Syariah

Hukum Anak Angkat Mencium Orang Tua Angkatnya dalam Islam

Kam, 26 Oktober 2023 | 16:00 WIB

Hukum Anak Angkat Mencium Orang Tua Angkatnya dalam Islam

Ilustrasi: keluarga (freepik).

Ciuman merupakan bentuk kasih sayang yang sering ditunjukkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Ciuman juga bisa menjadi bentuk ungkapan terima kasih, rasa sayang atau tanda hormat. Di Indonesia, ciuman biasanya dilakukan di pipi atau kening. Lalu, bagaimana hukum anak angkat mencium orang tua angkatnya? Apakah ada aturan hukum yang mengatur hal tersebut?

 

Di Indonesia, hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat diakui secara hukum. Pengangkatan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 1 ayat 9 disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

 

Lebih lanjut, penjelasan anak angkat juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam [KHI], Pasal 171 huruf h, bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

 

Adapun dalam Islam, adopsi anak tidak menghilangkan nasab asli anak tersebut. Anak angkat tetap memiliki nasab dari orang tuanya yang kandung. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam Al-Qur'an:

 

وَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ

 

Artinya, “Dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS Al-Ahzab: 4).

 

Dalam ayat tersebut, Allah swt menjelaskan bahwa status anak angkat dalam Islam tidak sama dengan anak kandung. Anak angkat tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya. Hal ini berarti bahwa anak angkat tidak dapat menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya, tidak dapat mewarisi harta orang tua angkatnya. 

 

Lebih dari itu, Allah swt juga memerintahkan agar anak angkat dinasabkan kepada bapak-bapak kandungnya. Hal ini berarti bahwa anak angkat tetap memiliki hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, dalam kitab Tafsir As-Sam’ani:

 

فِي الْآيَة نسخ التبني، وَقد كَانَ الرجل فِي الْجَاهِلِيَّة يتبنى الرجل ويجعله ابْنا لَهُ مثل الابْن الْمَوْلُود، وعَلى ذَلِك تبنى رَسُول الله زيد بن حَارِثَة، فنسخ الله تَعَالَى ذَلِك

 

Artinya, “Dalam ayat tersebut, Allah menghapuskan hukum adopsi (melekatkan nasab anak pada orang tua angkat). Pada masa Jahiliyah, seorang laki-laki dapat mengadopsi seorang anak laki-laki dan menjadikannya anak kandungnya sendiri, sama seperti anak kandungnya sendiri. Rasulullah saw juga pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah. Namun, Allah swt menghapuskan hukum tersebut. (Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, Tafsir As-Sam'ani, [Riyadh, Darul Wathan: 1997], jilid II, halaman 258.

 

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak angkat tetaplah sebagai anak dari orang yang melahirkannya, bukan dari orang yang mengangkatnya sebagai anak. Hal ini karena anak angkat tidak memiliki hubungan darah, hak waris, dan tidak memiliki nasab yang tersambung.

 

Untuk mendukung argumen ini, terdapat juga hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, di mana ia menceritakan bahwa pada masa awal Islam, orang-orang biasa memanggil Zaid bin Haritsah dengan nama Zaid bin Muhammad, karena ia adalah anak angkat Nabi Muhammad. 

 

Namun, setelah turunnya ayat Al-Qur'an Al-Ahzab ayat 5, orang-orang mulai memanggil Zaid dengan nama aslinya, yaitu Zaid bin Haritsah. Simak hadis Nabi saw berikut:

 

عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

 

Artinya, “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Dulu kami memanggil Zaid bin Haritsah, budak Rasulullah saw, dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun ayat Al-Qur'an yang artinya: “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka.  Setelah ayat itu turun, maka kami pun memanggilnya dengan nama Zaid bin Haritsah.”

 

Dengan demikian, dalam Islam anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya. Karena itu, mereka tidak dianggap sebagai mahram. Mahram adalah orang-orang yang tidak boleh dinikahi, termasuk ibu, ayah, saudara kandung, dan seterusnya.

 

Berdasarkan hal tersebut, hukum anak angkat mencium orang tua angkatnya dalam Islam adalah seyogianya dihindari karena bukan mahram. terlebih jika sudah mengarah ke pada fitnah.

 

Lantas bagaimana solusinya jika ingin anak angkat menjadi mahram (boleh bersentuhan dan haram dinikahi)? Ulama memberikan dua solusi.
 

Pertama, solusi yang paling mudah dan praktis, yatiu dengan mengangkat anak dari kerabat yang masih mahram, maka anak angkat tersebut akan langsung menjadi mahram bagi orang tua angkat. Misalnya, jika suami ingin mengangkat anak angkat perempuan, maka bisa mengangkat anak perempuan dari saudara kandungnya. Karena saudara kandung adalah mahram, maka anak angkat perempuan tersebut juga menjadi mahram bagi suami.

 

Terkait susunan mahram, sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an Q.S an-Nisa' ayat 4;

 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

 

Artinya, “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu) dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Kedua, dengan menyusui anak angkat. Persusuan dapat menjadikan anak angkat menjadi mahram selama memenuhi syarat. Menurut Syekh Zainuddin Al-Malibari penyusuan yang mengharamkan pernikahan adalah penyusuan yang memenuhi lima syarat: (1) susu berasal dari perempuan yang sudah mencapai usia haid; (2) susu masuk ke dalam rongga bayi yang belum mencapai usia dua tahun; (3) masuknya susu harus secara yakin, bukan dugaan; (4) masuknya susu harus sebanyak lima kali; (5) masuknya susu harus secara ’urf, yaitu sesuai dengan adat kebiasaan setempat.

 

Berdasarkan syarat-syarat tersebut, maka penyusuan yang hanya satu kali tahapan, meskipun hanya setetes, juga sudah dihitung sebagai satu kali penyusuan. Hal ini karena penyusuan yang mengharamkan pernikahan adalah penyusuan yang sudah masuk ke dalam rongga bayi, meskipun hanya sedikit.

 

الرضاع المحرم وصول لبن آدمية بلغت سن حيض ولو قطرة أو مختلطا بغيره وإن قل جوف رضيع لم يبلغ حولين يقينا خمس مرات يقينا عرفا 

 

Artinya, “Persusuan yang mengharamkan nikah adalah sampainya susu putri Adam yang sudah mencapai usia haidh, meski hanya setetes atau bercampur dengan lainnya, meski sedikit, ke rongga bayi yang belum mencapai usia dua tahun secara yakin, sebanyak lima kali dengan yakin secara ’urf.”  (Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, jilid III, halaman 286).

 

Berdasarkan dalil-dalil tersebut dapat disimpulkan bahwa anak angkat dengan orang tua angkatnya adalah bukan mahram. Artinya, mencium atau bersentuhan dengan orang tua angkatnya dalam Islam seyogianya dihindari, terlebih jika sampai menimbulkan fitnah. 

 

Akan tetapi ulama punya solusi jika ingin menjadi mahram dengan anak angkatnya. Pertama, seyogianya angkat angkat berasal dari anak dari mahramnya. Ataupun kedua, diangkat ketika masih kecil, sehingga bisa menjadi ibu susuan dari anak angkatnya. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Zainuddin Lubis