Sirah Nabawiyah

Tragedi Karbala, Asyura, dan Nasihat Ulama atas Konflik Politik Berdarah

Sel, 9 Agustus 2022 | 11:30 WIB

Tragedi Karbala, Asyura, dan Nasihat Ulama atas Konflik Politik Berdarah

Tragedi Karbala merupakan fakta sejarah yang sudah dicatat sejumlah sejarawan dan akan disampaikan terus menerus. (Ilustrasi: via n-num.com)

Hari Asyura atau 10 Muharram merupakan momen penting bagi umat Muslim. Sejumlah riwayat mencatat setidaknya ada 12 peristiwa bersejarah yang terjadi pada hari tersebut seperti diciptakannya Nabi Adam, diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Firaun, diselamatkannya Nabi Yunus setelah sekian lama berada di dalam perut ikan, dan lain sebagainya. 


Salah satu peristiwa penting pada momen Asyura adalah konflik berdarah antara kelompok Yazid bin Muawiyah dan Husein bin Ali yang dikenal dengan Tragedi Karbala. Konflik yang mengakibatkan terbunuhnya cucu Nabi ini merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya, yaitu Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan dari Bani Umayyah dan Ali bin Abi Thalib sang khalifah. 


Mulanya Muawiyah menuntut Ali agar segera mengusut pembunuh Utsman bin Affan. Karena Ali belum juga bertindak dengan alasan situasi masih memanas, Muawiyah melakukan pemberontakan dan berusaha untuk merongrong serta merebut kursi kekhalifahan. Konflik kedua kubu ini terus berlanjut dan diwariskan kepada pemerintahan selanjutnya. 


Utamakan Prasangka Baik 

Bagaimanapun tragedi Karbala merupakan fakta sejarah yang sudah dicatat sejumlah sejarawan dan akan disampaikan terus menerus. Hal ini tidak menuntut kemungkinan memunculkan citra negatif terhadap sahabat Nabi, padahal kualifikasi mereka sebagai generasi Muslim terbaik. Bagaimana mungkin sekelas sahabat bisa sampai konflik saudara yang begitu memilukan? 


Bagaimana sikap terbaik kita terkait Tragedi Karbala? Padahal, sebagai Muslim kita dituntut untuk tetap menghormati dan berprasangka baik kepada para sahabat. 


Sejumlah ulama berwasiat kepada kita agar tetap menaruh prasangka baik. Sebab, berprasangka buruk terhadap para sahabat apalagi sampai mencacinya adalah haram. Imam an-Nawawi menjelaskan konflik berdarah yang terjadi antara sahabat Nabi tidak masuk dalam ancaman hadits yang menjelaskan jika dua pihak Muslim bertikai maka baik yang membunuh atau terbunuh akan masuk neraka. Berikut haditsnya: 


إِذَا الْتقَى الْمُسْلِمَانِ بسيْفيْهِمَا فالْقاتِلُ والمقْتُولُ في النَّارِ .قُلْتُ: يَا رَسُول اللَّهِ، هَذَا الْقَاتِلُ فمَا بَالُ الْمقْتُولِ؟ قَال: ” إِنَّهُ كَانَ حَرِيصاً عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ” متفقٌ عليه 


Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila dua orang muslim bertemu dengan membawa pedang maka orang yang membunuh dan yang dibunuh akan masuk neraka.’ Aku (Nufail) berkata, ‘Wahai Rasulullah, si pembunuh (layak masuk neraka), maka bagaimana dengan orang yang dibunuh (mengapa juga masuk neraka)?’ Rasul menjawab, ‘Karena ia juga ingin membunuh (berniat atau sengaja membunuh saat bertengkar) temannya.’” (Muttafaq ‘alaih) 


Alasannya, lanjut An-Nanwawi, prinsip ulama Ahlusunnah adalah mengedepankan prasangka baik terhadap para sahabat Nabi dan tidak terlalu berlebihan dalam membicarakan konflik di antara mereka. Kualifikasi para sahabat adalah mujtahid, sehingga keputusan mereka untuk berperang juga merupakan produk ijtihad. Dalam diskursus ijtihad, kelompok yang benar akan mendapat dua pahala sementara yang salah dimaafkan bahkan masih memperoleh satu pahala. (Imam Nawawi, Syarah Muslim, tanpa tahun, juz 18, h. 11) 


Rasulullah saw bersabda: 


إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ 


Artinya, “Ketika seorang hakim berijtihad kemudian dia benar maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad kemudian dia salah maka dia mendapatkan satu pahala.” (Muttafaq ‘alaih) 


Senada, Imam al-Qurthubi menegaskan, tidak boleh menilai sahabat Nabi sebagai orang yang benar-benar salah dalam keputusannya (dalam memerangi sesama Muslim). Sebab, dasar tindakan mereka adalah ijtihad yang tujuannya untuk mencari kebenaran sesuai perintah Allah swt, bukan dalam rangka bermaksiat dengan menuruti hawa nafsu. 


Sebagai Muslim, lanjut al-Qurthubi, cukup bagi kita mengisahkan kebaikan para sahabat karena mereka merupakan sosok-sosok yang harus dimuliakan. Selain itu, Nabi saw juga melarang kita untuk mencaci mereka bahkan Allah swt telah mengampuni dan meridhai para sahabat. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2006: juz 19, h. 382) 


Sementara Imam Ibnu Katsir mengatakan, konflik yang terjadi di internal sahabat Nabi terjadi karena dua hal yang dimaafkan. Pertama adalah karena ketidaksengajaan sebagaimana dalam kasus Perang Jamal dan kedua adalah karena ijtihad masing-masing pihak seperti dalam tragedi Perang Shiffin. 


Dalam konteks ijtihad, lanjut Ibnu Katsir, pasti ada pihak yang benar dan salah. Bagi mereka yang benar mendapat dua pahala sementara mereka yang salah dimaafkan bahkan tetap memperoleh satu pahala. (Ali Muhammad ash-Shallabi, Asmal Mathalib fi Sirati Amiril Mu’minin Ali bin Abi Thalib, tanpa tahun, h. 569) 


Hemat penulis, tragedi Karbala yang yang diwariskan dari konflik dua sahabat Nabi Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib disebabkan karena ijtihad masing-masing kelompok. Menurut Muawiyah, Ali tidak amanah sebagai pemimpin karena tidak segera mengeksekusi pelaku pembunuhan Utsman bin Affan sehingga harus dilengserkan. Sedangkan menurut Ali, Muawiyah telah telah dianggap melawan pemerintah yang sah sehingga harus diadili. 


Simpulannya, dalam menyikapi konflik di internal sahabat Nabi kita harus tetap kedepankan prasangka baik. Tindakan mereka tidak berangkat dari dorongan nafsu yang haus akan kekuasaan melainkan hasil pertimbangan matang. Kendati begitu, bukan berarti kita harus ‘mengultuskan’ para sahabat sebagai sosok yang dijamin terhindar dari dosa. Mereka tetap berpotensi melakukan maksiat sebagaimana manusia umumnya. 


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta