Syariah

4 Macam Gharim yang Berhak Mendapat Zakat dan Ketentuan Lengkapnya

Sen, 8 April 2024 | 03:30 WIB

4 Macam Gharim yang Berhak Mendapat Zakat dan Ketentuan Lengkapnya

4 macam gharim yang berhak mendapatkan zakat dan ketentuan lengkapnya. (NU Online).

Di antara delapan golongan yang berhak menerima zakat yang disebutkan dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 60 adalah gharimin, dari bentuk mufrad gharim. Dalam pengertiannya gharim adalah orang yang memiliki tanggungan utang. Karena itu, ia berhak menerima zakat selama utang tersebut belum dilunasi. 
 

Dalam menjelaskan pengertian gharim, ulama mengelompokkannya menjadi empat bagian, dan masing-masing memiliki ketentuan tersendiri:

  1. Orang yang utang untuk dirinya sendiri.
  2. Orang yang utang untuk mendamaikan perselisihan.
  3. Orang yang berutang untuk kepentingan maslahat umum.
  4. Orang yang memiliki tanggungan utang karena menanggung utang orang lain. 


1. Orang yang Berutang untuk Diri Sendiri 

Orang yang utang untuk keperluan pribadi berhak menerima zakat jika dalam keadaan tidak mampu melunasi utangnya dengan tiga ketentuan sebagai berikut:

  • Utang dilakukan untuk ketaatan atau hal-hal yang diperbolehkan dalam syariat
    Artinya utang dilakukan untuk (a) tujuan ketaatan, (b) tujuan yang diperbolehkan, (c) tujuan kemaksiatan namun dialokasikan untuk sesuatu yang diperbolehkan, atau (d) tujuan yang diperbolehkan meskipun kemudian digunakan maksiat.
     
    Jika utang dilakukan untuk tujuan kemaksiatan dan benar-benar digunakan untuk kemaksiatan, seperti berjudi dan minum-minuman keras, maka orang yang utang tidak berhak menerima zakat selama belum bertobat. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim, juz I, halaman 491).

    Jika ia telah bertobat dan diduga kuat benar-benar serius dalam tobatnya, maka terdapat dua pendapat. Menurut penulis kitab As-Syamil dan At-Tadzhib serta ditegaskan oleh Ar-Rafi’i ia tidak berhak menerima zakat. Sedangkan menurut An-Nawawi, Al-Jurjani, Ar-Rauyani, Al-Mahamili, orang tersebut berhak menerima zakat. (An-Nawawi, Raudhathut Thalibin, [Beirut, Maktabah Al-Islami: 1985], juz II, halaman 317).
     
  • Utang telah jatuh tempo
    Ketentuan kedua adalah utang harus sudah jatuh tempo dan harus segera dilunasi, sebagaimana pendapat yang dinilai paling benar (Al-Ashah) menurut Imam An-Nawawi.

    Sehingga jika utang belum jatuh tempo pelunasan, orang yang berutang tidak berhak menerima zakat pada tahun itu. (Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2019], juz II, halaman 216).
     
  • Membutuhkan bantuan untuk membayar utang
    Ketentuan yang ketiga adalah orang yang utang dalam kondisi membutuhkan bantuan. Artinya ia belum memiliki harta baik berupa uang maupun harta benda lain yang cukup untuk melunasi utangnya.

    Jika orang tersebut memiliki harta untuk melunasi utangnya, maka ia tidak berhak menerima zakat. Sedangkan jika ia memiliki harta yang hanya bisa membayar sebagian utangnya saja, maka ia berhak menerima zakat sesuai kekurangan utang yang belum dapat dilunasinya. 

    Adapun jika ia mampu bekerja untuk mencari uang dan melunasi utangnya, namun pada saat itu belum memiliki harta yang cukup, ia tetap berhak menerima zakat. Karena untuk menghasilkan uang dengan bekerja membutuhkan waktu, sedangkan utangnya sudah jatuh tempo dan harus segera dilunasi. (An-Nawawi, II/317).


2. Orang yang berhutang untuk mendamaikan perselisihan 

Bagian kedua adalah orang yang berutang dengan tujuan untuk mendamaikan perselisihan antara dua kelompok atau dua orang.
 

Semisal terjadi fitnah dan saling tuduh atas hilangnya suatu harta dan tidak dapat didamaikan. Akhirnya ada orang yang berutang untuk menggantikan harta hilang tersebut agar tidak lagi terjadi saling fitnah dan saling tuduh. 
 

Dalam hal ini, orang yang berhak menerima zakat adalah orang yang mendamaikan dengan cara berutang. Jika ia tidak berutang, semisal ia menggunakan uang pribadi untuk mendamaikan mereka, maka ia tidak berhak menerima zakat. 
 

Orang yang berutang dalam masalah ini berhak menerima zakat meskipun ia memiliki harta yang cukup untuk melunasinya. Artinya pada gharim bagian kedua tidak disyaratkan harus fakir dan membutuhkan. (Ad-Dimyathi, II/216).
 

3. Orang yang berhutang untuk kepentingan maslahat umum

Pembagian gharim ketiga adalah orang yang berutang untuk kepentingan kemaslahatan umum, yakni untuk kemanfaatan yang dirasakan banyak orang. Seperti orang yang berutang untuk biaya pembangunan masjid, jembatan, membebaskan tawanan perang, dan semisalnya. Orang ini berhak menerima zakat sesuai dengan ketentuannya. 
 

Adapun ketentuan untuk dapat menerima zakat, dalam gharim bagian keiga ini terdapat dua pendapat sebagai berikut: 

  • Pendapat pertama menyamakannya dengan orang yang berutang untuk kepentingan pribadi.
    Artinya ia berhak menerima zakat dengan ketentuan dalam kondisi fakir dan membutuhkan bantuan untuk dapat melunasi utangnya. Jika memiliki harta yang cukup untuk melunasi utangnya, maka ia tidak berhak menerima zakat.
     
  • Pendapat kedua menyemakannya dengan orang yang berutang untuk mendamaikan perselisihan.
    Artinya orang tersebut berhak menerima zakat meskipun dalam keadaan kaya dan mampu melunasi utangnya. Kecuali jika sudah ada uang yang siap untuk digunakan melunasi utang, maka ia tidak berhak menerima zakat. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2016], juz III, halaman 152).


4. Orang yang memiliki utang karena menanggung utang orang lain. 

Pembagian gharim keempat adalah orang yang memiliki tanggungan utang karena menanggung utang orang lain.

Artinya ia telah menyanggupi untuk membayarkan utang orang lain. Orang ini berhak menerima zakat dengan empat  rincian hukum sebagai berikut:

  • Pihak penanggung utang dan pihak yang ditanggung, keduanya dalam keadaan tidak mampu dan membutuhkan bantuan untuk melunasi utang.

    Dalam kondisi seperti ini, pihak penanggung utang berhak menerima zakat senilai harta yang dapat digunakan untuk melunasi utangnya. 
     
  • Pihak penanggung utang dan pihak yang ditanggung, keduanya dalam keadaan mampu untuk melunasi utang. Dalam kondisi seperti ini keduanya tidak berhak untuk menerima zakat.
     
  • Pihak penanggung utang dalam keadaan tidak mampu melunasi utang, sedangkan pihak yang ditanggung adalah orang yang mampu.

    Bila demikian, jika tindakan menanggung utang dilakukan atas persetujuan pihak yang ditanggung, penanggung utang tidak berhak menerima zakat. Sedangkan jika tindakan menanggung utang dilakukan tanpa persetujuan pihak yang ditanggung, ia berhak menerima zakat menurut pendapat yang benar (shahih). 
     
  • Pihak yang ditanggung utangnya dalam keadaan tidak mampu melunasi hutang, sedangkan pihak penanggung utang dalam keadaan mampu.

    Dalam kondisi seperti ini, pihak yang ditanggung berhak untuk menerima zakat, sedangkan pihak penanggung utang tidak berhak menerima zakat menurut pendapat yang paling benar (Al-Ashah). (Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2001], halaman 280).
 

Simpulan Hukum

Demikian penjelasan lengkap tentang gharim yang berhak untuk menerima zakat. Secara garis besar gharim ada empat yaitu:

  1. Orang yang utang untuk dirinya sendiri.
  2. Orang yang utang untuk mendamaikan perselisihan.
  3. Orang yang berutang untuk kepentingan maslahat umum.
  4. Orang yang memiliki tanggungan utang karena menanggung utang orang lain. 


Untuk mendapatkan hak zakat, masing-masing gharim harus memenuhi ketentuan sebagaimana telah dijelaskan. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar