Sirah Nabawiyah

Urgensi Persaudaraan Kaum Muhajirin dan Anshar, Pilar Kedua Hijrah Nabi

Selasa, 12 Oktober 2021 | 00:00 WIB

Urgensi Persaudaraan Kaum Muhajirin dan Anshar, Pilar Kedua Hijrah Nabi

Urgensi persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar senago pilar kedua hijrah Nabi saw.

Setelah selesai membangun pilar pertama dakwah Islam di Madinah berupa Masjid Nabawi, sebagaimana dalam tulisan Pembangunan Masjid Nabawi sebagai Pilar Pertama Hijrah Nabi, langkah Nabi selanjutnya yang dilakukan oleh Nabi saw adalah membangun persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar yang berlangsung di rumah sahabat Anas bin Malik ra.

 

Saat itu terdapat 90 orang dari kalangan Anshar dan Muhajirin yang berkumpul. Nabi saw mempersaudarakan mereka satu persatu untuk saling menolong dan saling mewarisi. Misalnya, Ja‘far bin Abi Thalib ra dipersaudarakan dengan Muadz bin Jabal ra, Hamzah bin Abdul Muthalib ra dengan Zaid bin Haritsah ra, Abu Bakar as-Shiddiq ra dengan Kharijah bin Zuhair ra, Umar bin Khaththab ra dengan Utban bin Malik ra, Abdurrahman bin Auf ra dengan Sa‘d bin ar-Rabi’ ra, dan selainnya.

 

 

Persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar lebih kuat daripada ikatan nasab dan kerabat. Kemudian Nabi saw menegaskan persaudaraan di antara semua sahabat secara umum. Persaudaraan mereka diikat di atas prinsip yang sangat jelas, seperti hak saling mewarisi. Ketetapan ini tetap berlaku hingga akhirnya di-nasakh (dihapus) saat Perang Badar Kubra, yaitu saat turun ayat:


وَأْوْلُواْ الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

 

Artinya, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Anfal: 75).


Ayat ini me-nasakh ketetapan yang berlaku sebelumnya. Artinya, hak waris berdasarkan persaudaraan Islam tidak berlaku lagi. Hak waris dikembalikan lagi berdasarkan persaudaraan sedarah dan kekerabatan, meskipun secara hakiki kaum muslimin tetap bersaudara satu sama lainnya. Sebelum turunnya ayat di atas, kaum Muhajirin bisa mewarisi harta peninggalan kaum Anshar karena persaudaraan yang telah dijalin oleh Nabi saw di antara mereka, meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah dan kekerabatan.

 


Urgensi Persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar

Persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar inilah pilar kedua yang ditegakkan Nabi saw dalam membangun masyarakat Muslim dan negeri Islam. Menurut Syekh Said Ramadhan al-Buthi kitab Fiqhus Sîrah an-Nabawiyah, urgensi persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar bisa dilihat dari tiga hal berikut.


1. Persaudaraan Menjadi Modal Utama Kemajuan

Negara mana pun mustahil dapat bangkit dan maju apabila rakyatnya tidak bersatu. Persatuan mustahil terwujud tanpa persaudaraan dan kasih sayang. Setiap komunitas yang tidak diikat dengan tali persaudaraan dan cinta kasih mustahil memiliki kesatuan pandangan dalam memegang prinsip hidup bersama. Selama persatuan hakiki tidak ditemukan pada suatu komunitas, selama itu pula suatu negara tidak bisa terbentuk dan berdiri tegak.

 

 

2. Persaudaraan Membentuk Masyarakat yang Saling Menolong

Suatu komunitas dapat dibedakan dari sekumpulan orang yang tercerai-berai dengan adanya satu hal, yaitu penegakan prinsip kebersamaan dan tolong-menolong antaranggota komunitas dalam berbagai sisi kehidupan. Jika kebersamaan dan tolong-menolong dijalankan sesuai prinsip keadilan dan persamaan, mereka bisa disebut masyarakat yang adil dan baik. Namun, jika kebersamaan dan tolong-menolong dijalankan untuk menindas dan berbuat zalim, maka mereka pantas disebut masyarakat yang zalim dan buruk.


Masyarakat yang baik berdiri di atas prinsip keadilan. Apa yang bisa menjamin keadilan bisa direalisasikan secara baik dan benar? Tidal lain adalah kekuatan yang sesuai fitrah manusia, yakni persaudaraan dan cinta kasih antaranggota masyarakat, baru setelah itu kekuasaan, dan undang-undang.


Menurut Syekh al-Buthi, kekuasaan sekuat apa pun tidak akan bisa mewujudkan prinsip-prinsip keadilan antarindividu jika tidak didasari persaudaraan dan cinta kasih yang tulus. Tanpa persaudaraan dan cinta kasih, prinsip-prinsip keadilan justru akan menjadi sumber kedengkian dan kebencian di antara individu. Jika hal itu terjadi, masyarakat akan dihancurkan oleh kezaliman dan kesewenang-wenangan.


Atas dasar itu, Nabi saw menjadikan persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar sebagai fondasi untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Semua itu kemudian diaplikasikan di tengah masyarakat yang diakui dunia memiliki sistem sosial paling unggul dan paling canggih pada zamannya. Tahap demi tahap, prinsip-prinsip keadilan itu berkembang dalam wujud hukum dan undang-undang yang bersifat mengikat. Namun semuanya tetap didasarkan atas fondasi utama, yaitu Ukhuwwah Islamiyah. 

 

 

3. Persaudaraan merupakan Nilai Universalitas Islam

Prinsip persaudaraan yang ditanamkan Nabi saw pada komunitas Islam di Madinah bukan sekadar slogan kosong yang diperbincangkan dari mulut ke mulut, melainkan kebenaran praktik yang terhubung langsung dengan realitas kehidupan dan relasi sosial antara kaum Muhajirin dan Anshar.


Berdasarkan persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar inilah Nabi saw memberi tanggung jawab kepada para sahabat, yang kemudian mereka tunaikan secara baik. Hal itu dibuktikan misalnya, dalam kisah Sa‘d bin ar-Rabi ra yang dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf ra. Saat Abdurrahman ra tiba di Madinah, Sa‘d ra menawarinya separuh harta dan rumahnya. Akan tetapi, Abdurrahman ra menolaknya dengan santun. Ia mengucapkan terima kasih dan meminta ditunjukkan jalan ke pasar Madinah untuk mencari nafkah secara mandiri.


Atas dasar persaudaraan itu pula Nabi saw sempat menetapkan hak waris bagi mereka, meskipun tidak memiliki hubungan nasab dan kekerabatan. Penetapan hak waris ini dimaksudkan agar persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar diwujudkan dalam tindakan nyata yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Penetapan itu juga agar mereka mengetahui bahwa persaudaraan dan cinta kasih bukan hanya slogan kosong, melainkan ajaran agung yang berdampak nyata sebagai pilar penting dalam upaya mewujudkan keadilan sosial.

 


Semua itu menegaskan kepada kita, agama Islam menjadi tali pengikat dan landasan utama bagi hubungan persaudaraan. Akan tetapi persaudaraan itu harus diperbarui dan dikuatkan lagi setelah hijrah, mengingat tuntutan keadaan dan berkumpulnya kaum Muhajirin dan Anshar dalam satu wilayah. Namun, pada hakikatnya, persaudaraan itu tak lain merupakan persaudaraan yang berdiri di atas landasan universalitas Islam, yang harus terus dikukuhkan dan diperbarui. Demikianlah persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar menjadi pilar kedua dakwah Islam setelah peristiwa hijrah Nabi saw ke kota Madinah. Wallâhu a’lam. (Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sîrah an-Nabawiyah, [Beirut, Dârul Fikr: 2012], halaman 161-163). 

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan. 


Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI