Syariah

Sebab Perbedaan Fatwa Terjadi meski dalam Satu Mazhab

Ahad, 19 Desember 2021 | 19:30 WIB

Sebab Perbedaan Fatwa Terjadi meski dalam Satu Mazhab

Sebab Perbedaan Fatwa Terjadi meski dalam Satu Mazhab

Seperti dalam artikel “Tiga Tingkatan Fiqih Menurut Imam Taqiyuddin As-Subki", dalam berfatwa seorang ahli fiqih selain mesti menguasai hukum-hukum fiqih secara konsep juga harus mempunyai penggambaran atau pengetahuan  (tashawwur) atas masalah (wâqi'ah) yang akan dihukumi. Jadi ada dua unsur yang menentukan ketepatan fatwa: hukum fiqih dalam konsep dan tashawwur atas masalah. Demikian pula perbedaan fatwa antara satu ulama dengan ulama lain atau antara forum bahtsul masail satu dengan yang lain juga dipengaruhi dua hal tersebut. Meskipun masih dalam lingkup suatu mazhab.

 

Untuk itu perbedaan fatwa yang terjadi di dalam lingkup sebuah mazhab jika diteliti dapat dikelompokkan dalam dua kategori umum. Pertama, perbedaan fatwa yang bersumber dari perbedaan hukum fiqih sebagai konsep (kulliyyat) sebagai hasil istinbath dari dalil-dalil syar’iat. Kedua, perbedaan pendapat yang disebabkan perbedaan hasil penggambaran atau pengetahuan (tashawwur) atas masalah (wâqi’ah) yang akan dihukumi.

  

Perbedaan dalam kategori pertama banyak tercatat di dalam kitab-kitab fiqih. Berikut sedikit contoh perbedaan dalam kategori ini yang terjadi di antara ulama di dalam mazhab Syafi’i. Misalnya perbedaan pendapat dalam masalah bersiwak bagi orang yang puasa setelah waktu dhuhur (tergelincirnya matahari); sebagian ulama berpendapat makruh dan sebagian lain berpendapat tetap sunnah dan tidak makruh [Fathul Qarib, hal. 30]. Perbedaan pendapat tentang niat keluar dari shalat saat salam pertama, apakah wajib atau tidak? Sebagian ulama berpendapat wajib atau rukun yang jika ditinggalkan dengan sengaja menyebabkan shalat tidak sah, dan sebagian ulama yang lain berpendapat tidak wajib [Al-Iqnaa’, hal. 139]. Ini adalah contoh perbedaan-perbedaan pendapat yang bersumber dari perbedaan hasil istinbath atas dalil-dalil syariat. Dua masalah tersebut termasuk malah-masalah yang terkait hukum-hukum taklifiyyah (penetapan hukum wajib, sunnah atau mandub, haram, makruh dan mubah).

 

Perbedaan pendapat yang bersumber dari perbedaan hasil istinbath atas dalil-dalil juga ada dalam hukum-hukum wadl’iyyah (penetapan sebab, syarat, dan penghalang atau mâni). Misalnya perbedaan dalam sebab-sebab kebolehan tayammum. Apakah kekhawatiran akan tertundanya kesembuhan sebuah penyakit jika menggunakan air dapat menjadi sebab kebolehan tayamum? Sebagian ulama berpendapat kekhawatiran tersebut menjadi sebab kebolehan tayamum. Ini pendapat yang paling kuat. Sementara sebagian ulama berpendapat tidak [Syarh Al-Mahalli ‘alal Minhaj, juz 1, hal. 95].

 

Kemudian perbedaan dalam penetapan syarat, misalnya tentang menyucikan barang yang dijilat anjing. Sebagian ulama mensyaratkan harus menggunakan tanah sebagai campuran salah satu dari tujuh basuhan air. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sabun sudah memenuhi syarat sehingga dapat menggantikan fungsi tanah [Syarh Al-Mahalli ‘alal Minhaj, juz I, hal. 84].

 

Lalu, perbedaan pendapat tentang penghalang (mâni‘) hukum misalnya apakah utang menjadi penghalang (mâni‘) atas hukum kewajiban zakat. Sebagian ulama berpendapat bahwa utang tersebut menjadi penghalang atas kewajiban zakat harta pertanian. Dan sebagian yang lain berpendapat tidak menjadi penghalang. Perbedaan hukum-hukum fiqih ini adalah perbedaan hukum-hukum fiqih dalam konsep. Artinya, jika kemudian ada dua orang alim berfatwa; masing-masing menggunakan pendapat yang berbeda dari pendapat-pendapat diatas, maka perbedaan fatwa tersebut bersumber dari perbedaan hasil istinbath atas dalil-dalil syariat. Dalam perbedaan pendapat inilah terjadi tarjih yang telah dilakukan ulama-ulama mazhab yang ahli tarjih.

 

Sementara itu, kategori kedua perbedaan fatwa adalah perbedaan yang disebabkan perbedaan hasil penggambaran atau pengetahuan (tashawwur) atas masalah (wâqi’ah) yang dihukumi dapat dicontohkan misalnya dalam masalah penetapan Pelabuhan Jeddah sebagai miqat. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang berangkat haji dengan kapal laut melalui jalur Laut Merah seperti jamaah haji dari Indonesia saat menggunakan kapal laut, mereka tidak persis melewati daerah Miqat Yalamlam yang berada di daratan. Mereka hanya melewati kawasan laut yang sejajar (muhâdzah) dengan Miqat Yalamlam. Imam Ibnu Hajar al-Haitami tidak mengharuskan memulai ihram di kawasan di Laut Merah yang sejajar tersebut. Imam Ibnu Hajar membolehkan menunda ihram hingga sampai Pelabuhan Jeddah. Alasannya, menurut beliau jarak antara pelabuhan Jeddah dengan Makkah sama dengan jarak antara Miqat Yalamlam dengan kota Makkah, yaitu dua marhalah (sekitar 83 km) (lihat pendapat Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan perdebatan ulama dalam masalah ini di dalam Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin Al-Malibari dan Hasyiyah I’anatuth Thalibin karya Sayyid Abu Bakr Syatha juz 2, hal. 343).

 

Sementara banyak ulama lain tidak sepakat. Mereka menilai jarak antara pelabuhan Jeddah dengan Makkah lebih pendek dibanding jarak antara Miqat Yalamlam dengan Makkah. Sehingga mereka tetap mewajibkan memulai ihram di kawasan yang sejajar (muhaadzah) dan tidak memperbolehkan berihram di pelabuhan Jeddah. Konsekuensinya, orang yang ihram di Pelabuhan Jeddah harus membayar dam karena telah melewati miqat tanpa ihram.

 

Dalam perbedaan pendapat dalam masalah ini, sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat sama sekali dalam hukum fiqih sebagai konsep. Baik Imam Ibnu Hajar Al-Haitami maupun ulama yang lain sepakat atas hukum boleh melewati daerah yang sejajar dengan Miqat tanpa ihram dan menunda melakukan ihram hingga telah sampai di daerah yang jaraknya dengan Makkah sama atau lebih jauh jika dibandingkan dengan jarak Miqat dengan Makkah. Perbedaan pendapat hanya dalam menetapkan apakah jarak antara Pelabuhan Jeddah dan Makkah apakah sama, lebih jauh atau lebih pendek dibanding jarak antara Miqat (dalam hal ini daerah Yalamlam) dan Makkah. Ini bukan perbedaan yang bersumber dari perbedaan hukum fiqih yaitu hasil istinbath dari dalil-dalil syariat. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan pengetahuan (tashawwur) atas jarak yang termasuk pengetahuan inderawi (mahsuusaat).

 

Pengetahuan akan jarak ini adalah pengetahun atas fakta realitas. Perbedaan pendapat tentang pengetahuan ini seharusnya dapat diselesaikan. Namun bukan dengan tarjih antar pemahaman-pemahaman atau istinbath atas dalil-dalil syariat, melainkan melalui penghitungan yang lebih akurat. Jika fakta yang ditemukan berbeda, misalnya ditemukan bahwa jarak antara Pelabuhan Jeddah dan Makkah lebih pendek daripada jarak Miqat Yalamlam dengan Makkah, maka fatwa kebolehan ihram di Pelabuhan Jeddah harus berubah. Demikian pula semua perbedaan fatwa yang bersumber perbedaan tashawwur atas obyek hukum (mahkumm ‘alaih) dapat diuji melalui perangkat-perangkat pengetahuan yang terus berkembang.

 

Muhammad Faeshol Muzammil, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Tengah, Muhadlir Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda