Syariah

Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam

Sel, 24 Oktober 2023 | 13:00 WIB

Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam

Keluarga bermain bersama. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Menurut hukum Islam, status anak angkat adalah tidak sama dengan anak kandung. Hubungan antara orang tua angkat dan anak angkat hanyalah sebatas hubungan pengasuhan, bukan hubungan nasab. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S al-Ahzab [33] ayat 4;


ْ ۚوَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ


Artinya; "Dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)."


Al-Wahidi dalam Tafsir al-Wasith, halaman 171 menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan tentang anak angkat. Dalam Islam, anak angkat adalah orang yang mengaku sebagai anak dari orang lain, dan orang lain itu juga mengakuinya.


الأدعياء جمع الدعي، وهو الذي يدعي ابنا لغير أبيه، ويدعيه غير أبيه


Artinya; "Ad-da'iyya adalah jamak dari al-da'i, yaitu orang yang mengaku sebagai anak dari orang lain, dan anak tersebut juga mengakuinya [bahwa itu bukan ayah kandungnya]. "


Lebih lanjut, ayat ini turun untuk menjawab tuduhan orang-orang Yahudi dan munafik bahwa Rasulullah saw menikahi istri anaknya sendiri [Zaid bin Haritsah]. Tuduhan ini tidak benar karena meskipun Rasulullah saw. telah mengadopsi Zaid bin Haritsah, tetapi ia bukanlah anak kandungnya. Oleh karena itu, pernikahan Rasulullah saw. dengan Zainab binti Jahsy tidak melanggar syariat Islam


نزلت في زيد بن حارثة تبناه رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كالعادة التي كانت في العرب في الجاهلية، فلما تزوج زينب بنت جحش -وكانت امرأة زيد- قالت اليهود والمنافقون: تزوج محمد امرأة ابنه، فأنزل الله هذه الآية إبطالًا لما قالوا وتكذيبًا لهم أنه ابنه. وهذا قول ابن عباس ومجاهد وغيرهم


Artinya: "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Zaid bin Haritsah, yang diadopsi oleh Rasulullah saw sebagaimana kebiasaan orang Arab pada masa jahiliyah. Ketika Rasulullah saw menikahi Zainab binti Jahsy -yang merupakan istri Zaid-, orang-orang Yahudi dan munafik berkata: "Muhammad menikahi istri putranya." Maka Allah swt menurunkan ayat ini untuk membatalkan apa yang mereka katakan dan mendustakan mereka bahwa Zaid adalah putranya. Ini adalah perkataan Ibnu Abbas, Mujahid, dan selain mereka."


Anak Angkat dalam KHI

Sementara itu dalam Kompilasi Hukum Islam [KHI], Pasal 171 huruf h, pengertian anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.


Sejatinya, putusan pengadilan diperlukan untuk memastikan bahwa pengangkatan anak dilakukan secara sah dan sesuai dengan ketentuan hukum. Lebih lanjut, Keputusan pengadilan juga diperlukan untuk melindungi hak-hak anak angkat, termasuk hak untuk mengetahui identitas orang tua kandungnya.


Pada sisi lain, berdasarkan pengertian tersebut, maka anak angkat dalam KHI memiliki beberapa perbedaan dengan anak kandung, yaitu:​​​​​​ pertama, anak angkat tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya. Kedua, anak angkat tidak berhak untuk mewarisi harta orang tua angkatnya.


Dalam KHI sudah dijelaskan bahwa sejatinya anak angkat tidak mendapatkan warisan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 209 ayat (1) KHI yang berbunyi: "Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat 106 wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.


Penjelasan lebih lanjut, dalam hukum Islam, ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta warisan dari orang yang telah meninggal dunia. Ahli waris ditentukan berdasarkan hubungan darah, nasab, dan keturunan. Anak angkat tidak termasuk dalam ahli waris karena secara biologis tidak ada hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.


Meski demikian, anak angkat tetap berhak mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya melalui wasiat wajibah. Wasiat wajibah adalah bagian dari harta warisan yang harus diberikan kepada ahli waris tertentu, yaitu anak, cucu, ayah, ibu, dan kakek/nenek.


Pasal 209 ayat (2) KHI mengatur bahwa anak angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Dengan demikian, anak angkat tetap dapat mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya, meskipun tidak sebagai ahli waris.


Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid VIII, halaman 122;


بُيِّنَتْ أَنَّ الوَصِيَّةَ لِلأَقَارِبِ مُسْتَحبَّةٌ عِنْدَ الجُمْهُور مِنْهُمْ أَئِمَّةُ المَذَاهِبِ الأَرْبَعَةِ وَلاَ تَجِبُ عَلَى الشَّخْصٍ إِلاَّ بِحَقٍّ للهِ أَوْ لِلْعِبَادِ. وَيَرَى بَعضُ الفُقَهَاءِ كَابْنِ حَزْمٍ الظَّاهِرِى وَأَبِى بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ العَزِيْز مِنَ الحَنَابِلَةِ: أَنَّ الْوَصِيَّةَ وَاجِبَةٌ دِيَانَةٌ وَقَضَاءٌ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِيْنَ الذِيْنَ لاَ يَرِثُونَ لِحَجْبِهِمْ عَنِ المِيْرَاث… إِلَى أنْ قَالَ: وَقَدْ أَخَذَ القَانُونُ المِصْرِ وَالسُّوْرِىِّ بِالرَّأيِ الثَانِى.


Artinya;" Telah dijelaskan bahwa wasiat untuk kerabat adalah sunnah menurut jumhur ulama, termasuk imam-imam madzhab yang empat. Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali untuk hak dari Allah atau bagi hak hamba.


Dan sebagian ulama fikih, seperti Ibnu Hazm al-Zahiri dan Abu Bakar bin Abd al-Aziz dari mazhab Hanbali, berpendapat bahwa wasiat adalah wajib secara agama dan pembayaran kewajiban untuk orang tua dan kerabat yang tidak mewarisi karena terhalang dari mewarisi… hingga pengarang berkata: Dan hukum Mesir dan Suriah telah mengambil pendapat kedua."


Terakhir, kendati anak kandung dan anak angkat berbeda, akan tetapi anak angkat tetap berhak mendapatkan bagian dari harta warisan orang tua angkatnya melalui wasiat wajibah.