Nikah/Keluarga

Hukum Menikahi Anak Angkat

Rab, 9 Januari 2019 | 07:00 WIB

Hukum Menikahi Anak Angkat

Ilustrasi (Pinterest)

Salah satu permasalahan di bidang perkawinan yang acap kali timbul di masyarakat adalah perihal seorang yang berkeinginan menikahi seorang gadis yang notabene ia adalah anak angkatnya sendiri. Hukum tentang masalah ini masih belum banyak diketahui oleh masyarakat.

Untuk membahasnya perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana Islam mengatur hukum perkawinan khususnya dalam hal siapa saja perempuan yang boleh dinikahi dan yang tak boleh dinikahi. Secara garis besar para ulama fiqih menyimpulkan bahwa ada 3 (tiga) sebab yang menjadikan seorang perempuan haram dinikahi. Ketiga sebab itu adalah:

Pertama, adanya hubungan kekerabatan atau nasab antara si perempuan dengan calon suaminya. Sebagai contoh seorang laki-laki yang diharamkan menikah dengan adik atau kakak perempuannya. Ia juga diharamkan menikah dengan keponakan perempuannya yang merupakan anak dari adik atau kakaknya.

Perempuan yang haram dinikahi dalam kategori ini adalah ibu, anak perempuan kandung, saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, bibi dari pihak ibu, keponakan perempuan dari saudara laki-laki, dan keponakan perempuan dari saudara perempuan.

Kedua, adanya hubungan sepersusuan antara si perempuan dengan calon suaminya. Seperti seorang laki-laki diharamkan menikahi seorang perempuan yang sebetulnya tidak memiliki hubungan kekerabatan dengannya namun keduanya pernah menyusu pada seorang ibu yang sama.

Termasuk kaum perempuan dalam kategori ini adalah ibu yang menyusui dan saudara perempuan sepersusuan.

Ketiga, adanya hubungan mushâharah (hubungan kekeluargaan yang terjadi karena adanya perkawinan) antara si perempuan dengan calon suaminya. Misal sorang laki-laki diharamkan menikah dengan ibu mertuanya atau kakak perempuan ipar dari istrinya sedangkan sang istri masih hidup.

Perempuan yang masuk dalam kategori ini adalah ibu mertua, anak perempuan tiri yang ibunya telah disetubuhi, menantu perempuan, dan istrinya ayah.

Baca juga:
Siapa Saja Mahram, Orang yang Haram Dinikahi itu?
Status Hubungan Mahram Persusuan via Bank ASI
Hukum Menikahi Saudari Tiri
Tentang tiga kategori perempuan yang haram dinikahi ini bisa dilihat dalam berbagai kitab fiqih di antaranya dalam kitab Kifâyatul Akhyâr karangan Syekh Abu Bakar Al-Hishni (Damaskus: Darul Basyair, 2001, juz I, hal. 431 – 433).

Adapun dasar penentuan para perempuan mahram (yang haram dinikahi) ini didasarkan pada firman Allah di dalam Surat An-Nisa ayat 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: “Diharamkan bagi kalian (menikahi) ibu kalian, anak perempuan kalian, saudara perempuan kalian, bibi kalian dari ayah, bibi kalian dari ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu dari istri kalian, dan anak perempuan tiri dari istri kalian yang telah disetubuhi. Bila kalian belum mengumpuli para istri itu maka tak mengapa kalian menikahi anak tiri itu. Juga haram bagi kalian menikahi istri dari anak laki-laki kandung kalian dan mengumpulkan dua saudara perempuan kecuali apa yang telah lewat. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

Sementara pada ayat sebelumnya dalam surat yang sama Allah berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ

Artinya: “Dan janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi bapak-bapak kalian kecuali apa yang telah lewat.”

Sampai di sini kiranya cukup jelas siapa saja perempuan yang telah ditetapkan oleh syariat sebagai orang yang haram dinikahi. Maka bisa dipahami bahwa selain yang disebutkan di atas adalah perempuan yang halal untuk dinikah.

Bagaimana dengan anak angkat, apakah ia masuk dalam kategori orang yang boleh dinikah atau tidak?

Sebelum membahasnya ada baiknya kita menilik firman Allah di dalam surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ

Artinya: “Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anakmu.”

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ

Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka.”

Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah tidak menjadikan anak-anak angkat sebagai anak-anak kandung yang memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya. Allah juga memerintahkan agar anak-anak angkat itu dinasabkan kepada bapak-bapak kandung mereka (lihat: Muhammad Nawawi Al-Jawi, Marâh Labîd, [Beirut: Darul Fikr, 2007], juz II, hal. 196 – 197).

Dari sini kiranya bisa disimpulkan bahwa anak angkat tetaplah sebagai anaknya orang yang melahirkan (bapak biologisnya) dan bukan anaknya orang yang mengangkatnya sebagai anak.

Lalu bagaimana hubungannya dengan hukum menikahi anak angkat?

Meski anak angkat tidak menjadi anak dari orang tua angkatnya namun dalam menentukan hukum menikahinya mesti dijelaskan lebih dahulu dari mana asal usul anak tersebut mengingat bisa jadi anak angkat itu memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya dan bisa jadi sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengannya.

Pertama, bila anak angkat itu adalah anak yang memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya maka diharamkan menikahinya karena hubungan mahram tersebut. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang mengambil keponakan perempuannya (anak perempuan dari adik atau kakaknya) sebagai anak angkat. Antara laki-laki dan keponakan perempuannya itu jelas memiliki hubungan nasab yang menjadikan si keponakan sebagai mahramnya si laki-laki. Dalam hal ini maka keponakan perempuan haram dinikahi oleh laki-laki yang menjadi orang tua angkatnya itu. Keharaman ini bukan dari status si perempuan sebagai anak angkat namun karena sebagai mahram. 

Kedua, bila anak angkat itu tidak memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya maka diperbolehkan bagi keduanya untuk menikah. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang mengambil seorang anak perempuan sebagai anak angkat dimana di antara keduanya sama sekali tidak ada hubungan mahram, maka bila di kemudian hari laki-laki itu berkehendak menikahi anak angkatnya tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah.

Hanya saja pada kasus yang kedua meskipun secara hukum keduanya boleh dan sah untuk menikah namun bisa jadi ini akan menjadi bahan perbincangan di masyarakat karena dianggap sebagai sesuatu yang tak lumrah. Wallâhu a’lam

(Ustadz Yazid Muttaqin)