Syariah

Bagaimana Islam Memandang Buzzer Politik yang Memfitnah dan Menghasut?

Jum, 3 November 2023 | 14:00 WIB

Bagaimana Islam Memandang Buzzer Politik yang Memfitnah dan Menghasut?

Ilustrasi: politik (freepik)

Sejak tahun 2014 ketika pemilihan umum (Pemilu) berlangsung di Indonesia, jasa buzzer mulai dilirik oleh aktor-aktor politik tanah air. Hal ini dikarenakan media sosial menjadi salah satu platform utama dalam kampanye politik. Buzzer dapat digunakan untuk menyebarkan informasi dan propaganda politik kepada masyarakat luas.

 

Istilah buzzer berasal dari bahasa Inggris yang berarti lonceng, bel atau alarm. Dalam Oxford Dictionaries, buzzer diartikan sebagai “An electrical device that makes a buzzing noise and is used for signalling”. Artinya buzzer adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk membunyikan dengungan guna menyebarkan sinyal atau tanda tertentu.

 

Dalam konteks media sosial, buzzer adalah orang yang menggunakan akun media sosialnya untuk menyebarkan informasi atau opini tertentu dengan tujuan tertentu. Tujuan buzzer dapat bermacam-macam, mulai dari mempromosikan produk atau jasa, mengkampanyekan suatu isu, hingga mempengaruhi opini publik.

 

Felicia Riris Loisa, dalam jurnal berjudul Peran Buzzer Politik dalam Aktivitas Kampanye di Media Sosial Twitter, Jurnal Koneksi Vol. 2, No. 2, Desember 2018, halaman 353, menyebut setelah 2014 profesi buzzer terbagi menjadi dua kategori, yaitu buzzer yang dilakukan dengan sukarela dan buzzer yang dilakukan dengan permintaan. 

 

Buzzer yang dilakukan dengan sukarela adalah buzzer yang membagikan informasi dan propaganda politik secara mandiri, tanpa arahan dari aktor politik tertentu. Buzzer ini biasanya adalah orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap politik dan ingin ikut serta dalam proses demokrasi. Serta memiliki prevensi politik tersendiri.

 

Sedangkan buzzer yang dilakukan dengan permintaan adalah buzzer yang bekerja untuk aktor politik tertentu. Buzzer ini biasanya dibayar untuk menyebarkan informasi dan propaganda politik yang telah ditentukan oleh aktor politik tersebut. Buzzer ini biasanya memiliki keterampilan dan pengetahuan yang lebih mumpuni dalam bidang media sosial dan komunikasi politik.

 

Biasanya buzzer yang dilakukan dengan permintaan ini yang dilirik oleh para aktor politik untuk memenangkan pilkada, pileg, hingga pilpres. Hal ini dikarenakan buzzer ini dapat menyebarkan informasi dan propaganda politik secara lebih efektif dan tertarget.

 

Lebih dari itu, buzzer jenis ini memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini publik secara lebih efektif. Para buzzer ini dapat menggunakan berbagai strategi, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye negatif, untuk memenangkan pemilihan.

 

Tak bisa dipungkiri, fenomena buzzer politik di Indonesia telah menimbulkan berbagai permasalahan, seperti penyebaran hoaks, polarisasi, dan menurunnya kepercayaan publik terhadap demokrasi.  Dalam wawancara i, berjudul Buzzer Politik dan Benalu Demokrasi, pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengatakan bahwa buzzer politik sering menggunakan metode doxing untuk menyerang lawan politik. Doxing adalah tindakan mengungkapkan informasi pribadi seseorang, seperti alamat, nomor telepon, atau data pribadi lainnya. Buzzer politik menggunakan doxing untuk menyerang lawan politik dengan cara membuat mereka malu atau terancam.

 

Lebih lanjut, para buzzer politik juga tak segan menenlanjangi karakter lawan politik dengan tindakan menyebarkan informasi negatif, baik itu benar atau tidak. Informasi negatif tersebut dapat berupa rumor, fitnah, atau informasi yang dipotong-potong untuk mengaburkan kebenaran.

 

Di Indonesia, para buzzer politik juga melakukan panggilan buruk, bulliying, body shaming, dengan menggunakan kata-kata kasar untuk menyerang seseorang yang dianggap berbeda politik. Panggilan buruk  digunakan untuk menyakiti dan membuat orang tersebut terlihat buruk di mata publik.

 

Ismail Fahmi mengatakan bahwa buzzer politik sering menggunakan metode-metode tersebut untuk "kill the messengers" untuk memengaruhi opini publik. Metode ini dapat digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau kelompok tertentu. Selain itu, metode ini juga dapat memecah belah masyarakat dan menciptakan iklim politik yang tidak sehat.

 

Sejatinya, metode-metode yang digunakan oleh buzzer politik dapat berdampak negatif terhadap demokrasi. Ulah buzzer tersebut, berimbas pada orang takut untuk menyampaikan pendapat di ruang publik, karena takut akan diserang oleh buzzer politik. Hal ini dapat menghambat kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat.

 

Lebih dari itu, buzzer politik juga menciptakan polarisasi. Buzzer politik sering menggunakan bahasa yang provokatif dan memecah belah untuk menciptakan polarisasi di masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat menjadi semakin terpecah dan sulit untuk mencapai konsensus, yang dapat berujung pada perpecahan dan konflik berdarah.

 

Pandangan Islam terkait Buzzer Politik yang Memfitnah dan Menghasut

Dalam Islam tindakan buzzer politik yang memfitnah dan menghasut termasuk perbuatan buruk dan tercela. Hal ini dikarenakan buzzer politik tersebut telah menyebarkan informasi yang tidak benar dan menyesatkan, mengolok-olok, merendahkan lawan politik serta dapat menimbulkan perpecahan dan konflik di masyarakat.
 

Syekh Abu Bakar Al-Jazairi, dalam kitab Aysarut Tafasir juz III, halaman 451, mengatakan dengan tegas bahwa haram hukumnya mengolok-olok dan menghina seorang muslim. Pasalnya, perbuatan tersebut dapat menyakiti hati orang lain, dan Allah SWT sangat membenci orang yang menyakiti orang lain, terutama sesama orang Islam.

 

حرمة السخرية بالمسلم والاستهزاء به والضحك منه

 

Artinya, “Hukumnya haram mengolok-olok, menghina dan menertawakan seorang muslim.”

 

Sementara itu Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Jawi Al-Bantani dalam kitab Mirqat Su’udit Tashdiq Syarh Sullamit Taufiq halaman menjelaskan bahwa setiap ucapan yang menyakiti orang Islam seperti mengolok-olok dan menghina termasuk perbuatan yang dilarang . Pasalnya, ucapan tersebut dapat menimbulkan perasaan sakit hati, malu, dan terhina pada orang yang dituju.

 

Karena itu, sebagai seorang muslim seyogianya berhati-hati dalam berbicara dan berperilaku agar tidak menyakiti hati orang lain. Kita harus selalu mengingat bahwa setiap orang memiliki perasaan dan harga diri, sehingga kita harus menghormati dan menghargainya.

 

والاستهزاء اي السخرية بالمسلم و هذا محرم مهما كان مؤذيا كما قال تعالى : (يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ), و كل كلام مؤذ له اي للمسلم كاءفشاء السر

 

Artinya, “Dan menghina, yaitu mencemooh orang Muslim, dan ini adalah hal yang diharamkan, tidak peduli seberapa menyakitkannya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok).” (QS Al-Hujurat:11). Dan setiap ucapan yang menyakiti  orang Islam adalah seperti menyebarkan rahasianya.” 

 

Lebih lanjut, terkait menyebarkan informasi yang tidak benar dan menyesatkan yang didengungkan para buzzer, juga masuk  dalam perbuatan su’u [tercela]. Pasalnya, hoaks dapat menimbulkan dampak negatif yang luas, baik bagi individu maupun masyarakat. Bagi individu, hoakas menimbulkan kerugian materiil maupun immaterial, seperti kehilangan pekerjaan, dirugikan secara finansial, atau bahkan kehilangan nyawa. Sedangkan dalam konteks bermasyarakat, penyebaran berita bohong dan menyesatkan dapat menimbulkan keresahan, kebingungan, bahkan konflik sosial .

 

Imam Al-Mawardi dalam kitab Adabud Dunya wad Din mengatakan kebohongan adalah sumber segala kejahatan karena dapat menimbulkan berbagai masalah. Ia berkata:

 

والكذب جماع كل شر، وأصل كل ذم لسوء عواقبه، وخبث نتائجه؛ لأنه ينتج النميمة، والنميمة تنتج البغضاء، والبغضاء تئول إلى العداوة، وليس مع العداوة أمن ولا راحة 

 

Artinya: "Dan kebohongan adalah sumber segala kejahatan, dan asal segala celaan karena buruknya akibatnya, dan busuknya hasilnya; karena ia menghasilkan fitnah, fitnah menghasilkan kebencian, dan kebencian mengarah pada permusuhan, dan tidak ada keamanan atau ketenangan bersama permusuhan". (Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Basri Al-Mawardi, Adabud Dunya wad Din, [Beirut, Darul Fikr: 1985], halaman 271).

 

Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya mewanti-wanti sebagai seorang muslim, seyogianya menghindari kebohongan dan mengisahkan hal-hal yang mengarah pada kesalahan-kesalahan interpretasi. Hal ini dikarenakan orang-orang awam seringkali tidak dapat memahami konteks atau situasi yang sebenarnya, sehingga mereka akan mudah terpengaruh oleh berita-berita yang tidak akurat atau menyesatkan. (Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr], juz i, halaman 37).  

 

Lebih dari itu, kebohongan dan berita yang menyesatkan dapat menyebabkan orang-orang awam mengambil keputusan yang salah. Misalnya, dalam konteks pemilu jika ada berita yang mengatakan bahwa seorang pejabat korupsi, tidak beriman, jarang shalat, dan tidak pro pada umat Islam, orang-orang awam mungkin akan langsung menyalahkan kandidat tersebut tanpa mengetahui kebenarannya. Hal ini dapat menyebabkannya kehilangan kepercayaan publik dan bahkan bisa kehilangan kesempatannya dalam kontestasi politik yang adil dan bersih.

 

Lebih dari itu, kebohongan dan berita yang menyesatkan dapat merusak hubungan antar manusia karena menimbulkan ketidakpercayaan dan konflik. Terlebih jika ketika kebohongan atau berita yang menyesatkan mengandung SARA, dampak ledaknya akan semakin kencang. Pasalnya, SARA hal yang sensitif dan dapat memicu emosi negatif, seperti kebencian dan kemarahan, yang dapat berujung pada konflik sosial yang dalam.

 

فاليحذر الكذب وحكاية احوال توميء إلى هفوات او مسهلات يقصر فهم العوام عن درك معانيها او عن كونها هفوة نادرة مردفة بتكفيرات متداركة بحسنات تعطى عليها فإن العامى يعتصم بذلك في مساهلاته و هفواته

 

Artinya, “Maka hendaklah hindari dari kebohongan dan menceritakan keadaan yang menyiratkan kesalahan atau kelalaian yang tidak dapat dipahami oleh orang awam, atau sebagai sebuah kesalahan yang sulit ditebus dengan perbuatan baik. Sebab orang-orang awam akan menjadikan berita tersebut sebagai tendensi atas perbuatan meremehkan dan kesalahannya.”

 

Dengan demikian, Islam memandang buzzer politik yang memfitnah dan menghasut dengan sangat negatif. Hal ini karena fitnah dan hasutan merupakan dosa besar dalam Islam. Semoga kita semua dapat terhindar dari fitnah dan hasutan, baik di dunia politik maupun di kehidupan sehari-hari.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman, Tinggal di CIputat Jakarta