Syariah

Badan Hukum sebagai Subjek Hukum dalam Timbangan Fiqih Manhaji

Jumat, 7 Januari 2022 | 22:00 WIB

Badan Hukum sebagai Subjek Hukum dalam Timbangan Fiqih Manhaji

Badan Hukum sebagai Subjek Hukum dalam Timbangan Fiqih Manhaji

Badan hukum merupakan sebuah kumpulan dari individu-individu (mukallaf atau ahli tasharruf) yang bersatu di dalam badan hukum. Mereka disatukan oleh kepentingan bersama, yang kemudian kepentingan tersebut ditetapkan sebagai misi dan visi organisasi. Berdasarkan hal ini, status badan hukum berposisi sebagai wilayah (kekuasaan) fi al-dzimmah, salathah fi al-dzimmah (objek kekuasaan), syirkah fi al-dzimmah atau wadah perkumpulan (aliansi).

 

Karena badan hukum berlaku sebagaimana posisi wadah maka keberadaan subjek hukum haqiqinya adalah personel penyusun badan hukum itu sendiri, sehingga bukan badan hukumnya. Para personel inilah yang terkena khithab syar’i untuk bermuamalah dengan jalan yang baik, sebab mereka yang beridentitas selaku mukallaf (islam, baligh, dan berakal) atau bergerak selaku ahli tasharuf (aqil dan baligh).

  

Istilah lainnya, badan hukum adalah produk. Adapun aqid-nya (yang berakad) adalah para personel penyusun. Ma’qud ‘alaih dari kumpulan tersebut (objek akad) adalah pengelolaan harta (tasharruf al-amwal) atau kerja bersama (tasharruf al-af’al). Sasaran yang dituju (muqtadla al-aqdinya) adalah kinerja badan hukum.

 

Badan Hukum sebagai WIlayah fi al-Dzimmah

Wilayah merupakan hak penguasaan dari waliyul amri yang menempati posisi manath hukum (sebab hukum) dan berada pada level produk hukum. Sebagaimana kaidah yang berlaku, bahwa : tasharruf al-imam manuthun bil-mashlahah (hak pengelolaan Imam mengikuti manath kemaslahatan).

 

Itu artinya, imam (waliy al-amri) adalah subjek hukum yang bertanggung jawab dalam mewujudkan maslahah bagi seluruh personel yang menyusun badan hukum tersebut.

 

Sebagai pedoman membawa kemaslahatan tersebut maka seorang imam dibekali dengan sejumlah aturan dan peraturan. Aturan yang dimaksud adalah tata operasional untuk melakukan eksekusi kebijakan. Ia hadir sebagai turunan dari peraturan.

 

Sementara itu, peraturan yang dimaksud adalah garis-garis besar hukum yang sudah disepakati dan ditetapkan oleh negara. Misalnya lewat undang-undang, atau hukum yang berlaku. Dalam konteks syariah maka peraturan ini adalah teks syariat. Sementara aturan, diisi oleh berbagai penjelasan mengenai operasionalnya di lapangan.

 

Berbagai aturan dan peraturan ini meniscayakan ditepati oleh pihak waliy al-amri. Alhasil, dialah yang mendapatkan manath (sebab hukum) selaku pengelola (mutasharrif). Adapun badan hukum, berlaku sebagai produk kebijakan yang diterapkannya berbekal aturan dan peraturan.

 

Di dalam teks turats disebutkan bahwa syarat sah suatu entitas berlaku sebagai produk, ada 2, yaitu:

  1. Ia bisa berlaku sebagai syakhshiyah musyahadah (pengertian lain dari ain musyahadah), yaitu individu manusia itu sendiri
  2. Ia bisa berlaku sebagai syakhshiyah maushuf fi al-dzimmah (individu yang bisa dijamin). Jika yang dijamiin adalah pengelolaan harta maka individu yang menduduki maqam penjamin adalah menempati maqam dlamin (manajer). Adapun, bila yang dijamin adalah pengelolaan kerja (fi’lin) personal maka pihak yang menjamin tersebut menduduki derajatnya kafil.
 

Berbekal penjelasan ini maka “produk” yang mewujud dalam bentuk wilayah al-hukmi (kuasa badan hukum), pada dasarnya dapat disemati sebagai wilayah fi al-dzimmah (produk kekuasaan yang berjamin).

 

Efek secara tidak langsung dari status badan hukum sebagai produk, adalah badan hukum tersebut bisa dijualbelikan. Ia bisa diakuisisi sahamnya, sebab adanya kinerja amwal dan af’al.

 

Jika badan hukum tersebut menampilkan kinerja amwal (misal: syirkah ‘inan) maka badan hukum tersebut berstatus sebagai harta berjamin (syaiin maushuf fi al-dzimmah). Akan tetapi, jika badan hukum tersebut menampilkan sosok yang memiliki kinerja af’al (jasa) maka badan hukum tersebut menempati maqamnya harta manfaat (aset jasa).

 

Muamalahnya badan hukum, pada dasarnya adalah muamalahnya kafil atau dlamin (waliy al-amri). Alhasil, berangkat dari asal landasan pemikiran ini maka berlaku kaidah tasharruf al-imam ala al-ra’iyati manuthun bi al-maslahah (kinerja Imam (kafil dan dlamin) terhadap yang dijaganya (badan hukum) adalah mengupayakan terbitnya kemaslahatan (yaitu: personel penyusun badan hukum itu sendiri).

 

Badan Hukum Fiktif dan Badan Hukum Ghaib

Selaku produk maka ada kemungkinan badan hukum itu tampil sebagai badan hukum fiktif atau badan hukum ghaib. Sebagaimana sil’ah (komoditas), yang keberadaannya bisa berlaku sebagai ma’dum dan sebagai ghaib.

 

Sil’ah yang ma’dum, ditandai dengan adanya ciri bai’ al-dain bi al-dain  (jual beli utang dengan utang) atau bai ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah (jual beli sesuatu dalam tanggungan dengan sesuatu dalam tanggungan yang lain), akan tetapi pihak terakhir yang menanggung tidak memiliki ikatan utang kepada pihak pertama. Akad ini juga dikenal dengan akad hiwalah (alih beban).

 

Contoh: A bekerja pada si B, B bekerja pada si C. Upahnya si B yang bekerja pada si C, bisa disampaikan secara langsung kepada si A, sebab dzimmah (tanggungan) si B terhadap A, adalah sama besar dengan dzimmah-nya Si C terhadap B.

 

Jika Si B tidak bekerja pada si C maka pengalihan beban upahnya si A yang bekerja terhadap si B, kemudian ditanggung oleh si C, adalah termasuk kategori transaksi ma’dum.

 

Bagaimana dengan Badan Hukum Fiktif?

Pada contoh kasus di atas, badan hukum adalah menempati maqamnya ujrah sebab ia adalah produk. Selaku yang menempati maqamnya ujrah maka badan hukum adalah menempati derajatnya sesuatu yang diikatkan (multazam) dengan kinerja amwal (harta badan hukum) atau af’al (kinerja personal badan hukum).

 

Jika ikatan kinerja harta dan personal organisasi itu tidak ada maka dapat dipastikan bahwa badan hukum tersebut adalah fiktif (ma’dum). Alhasil, ia tidak sah untuk dijadikan sebagai produk sehingga tidak sah pula untuk diakuisisi sebagai harta hak.

 

Bagaimana dengan Badan Hukum Ghaib?

Badan hukum ghaib itu adalah badan hukum yang tidak menunjukkan adanya kinerja amwal atau kinerja af’al (jasa). Ketiadaan ini adalah disebabkan karena tidak ada anashir penyusun badan hukum itu sendiri (person dan harta).

 

Karena tidak ada anasir penyusun badan hukum itu sendiri maka badan hukum tersebut pada dasarnya juga tidak ada wujudnya, sehingga ia menempati derajatnya produk ghaib atau barang gaib. Tidak sah untuk menjualnya atau mengakuisisinya.

 

Badan Hukum sebagai Aset Manfaat

Menempatkan badan hukum sebagai aset manfaat, menandakan bahwa badan hukum tersebut memiliki underlying asset berupa kinerja (af’al). Selaku aset manfaat maka kinerja dari badan hukum itu sendiri dibatasi oleh dua hal, yaitu oleh muddah (durasi kontrak) dan oleh amal (fungsional), atau oleh dua-duanya. Yang bertanggung jawab atas kinerja tersebut adalah kafil. Sampai kapan? Sudah barang tentu, sampai kapannya ini adalah bergantung pada durasi kontrak yang berlaku atau fungsional yang diharapkan.

 

Ketiadaan durasi kontrak (muddah) dan fungsional (amal), menandakan bahwa badan hukum tersebut adalah tidak ada (ghaib). Alhasil, keberadaannya tidak bisa disewa atau dimanfaatkan.

 

Badan Hukum sebagai Wasilah

Karena badan hukum merupakan sebuah produk maka badan hukum merupakan sebuah entitas yang bisa berlaku sebagai wasilah (instrumen). Selaku wasilah maka keberadaan badan hukum bisa diqiyaskan layaknya 2 hal, yaitu (1) menempati derajatnya emas, perak dan mata uang, dan (2) menempati derajatnya sil’ah atau produk.

 

Jika badan hukum ditempatkan layaknya emas, perak atau mata uang maka badan hukum ini harus mendapatkan stempel resmi dari negara. Alhasil, seluruh badan hukum negara adalah ibarat emas, perak dan mata uang tersebut. Ia merupakan kekayaan yang bersifat orisinil. Negara sendiri adalah bagian dari badan hukum dengan jenis orisinil ini. Alhasil, menasarufkan kekayaan orisinal hanya bisa dilakukan lewat akad barter (sharf).

 

Adapun, badan hukum yang menempati derajatnya sil’ah (komoditas), adalah badan hukum yang secara legal diiakui oleh negara sebagai bagian dari aset yang memiliki kekayaan dan bisa diperjualbelikan atau dimanfaatkan. Alhasil, semua badan hukum yang didirikan oleh selain negara (sektor swasta), adalah menempati derajat sil’ah, karena keberadaannya bisa diakuisisi atau diambil alih penguasaannya. Akad penasarufannya berlaku sebagai akad bai’, ijarah, hiwalah dan sejenisnya. Contoh dari badan hukum ini, adalah Perseroan Terbatas, CV, UD, atau bahkan yayasan.

 

Selaku wasilah (instrumen) maka badan hukum hakikatnya hanya memiliki hak untuk ditasharufkan (dikelola) dan tidak memiliki hak menasarufkan (mengelola). Oleh karena itu, hakikat dari badan hukum itu sendiri pada dasarnya adalah wajib berlaku sebagai objek hukum sebab derajat wasilahnya sebagai medium muamalah atau sebagai komoditas itu sendiri, dan bukan sebagai subjek hukum.

 

Ketika Badan Hukum Berstatus sebagai Subjek Hukum

Saat badan hukum berstatus ditempatkan sebagai subjek hukum maka status ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaannya selaku objek hukum. Mengapa? Karena sejatinya, badan hukum itu adalah produk.

 

Sebagai entitas yang menempati derajatnya produk maka karakteristik yang wajib berlaku atas badan hukum adalah diqiyaskan dengan karakteristik mabi' (barang atau jasa yang bisa ditransaksikan), antara lain:

  1. Harus bergerak dalam bidang muamalah yang suci, sehingga modal yang dikumpulkan adalah wajib halal
  2. Bisa dimanfaatkan atau diambil jasanya
  3. Bisa diserahkan (imkan al-taslim). Untuk bisa terpenuhi syarat ini maka sebuah badan hukum wajib memenuhi standar bisa diukur kadarnya atau sifat kewilayahannya. Jika bergerak dalam bidang pengelolaan barang maka bisa dikuantifikasi kekayaannya. Dan jika bergerak dalam bidang jasa maka harus bisa dipertanggungjawabkan kinerja jasanya berdasar durasi kontrak dan fungsionalnya
  4. Ada dalam penguasaan seorang aqid atau orang yang mewakilinya. Alhasil, sebuah badan hukum adalah wajib berpenjamin (takafuly atau tadlamuny). Yang terpenting lagi, adalah dalam badan hukum itu wajib ada pihak yang berperan selaku kafil, wakil, dlamin atau wali.
  5. Ada dan diketahui adanya. Jika badan hukum itu bergerak dalam aset produksi maka diketahui adanya kekayaan. Jika badan hukum itu bergerak dalam bidang jasa maka diketahui jenis jasa yang diselenggarakan.
 

Seiring badan hukum adalah wajib memenuhi karakteristik mabi' maka usaha menempatkan badan hukum sebagai subjek hukum dalam bingkai syakhshiyah i'tibariyah, adalah wajib memenuhi 2 kategori umum yang tidak meninggalkan faedah syarat dan ketentuan mabi’ tersebut, antara lain sebagai berikut:

  1. Wajib berstatus sebagai ada kafil yang berstatus mukallaf. Ciri khas dari badan hukum wajib ada kafil yang mukallaf hukman, adalah: (a) kafil tersebut beragama Islam sehingga berlaku khithab syar'i berkaitan dengan penasarufan harta dan jasa di wilayah khusus yang sudah ditentukan oleh syara’. (b) kafil tersebut harus 'aqil dan mengetahui mana yang dilarang dan mana yang diperbolehkan oleh syaran sehingga terpenuhi ketaatan organisasi terhadap aturan syara (shariah compliance), dan (c) kafil tersebut harus baligh, sehingga ia bisa bertindak berdasar pembebanan taklif yang disangkutkan di pundaknya, terkait dengan perjalanan operasional badan hukum.
  2. Wajib ada kafil yang bertindak selaku ahli tasharruf. Ahli tasharruf ini dicirikan oleh keberadaan aqil dan baligh. Adapun pengejawantahannya dalam badan hukum, sudah dijelaskan sebagaimana pada poin pertama di atas.
 

Dengan mengikuti ketentuan ini maka sebuah badan hukum bisa dipandang sebagai perumpamaan individu imajiner (syakhshiyah i’tibariyah) atau syakhshiyah hukmiyyah. Namun, juga perlu disadari bahwa asalnya badan hukum adalah bukan subjek hukum. Adanya badan hukum bisa berlaku sebagai subjek hukum, adalah manakala ada kafil di dalamnya. Tanpa itu maka sebuah badan hukum dapat berstatus sebagai ma’dum (fiktif), sebab ketiadaan penjamin (dlamin/kafil).

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur