Deposito Bank: Dealektika, Analisis, dan Kritik Fiqih
NU Online · Kamis, 20 Juni 2024 | 13:00 WIB
Mutiara Intan Permatasari
Kolomnis
Dalam dunia perbankan tentu tidak asing dengan istilah deposito bank. Para cendekiawan mendefinisikan deposito bank sebagai dana nasabah yang penarikannya sesuai dengan jangka waktu tertentu, sehingga mudah diprediksi ketersediaan dana tersebut.
(Andrianto dkk, Manajemen Bank, [Pasuruan, Siaran Media: 2019 M], halaman 51).
Hal ini senada dengan perundang-undangan Nomor 10 tahun 1998 yang berbunyi: "Deposito adalah simpanan berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah penyimpan dengan bank".
Sedangkan dalam bahasa Arab istilah ini dikenal dengan Al-Wadai' Al-Mashrifiyah. Ulama mendefinisikan Al-Wadai' Al-Mashrifiyah sebagai berikut:
أنها النقود التي يعهد بها الأفراد، أو الهيئات إلى البنك، على أن يتعهد الأخير بردها، أو رد مبلغ مساو إليهم لدى الطلب، أو بالشروط المتفق عليها
Artinya, "Deposito adalah uang yang dipercayakan oleh individu atau badan hukum kepada bank, di mana bank berjanji untuk mengembalikannya atau mengembalikan jumlah yang sama kepada mereka atas permintaan atau sesuai dengan ketentuan yang disepakati."
(Husni Muhammad Al-'Athar, Al-Wadi'ah Al-Mashrifiyah Dirasah Fiqhiyah Iqtishadiyah, [Palestina: Nafidz, 2021 M], halaman191-192).
Islam sebagai agama yang komprehensif senantiasa mengatur dan menertibkan semua tatanan kehidupan manusia. Dalam menyikapi fenomena ini, beberapa cendikiawan muslim mencoba untuk melakukan proses at-Takyif al-Fiqhi (menentukan hukum perkara baru dengan bersandarkan pada hukum lama di dalam fiqih karena ada persamaan di antara keduanya).
Lantas dengan adanya praktik deposito ini, akad fiqih apa yang mampu mengakomodir dan melegitimasinya?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Pendapat pertama, praktik deposito bank sama dengan akad wadi’ah (titipan) pada umumnya, dimana nasabah (depositor) menitipkan uangnya kepada bank. Pendapat ini berpijak pada dua aspek:
- Kebiasaan para depositor yang hanya menitipkan uangnya kepada pihak bank dan bukan berniat untuk mengutangkan.
- Kehati-hatian pihak bank dalam mengelola uang titipan tersebut dengan indikasi pihak bank mampu mengembalikan uang tersebut ketika diminta. (Muhammad Ali At-Taskhiri, Al-Wadai' Al-Mashrifiyah Takyifuha Al-Fiqhi wa Ahkamuha, [Jedah: Majalat Majma' Al-Fiqh Al-Islami, 1996 M], No 9, vol 1, halaman 776-777).
Namun pendapat ini tertolak dengan dalil bahwa kebanyakan para depositor tidak mengetahui bahkan menganggap tidak penting perbedaan istilah wadi'ah, qardh dan dain itu sendiri. Juga kebanyakan para depositor tidak akan rela menitipkan uangnya kepada pihak bank terkecuali ada jaminan. Sehingga, ketika akad ini dianggap sebagai akad wadi’ah tentunya sudah menyalahi aturan, karena akad wadi'ah bersifat yad amanah (tidak perlu ada jaminan ketika terjadi kerusakan yang tidak disengaja), bukan yad dhaman seperti yang dianggap oleh kebanyakan depositor:
والوديعة أمانة في يد المودع فإن تلفت من غير تفريط لم تضمن
Artinya, "Wadi’ah itu amanah yang diberikan kepada muda’ (penerima titipan), sehingga ketika terjadi kerusakan tanpa sengaja, maka tidak perlu adanya ganti rugi." (Abu Ishaq As-Syirazi, Al-Muhaddzab fi Fiqhil Imamis Syafi'i, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah], vol II, halaman 181).
Dengan anggapan seperti ini agaknya kurang tepat ketika deposito disebut sebagai akad wadi’ah.
Pendapat kedua, praktik deposito bank sama dengan akad ijarah (sewa-menyewa), yang mana depositor menyewakan uangnya kepada pihak bank. (Mas’ud bin Mas’ad At-Tsabiti, Al-Hisabat Al-Jariyah fi Tansyitil Harakah Al-Iqtishadiyah, [Jedah: Majalat Majma Al-Fiqh al-Islami, 1996 M], No 9, vol I, halaman 831).
Namun pendapat ini juga tertolak dengan dalil tidak bolehnya menyewakan uang, karena termasuk barang yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan terkecuali hilang dzatiyahnya, sebagaimana perkataan fuqaha:
ولا) إجارة (ما لا ينتفع به مع بقاء عينه ك) إجارة (المطعوم والمشروب ونحوه)
Artinya, "Tidak sah menyewakan sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan bersamaan dzatiyahnya masih ada, seperti menyewakan makanan, minuman, dan lain sebagainya." (Manshur bin Yunus bin Idris Al-Bahuti, Kasyful Qina’ ‘an Matnil Iqna’, [Riyadh: Maktabah An-Nashr Al-Haditsah], vol. III, halaman 561).
Ketiga, praktik ini sama dengan akad qardh (utang piutang), yang mana depositor mengutangkan uang kepada pihak bank, kemudian pihak bank wajib mengembalikannya pada waktu tertentu.
Hal ini berpijak pada dua aspek:
- Kepemilikan nasabah akan hilang sepenuhnya ketika uang diserahkan kepada pihak bank, sehingga pihak bank memiliki kuasa penuh untuk mengelola uang yang diberikan, sebagaimana konsekuensi dalam akad qardhu.
- Barometrer dalam akad tergantung pada niat dan maknanya, bukan tergantung pada lafal dan bentuknya. Walaupun namanya wadi’ah, namun secara praktik adalah qardhu, sebagaimana perkataan Muhammad Az-Zuhaili:
العبرة في العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني
Artinya, "Pada dasarnya akad itu tergantung pada niat dan maknanya, bukan tergantung pada lafal dan bentuknya." (Muhammad Mushtafa Az-Zuhaili, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah wa Tatbiqatuha fil Madzahib Al-Arba’ah, [Damaskus: Darul Fikr, 2006 M], vol I, halaman 292).
Namun pendapat ini juga dibantah dengan dalil bahwa aqad qardhu itu berlandaskan irfaq (kasih sayang dan kepedulian terhadap yang membutuhkan).
القرض عقد إرفاق وقربة
Artinya, "Akad qardhu itu pada dasarnya berlandaskan irfaq dan qurbah." (Al-Bahuti, III/317).
Sedangkan dalam hal ini, bank adalah lembaga yang kaya raya, sehingga tidak perlu seorang nasabah (depositor) untuk mengasihani dengan cara menghutangkan sejumlah uang kepadanya.
Keempat, praktik ini termasuk akad ghair musamah (aqad yang tidak ada padanan dan namanya dalam fiqih klasik) dan akad yang memiliki ciri khas tertentu. Hal ini melihat realita yang ada, yang mana nasabah menyerahkan uang dengan tujuan untuk dijaga sedangkan bank menerima uang tersebut untuk dikelola. (At-Tsabiti, No. 9, vol 1, halaman 831-832).
Simpulan
Dari beberapa pendapat di atas, penulis lebih cenderung memilih pendapat keempat,di mana realita yang ada tidak boleh dipaksakan dan dicocokologikan dengan hukum fiqih terdahulu, selama masih bisa menghasilkan akad ghair musamah. Wallahu a'lam.
Terpopuler
1
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
2
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
3
Cerita Pasangan Gen Z Mantap Akhiri Lajang melalui Program Nikah Massal
4
Asap sebagai Tanda Kiamat dalam Hadits: Apakah Maksudnya Nuklir?
5
3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad
6
Mimpi Lamaran, Menikah, dan Bercerai: Apa Artinya?
Terkini
Lihat Semua