Hikmah

3 Kisah Sahabat Nabi yang Tolak Politik Identitas

Sel, 31 Oktober 2023 | 19:00 WIB

3 Kisah Sahabat Nabi yang Tolak Politik Identitas

Ilustrasi politik identitas. (Foto: NU Online/Freepik)

Politik identitas merupakan gerakkan politik yang fokus pada perbedaan sebagai tenaga penggerak politik. Perbedaan tersebut didasarkan pada agama, ras, suku, bahasa dan lain sejenisnya.


Ketika perbedaan tadi dijadikan dasar oleh para pemimpin dalam menentukan kebijakan, maka cenderung akan terjadi ketidakadilan dan menimbulkan tindakan diskriminasi terhadap masyarakat yang berbeda, baik secara agama, ras, suku maupun bahasanya.

 

Menilik sejarah Islam, kita menemukan beberapa kisah khalifah yang berlaku adil terhadap semua masyarakat, baik muslim maupun non-muslim tanpa adanya tindakan diskriminasi dan kecenderungan politik identitas sebagai bagian dari kaum muslimin. Di sisi lain, ada juga raja yang pernah hidup di masa peradaban Islam dan melakukan diskriminasi terhadap orang kulit hitam.


Misalnya ‘Umar yang berlaku adil terhadap non muslim ahlu dzimmah di masa pemerintahannya. Dikisahkan ‘Amirul Mukminin Umar bin Khattab berpapasan dengan orang tua dari golongan ahlu dzimmah yang sedang meminta-minta uang dari pintu ke pintu.


‘Umar pun berkata kepada orang tua itu, “Kami tidaklah berbuat adil kepadamu, jika kami mengambil jizyah darimu di masa muda, lalu mengabaikanmu di masa tua.” 


Kemudian ‘Umar membayarnya uang dari perbendaharaan negara supaya uangnya dapat dimanfaatkan oleh orang tua tersebut. Lalu ‘Umar pun berkata, “Andai seekor unta mati tersesat di tepi sungai Efrat pun, aku takut Allah akan mempertanyakannya padaku di akhirat kelak.” (As-Suyuthi, Jami’ul Ahadits, jilid XXVI, hal. 475).


Dari cerita di atas, kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran bahwa seorang pemimpin haruslah adil dan tidak melakukan gerak politik yang mengedepankan identitas tertentu, apalagi berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dan kebutuhan mereka.


Dari kisah ‘Umar juga kita mendapatkan teladan, sebagai seorang pemimpin, ‘Umar merupakan sosok yang sangat amanah dan bertanggung jawab. Ia meyakini bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di akherat kelak. Oleh karenanya, sebisa mungkin ia memperhatikan masyarakat dan tidak membeda-bedakan mereka dalam pemberian hak.


Kemudian dalam kisah lain, diceritakan bahwa suatu hari terjadi pertentangan antara ‘Ali dengan seorang Yahudi yang sampai kepada ‘Umar sebagai ‘Amirul Mukminin kala itu. 


‘Ali bin Abi Thalib suatu hari tidak setuju dengan seorang pria Yahudi. Mereka pun akhirnya mendatangi ‘Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khattab untuk memberi keadilan di antara mereka. ‘Umar berkata kepada ‘Ali, “Duduklah wahai Abul Hasan, di sebelah lawanmu”


Maka’ Ali duduk dengan raut wajah emosi di wajahnya. Setelah ‘Umar memberi keputusan dan keadilan di antara mereka, orang Yahudi itu pergi dengan puas menerima putusan tersebut. ‘Umar pun menoleh ke ‘Ali dan berkata kepadanya, “Apakah saya telah menyinggung perasaanmu dengan meminta duduk di sebelah lawanmu?”


“Tidak, demi Allah, tapi aku tersinggung karena engkau berkata kepadaku, “Wahai Abul Hasan, dan ini adalah tindakan penghinaan bagiku di hadapan lawanku. Aku takut orang Yahudi ini merasa tidak ada keadilan di kalangan umat Islam!.” Tegas ‘Ali. (Muhammad bin Ahmad al-Absyihi, al-Mustathraf min kull fann mustathraf, jilid I, hal. 99).


Kisah di atas menunjukkan teladan yang ada dalam diri para Sahabat Nabi yang memandang bahwa semua manusia derajatnya setara, tidak boleh ada tindakan diskriminasi kepada orang non-Muslim, meski hanya dengan kata-kata, sebagaimana yang ditegaskan oleh ‘Ali.


Para penegak keadilan dan dan pemegang kebijakan juga hendaknya meneladani bagaimana ‘Umar dan ‘Ali ketika menegakkan suatu perkara. Keputusan yang dikeluarkan ‘Umar terasa adil sehingga kedua belah pihak pun dapat menerimanya dengan penuh kerelaan.


Selanjutnya yang terakhir adalah kisah yang menceritakan ‘Ubadah bin ash-Shamit, salah satu sahabat yang terhormat, berkulit hitam, dan dia adalah ketua delegasi yang dikirim oleh ‘Amr bin al-‘Ash untuk berunding dengan al-Muqawqis, seorang raja Koptik yang agung. (Ibnu Taghri Bardi, Al-Nujum al-Zahirah fi Muluk Mishr wal Qahirah, jilid I, hal. 12).


Sebagaimana yang kita ketahui, pemegang kebijakan dengan latar belakang yang lekat dengan praktik politik identitas akan mengesampingkan orang yang berbeda dengannya, baik secara agama, warna kulit, etnis dan juga bahasa.


Ketika ‘Ubadah diutus dan menghadap al-Muqawqis, ia pun kesal padanya karena kulit ‘Ubadah yang berwarna hitam. Al-Muqawqis meminta ‘Ubadah untuk berbicara kepada orang lain. Al-Muqawqis berkata:


وكيف رضيتم أن يكون هذا الأسود أفضلكم وإنما ينبغي أن يكون هو دونكم


Artinya, “Bagaimana mungkin kalian rela orang kulit hitam ini yang mewakili kalian, harusnya dia adalah bawahan kalian!,” ujar al-Muqawqis pada orang-orang muslim yang hadir. Kaum muslimin pun menjawab:


كلا إنه وإن كان أسود كما ترى فإنه من أفضلنا موضعا وأفضلنا سابقة وعقلا ورأيا وليس ينكر السواد فينا


“Tidak!, meskipun dia berkulit hitam, seperti yang Anda lihat, dia adalah salah satu yang terbaik kedudukannya, akal dan juga pendapatnya dibanding kita, kami tidak sama sekali mengingkari orang yang berkulit hitam!.”


Pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah di atas adalah larangan bagi kita untuk melakukan tindakan diskriminasi kepada orang yang berbeda, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Muqawqis pada ‘Ubadah bin ash-Shamit, dengan menghina warna kulitnya hingga tidak mau mendengar perkataannya karena hanya beda warna saja.


Tiga kisah di atas merupakan sekelumit kisah yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita agar tidak terjebak dalam diferensiasi identitas yang berujung pada pecahnya ketentraman dan kedamaian yang sudah ada di tengah masyarakat.