Syariah

Fiqih Filantropi dalam Pengentasan Kemiskinan

NU Online  ·  Selasa, 28 Januari 2025 | 07:05 WIB

Fiqih Filantropi dalam Pengentasan Kemiskinan

Ilustrasi filantropi. Sumber: Canva/NU Online.

Kegiatan filantropi di Indonesia menempati posisi yang cukup tinggi dalam mewujudkan kedermawanan sosial. Berdasarkan data dari World Giving Index (WGI), Indonesia adalah negara paling dermawan sedunia. Oleh karena itu, tak heran sektor filantropi ini telah menyumbang angka cukup tinggi dalam beberapa sektor seperti pengentasan kemiskinan, perbaikan infrastruktur, hingga peningkatan kualitas pendidikan. 

 

Filantropi adalah sikap kedermawanan yang dilakukan untuk kemaslahatan umum. Filantropi merupakan bentuk kesadaran untuk mendermakan harta ke jalan Allah demi mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam pelbagai aspek. Dalam Islam, Filantropi merupakan manifestasi dari nilai kemanusiaan dan ketakwaan yang mendalam kepada Allah. 

 

Fikih Filantropi adalah Kajian tentang filantropi dalam Islam, termasuk hukum-hukum dan regulasinya. Filantropi Islam merupakan praktik kedermawanan dalam Islam yang meliputi zakat, infak, sedekah, dan wakaf.  Regulasi Filantropi Islam di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia, seperti undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 mengatur pengelolaan zakat, infak, dan sedekah secara nasional, dan undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 mengatur pengelolaan wakaf. 

 

Kajian tentang fikih filantropi dilatarbelakangi perlunya mencari titik terang terkait definisi dan konsekuensi  hukum dari zakat, infak dan sedekah. Di samping itu, tujuannya untuk memberikan referensi kepada LAZIS, baik skala NU maupun Pemerintah, agar dapat dijadikan acuan oleh LAZISNU dalam melakukan penggalangan dana melalui jalur tersebut, sebagaimana disampaikan Sekretaris Komisi Maudhu'iyah, KH Abdullah Aniq Nawawi yang dilansir NU Online.

 

Salah satu sektor filantropi yang memiliki sumbangsih cukup tinggi adalah filantropi keagamaan. Filantropi jenis ini pada umumnya dikelola oleh lembaga-lembaga ZIS (zakat, infak, sedekah). Meskipun filantropi ini sudah diatur tata kelolanya secara syariat, tetap saja hal ini menyisakan cukup banyak problem. Di antara problem itu adalah penyerapan dan distribusi zakat.

 

Selama ini, fikih klasik hanya menetapkan zakat dalam enam jenis harta yang dianggap sebagai harta berkembang. Namun seiring dengan perubahan zaman, harta-harta yang dulunya dianggap simbol ‘kekayaan’ kini sudah berubah. misalnya sektor pertanian yang saat ini justru dianggap sulit mendatangkan kekayaan karena biaya operasional yang tidak sebanding dengan hasilnya. 

 

Di sisi lain, perusahaan-perusahaan pertanian dan komoditas-komoditas lain yang besar justru tidak memiliki kewajiban zakat atas penghasilannya karena belum ada konsep yang jelas mengenai hal tersebut. Bahkan, banyak profesi dan investasi yang jauh lebih besar penghasilannya dari pada petani, namun tidak ada kewajiban zakat.

 

Beberapa kajian sebelumnya, belum secara tegas menyelesaikan ketimpangan sosial ekonomi ini. Padahal hikmah utama dari disyariatkannya zakat adalah untuk mengentaskan umat dari kemiskinan, sebagaimana disampaikan oleh Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri.

 

أَمَّا حِكْمَةُ الزَّكَاةِ فَمَعْرُوْفَةٌ وَظَاهِرَةٌ وَتَبْدُوْ فِي هَذَا الْعَصْرِ أَكْثَرَ فَمِنْ شَأْنِهَا التَّعَاطُفُ وَالتَّرَاحُمُ وَلَوْ أُخْرِجَتْ الزَّكَاةُ وَوُزِّعَتْ عَلَى وَجْهِهَا الصَّحِيْحُ الشَّرْعِيُّ لَمَا بَقِيَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ فَقِيْرٌ أَبَدًا لِأَنَّ رَبَّنَا جَعَلَ فِي أَمْوَالِ الْأَغْنِيَاءِ مَا يَكْفِي الْفُقَرَاءَ   

 

Artinya: “Adapun hikmah zakat, maka sudah diketahui dan tampak jelas. Dan semakin tampak di masa sekarang. Di antara karakteristik zakat adalah terjalinnya kasih sayang dan saling mengasihi.

 

Seandainya zakat dibayarkan dan dibagikan sesuai dengan cara yang benar secara syar’i, niscaya selamanya di muka bumi tidak akan ada lagi orang miskin. Karena sesungguhnya Tuhan kita, Allah Swt telah menetapkan harta yang cukup untuk orang-orang miskin dalam harta orang-orang kaya.” (Syarh Yaqutin Nafis [Beirut: Dar al-Minhaj, 2011] halaman 259)

 

Dalam literatur Fiqih, Abul Hasan Ali Al-Mawardi menjelaskan bahwa harta terbagi menjadi tiga, yaitu harta berkembang dengan sendirinya, harta yang disiapkan untuk dikembangkan, dan harta yang tidak berkembang dengan sendirinya. 

 

الْأَمْوَالُ عَلَى ثَلَاثَةٍ أَضْرُبٍ مَالٍ نَامٍ بِنَفْسِهِ وَمَالٍ مُرْصَدٍ لِلنَّمَاءِ وَمَالٍ غَيْرِ نَامٍ بِنَفْسِهِ فَأَمَّا النَّامِي بِنَفْسِهِ فَمِثْلُ الْمَوَاشِي وَالْمَعَادِنِ وَالزَّرْعِ وَالثِّمَارِ وَأَمَّا الْمُرْصَدُ لِلنَّمَاءِ وَالْمُعَدُّ لَهُ فَمِثْلُ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ ... وَأَمَّا الَّذِي لَيْسَ بِنَامٍ فِي نَفْسِهِ وَلَا مُرْصَدًا لِلنَّمَاءِ فَهُوَ كُلُّ مَالٍ كَانَ مُعَدًّا لِلْقِنْيَةِ كَالْعَبْدِ الْمُعَدِّ لِلْخِدْمَةِ وَالدَّابَّةِ الْمُعَدَّةِ لِلرُّكُوبِ وَالثَّوْبِ الْمُعَدِّ لِلُّبْسِ

 

Artinya “Harta terbagi menjadi tiga jenis, yaitu harta yang berkembang dengan sendirinya, harta yang disisihkan untuk dikembangkan, dan harta yang tidak berkembang dengan sendirinya.  

 

Adapun harta yang berkembang dengan sendirinya itu seperti hewan ternak, harta pertambangan, hasil bumi, dan buah-buahan. Adapun harta yang diperuntukkan untuk dikembangkan dan dipersiapkan untuk itu, seperti dirham, dinar, dan harta dagang.

 

Adapun harta yang tidak berkembang dengan sendirinya serta tidak disiapkan untuk dikembangkan, maka itu adalah setiap harta yang dipersiapkan untuk dimiliki, seperti seorang budak yang disiapkan untuk melayani, seekor binatang yang disiapkan untuk dinaiki dan pakaian yang disiapkan untuk dipakai.” (Al-Hawil Kabir [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2017] juz IV, halaman 88)

 

Dari tiga jenis harta tersebut, Al-Mawardi menegaskan bahwa ulama telah sepakat  (Ijma’) tidak ada kewajiban zakat dalam harta yang tidak berkembang serta tidak disiapkan untuk dikembangkan.  

 

فَأَمَّا مَا لَا يُرْصَدُ لِلنَّمَاءِ وَلَا هُوَ نَامٍ فِي نَفْسِهِ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ إِجْمَاعًا لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ فَنَصَّ عَلَيْهَا تَنْبِيهًا عَلَى مَا كَانَ فِي مَعْنَى حُكْمِهَا 

 

Artinya “Adapun harta yang tidak disisihkan untuk dikembangkan, dan tidak berkembang dengan sendirinya, maka tidak ada zakat di dalamnya, menurut kesepakatan ulama. Karena sabda Rasulullah saw, ‘Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat atas budaknya atau kudanya,’ maka beliau menetapkannya untuk menunjukkan harta yang satu makna dalam hukumnya.” (Al-Hawil Kabir, juz IV, halaman 88)

 

Beberapa kajian terdahulu yang berusaha menyikapi kesenjangan sosial ekonomi masyarakat antara lain:

 

1. Hasil keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 2002 tentang zakat profesi. 

Dalam Munas 2002 tersebut diputuskan bahwa pada dasarnya semua hasil pendapatan halal yang mengandung unsur mu'awadhah (tukar-menukar) baik dari hasil kerja profesional/non profesional maupun hasil industri jasa dalam segala bentuknya yang telah memenuhi persyaratan zakat antara lain, mencapai jumlah 1 (satu) nishab dan niat tijarah dikenakan kewajiban zakat. 

 

Akan tetapi realitasnya jarang yang bisa memenuhi persyaratan tersebut lantaran tidak terdapat unsur tijarah (pertukaran harta terus-menerus untuk memperoleh keuntungan). (LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha [Surabaya: khalista, 2011] 594-595)

 

2. Hasil keputusan Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura (FMPP) ke-40 tahun 2024 tentang pendapat ulama yang paling maslahat terkait kesenjangan ekonomi dalam zakat mal. 

 

Forum tersebut memutuskan bahwa pendapat ulama yang paling maslahat adalah meninjau keadaan dari orang yang akan mengamalkan.

  1. Jika orang tersebut tergolong orang yang kuat imamnya, yang maslahat adalah mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan zakat profesi.
  2. Apabila tergolong orang yang lemah imanya, mengikuti pendapat ulama yang tidak mewajibkan.

Keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa:

a. Pendapat pertama menyatakan bahwa zakat profesi menemukan legalitasnya dalam kajian hukum Islam, yaitu mengikuti salah satu pendapat dalam mazhab Mazhab Hanbali yang menjadi dasar dalam mewajibkan zakat profesi dan pendapatan tak terduga, tanpa memberi persyaratan harus haul. 

 

Juga mengikuti mazhab Syafi'i yang memahami penghasilan uang setara dengan zakat emas dan perak sehingga nishab dan kadar yang wajib dibayarkan sama dengannya (nishab emas 85 gr/perak 588 gr, kadar yang wajib dikeluarkan 2,5%).

 

b. Pendapat kedua menyatakan, sebenarnya tidak ada kewajiban zakat profesi dalam empat mazhab. Namun demikian, setiap orang dengan profesi apapun yang mempunyai uang yang mencapai nishab dan haul, maka wajib membayar zakatnya, mengingat uang tersebut dalam nilai tukarnya sama dengan emas dan perak (nuqud).


Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang lebih mendalam tentang alasan dasar atau ‘illat khusus dalam menentukan harta yang wajib dizakati serta dampaknya pada harta-harta zakat tersebut, mengingat enam sektor yang diwajibkan zakat saat ini sudah tidak lagi menggambarkan kekayaan seseorang. 

 

Permasalahan tentang ‘illat khusus dalam menentukan harta zakat ini akan dibahas dalam forum MUNAS NU 2025. Selain itu, juga akan dibahas tentang kemungkinan melakukan redefinisi terhadap asnaf zakat, serta kajian konseptual mengenai perbedaan zakat, infak, dan sedekah. 

 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar