan niatnya harus dengan niat fardhu. Maka dalam lafal niat shalat i’adah sama persis dengan niat shalat fardhu yang dilakukan pertama, yakni sama-sama wajib menyertakan lafal “fardha”, misalkan dalam shalat Zuhur niat yang diucapkan adalah ‘Ushalli fardha adz-dzuhri arba’a raka’atin mustaqbil al-qiblati fardhan lillahi ta’ala’.
 
Kelima, shalat yang diulang adalah shalat ada’ bukan shalat qadha’, sehingga tidak dianjurkan mengulang shalat yang berstatus sebagai shalat qadha’, seperti ketika seseorang melaksanakan shalat subuh terlalu siang, maka ia cukup melakukannya satu kali saja, sebab tidak dianjurkan baginya untuk mengulang kembali shalat subuh tersebut.  Keenam, shalat fardhu yang pertama harus berstatus sebagai shalat yang sah, maka ketika dalam shalat yang pertama ternyata diketahui terdapat hal yang membatalkan, maka wajib baginya mengulang kembali shalat tersebut bukan berstatus sebagai shalat i’adah yang sunnah, tapi sebagai shalat fardhu yang wajib. Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember