Syariah

Dampak Harta dari Politik Uang pada Anak: Sombong dan Sulit Dinasihati

Rab, 25 Oktober 2023 | 18:00 WIB

Dampak Harta dari Politik Uang pada Anak: Sombong dan Sulit Dinasihati

Money politic. (Foto: NU Online/Freepic)

Pasca pendaftaran calon presiden dan wakil presiden beberapa hari ini, perbincangan politik di berbagai platform media sosial mulai menghangat. Utamanya ekspresi dukung-mendukung calon masing-masing. Namun masih sedikit sekali yang tertarik atau peduli pada politik dari sisi etika atau moral. Tampaknya perbincangan moral atau etika politik kalah gencar dengan perbincangan politik yang bersifat partisan.
 

Di antara etika politik yang sangat penting diketengahkan ke ruang publik adalah isu money politic (politik uang), jual beli suara, dan berbagai dampaknya yang hampir dipastikan akan mencoreng kualitas demokrasi yang dijalankan.
 

Sementara dalam kajian fiqih, politik uang hukumnya haram. Karena tindakan ini termasuk dalam kategori risywah atau suap yang diharamkan. Dikemas dalam bentuk apapun, dan direkayasa dengan niat apapun, seperti niat sedekah atau semisalnya, politik uang tetap haram hukumnya.
 

Lalu bagaimana bahaya politik uang ini bila sampai masuk ke perut manusia atau anak-anak kita?
 

Suatu ketika ada orang sowan kepada orang yang sudah masyhur menjadi waliyullah atau kekasih Allah. Namun ia sangat kaget, karena yang keluar dari dalam rumah saat itu adalah pemuda yang sangat angkuh dan sombong. Disapa dengan ucapan salampun, ia tidak mau menjawabnya. Ia makin heran dibuatnya. Padahal menjawab ucapan salam merupakan kewajiban. Apa iya ini anak wali, atau siapakah gerangan?
 

Tidak lama kemudian ia mendapatkan informasi bahwa pemuda sombong itu memang anak wali yang hendak disowani.
 

Ketika kemudian wali keluar rumah, dilihatnya sebagai sosok yang penuh rendah hati, tawadhu’ dan sempurna akhlakul karimah-nya, laiknya orang-orang saleh lain yang sering dijumpainya. Makin heran ia dibuatnya. Ada wali yang sangat sempurna akhlaknya seperti ini, kok bisa-bisanya punya anak yang sangat angkuh dan sombong. Menjawab salam yang hukumnya wajibpun enggan.
 

“Bagaimana bisa Syekh semulia ini punya anak seperti itu?"  gumamnya di hati.
 

Penasarannya pun tak lagi tertahan, sehingga ia nekat menanyakan kejanggalan itu kepada Syekh Wali.
 

“Tak usah heran. Sebab, sungguh aku pernah mengalami kelaparan beberapa hari. Karena sudah tak tertahankan, maka aku kabarkan kondisiku ini kepada tetanggaku. Lalu ia membawakanku bantuan makanan dari rumah pejabat, karena ia orang dekatnya," ungkapnya.
 

"Nah, setelah aku memakannya, tiba-tiba hasrat birahiku naik. Nah, anak inilah kiranya lahir dari energi makanan itu," jawab Syekh Wali berterus-terang.
 

Kisah selengakapnya dapat dibaca dalam kitab Al-Jawahir Al-Lu‘lu‘iyah karya Al-Jurdani. (Muhammad bin Abdullah Al-Jurdani, Al-Jawahir Al-Lu‘lu‘iyah fi Syarhil Arba’inan Nawawiyah, [Beirut, Darul Kutubil ’Ilmiyah: 1442 H/2021 M]), halaman 141.
 

Merujuk kisah ini, harta pejabat dalam konteks kisah di atas yang belum jelas halal haramnya atau berstatus syubhat saja, berisiko besar seperti itu, membuat anak yang lahir darinya sulit dinasehati, angkuh penuh kesombongan. Apalagi harta hasil politik uang yang jelas-jelas haram? Tentu lebih berisiko.
 

Seorang Muslim juga sudah sangat paham bahwa makanan haram, minuman haram, pakaian haram akan menghalangi doa-doanya. 


Hal ini sebagaimana kesaksian Abu Hurairah saat Nabi Muhammad saw menyebutkan ada orang yang telah melakukan perjalanan ibadah yang sangat panjang sampai tubuh dan pakaiannya berubah dekil dan berdebu, yang berdoa dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. “Ya Rabb, ya Rabb …”, tapi tak bisa terkabulkan doanya, karena makanannya, minumannya, dan pakaiannya haram. Demikian pula sejak kecil ia dikasih asupan makanan yang haram.
 

Fa-anna yustajabu lah (bagaimana bisa dikabulkan doanya)?”, tegas Nabi Muhammad saw di penghujung sabdanya.
 

Demikian hadits itu yang secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim. (An-Nawawi, Syarhul Arba’inan Nawawiyah, [Surabaya Al-Hidayah], halaman 43).
 

Merujuk ulama lain, ada berbagai macam hal yang membuat hati manusia menjadi prima, tapi yang paling ulama adalah memakan makanan yang halal. Karena makanan halal dapat mencerahkan hati dan membuatnya prima, sehingga cahaya hati inilah yang nantinya akan memancar pada aktivitas fisik seseorang, menolak berbagai kerusakan.
 

Sebaliknya, memakan makanan haram dan syubhat yang belum jelas halal haramnya membuat hati keras dan gelap. Sulit dinasehati dan enggan menerima kebaikan. (Al-Jurdani, Al-Jawahir, halaman 100-101).
 

Walhasil, politik uang sebagai bagian dari harta haram harus dihindari oleh pribadi Muslim yang baik. Apalagi yang sudah berkeluarga dan punya anak. Andai harta dari politik uang sampai masuk ke perut anak, maka jangan salahkan siapa-siapa, bila nanti anak menjadi sulit dinasihati, nakal, angkuh dan sombong, serta jauh dari akhlakul karimah. Wallahu a’lam.
 

Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online