Syariah

Hukum Berbicara dan Berdehem saat Buang Hajat

Jum, 1 November 2019 | 10:30 WIB

Hukum Berbicara dan Berdehem saat Buang Hajat

Islam mengatur akhlak pemeluknya dalam segala lini kehidupan, termasuk dalam etika buang hajat.

Syariat Islam tidak hanya mengatur aspek halal-haram tapi juga akhlak dan moral. Hal ini seperti penjelasan Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’isyun dalam mendefinisikan Syariat sebagai berikut:

 

والشرائع جمع شريعة، من شرع بمعنى: بيَّن- وهي ما شرعه الله؛ أي بينه من الأحكام. وتعرف أيضا بأنها وضع إلهي سائق لذوي العقول باختيارهم المحمود إلى ما يُصلح معاشهم ومعادهم.

 

Al-Syarai’ adalah bentuk jama’ dari kata syari’at, dari akar kata syara’a dengan memakai makna menjelaskan. Syariat adalah hukum-hukum yang dijelaskan Allah. Syariat juga didefinisikan dengan ketentuan Tuhan yang mengantarkan orang-orang yang berakal sehat dengan pilihan mereka yang terpuji menuju sesuatu yang memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat mereka” (Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’ali Ba’isyun al-Hadlrami, Busyra al-Karim, hal. 48).

 

Syariat mengatur akhlak manusia dalam beberapa aspek kehidupan, mulai dari ibadah, transaksi, pernikahan, hingga persoalan pidana dan perdata. Di antara akhlak yang diatur agama dalam persoalan ibadah adalah adab bagi orang yang membuang hajat di kamar mandi.

 

Orang yang sedang membuang hajat di kamar mandi dianjurkan untuk tidak menghadap dan membelakangi kiblat, tidak membawa sesuatu apa pun yang bertuliskan nama Allah, Rasul, malaikat, ulama, dan nama-nama yang dimuliakan lainnya. Saat hendak memasuki kamar mandi, disunahkan membaca doa:

 

بِسْمِ الله أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

 

“Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung dari beberapa setan laki-laki dan perempuan.

 

Saat keluar kamar mandi, dianjurkan membaca doa:

 

الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي مَا يُؤْذِينِي وَأَبْقَى عَلَيَّ مَا يَنْفَعُنِي

 

“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku perkara yang menyakitiku dan menyisakan untuku perkara yang memberi manfaat kepadaku” (al-Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, juz.1, hal.130).

 

Dianjurkan pula untuk tidak berbicara. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Hibban dan lainnya sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Zakariyya al-Anshari:

 

وقد روى ابن حبان وغيره خبر النهي عن التحدث على الغائط

 

“Ibnu Hibban dan lainnya meriwayatkan hadits tentang larangan berbicara saat membuang kotoran” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz.1, hal.12).

 

Berbicara tanpa ada kebutuhan saat mengeluarkan kotoran hukumnya makruh berdasarkan hadits di atas, baik dengan ayat Al-Qur’an, dzikir, atau ucapan manusia pada umumnya. Bahkan bila ada orang yang mengucapkan salam, tidak wajib dan tidak perlu dijawab, atau ketika bersin di tengah-tengah buang hajat, hendaknya cukup berdzikir alhamdulillah di dalam hati tanpa menggerakan lisannya. Hukum berbicara tanpa kebutuhan menurut Imam al-Adzra’i bisa meningkat menjadi haram bila yang dibaca adalah ayat Al-Qur’an.

 

Sementara berbicara di kamar mandi saat tidak mengeluarkan kotoran hukumnya diperselisihkan di antara ulama. Menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami tidak makruh, beliau memahami larangan berbicara dalam hadits hanya ketika keluarnya kencing atau air besar. Pengecualian berlaku untuk berbicara dengan ayat Al-Qur’an atau dzikir—menurut pembesar mazhab Syafi’i tersebut hukumnya tetap makruh bila yang diucapkan adalah jenis bacaan tersebut. Sementara menurut pandangan Syekh al-Syaubari sebagaimana dikutip Syekh Sulaiman al-Bujairimi, kemakruhan berbicara bersifat mutlak, baik saat keluarnya kotoran atau tidak, beliau beralasan bahwa etika ini muaranya adalah kembali kepada tempat, sehingga tidak dibedakan antara kondisi keluarnya kotoran dan tidak.

 

Hukum makruh berbicara saat membuang hajat menjadi hilang bila ada kebutuhan atau maslahat, seperti memberitahukan informasi penting kepada orang lain, bahkan bisa manjadi wajib jika khawatir terjadinya sesuatu yang berbahaya semisal memperingatkan orang buta yang hampir terperosok, ada tanda-tanda kebakaran, atau lainnya.

 

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

 

(ولا يتكلم) أي يكره له إلا لمصلحة تكلم حال خروج بول أو غائط ولو بغير ذكر أو رد سلام للنهي عن التحدث على الغائط ولو عطس حمد بقلبه فقط كمجامع، فإن تكلم ولم يسمع نفسه فلا كراهة أو خشي وقوع محذور بغيره لولا الكلام وجب أما مع عدم خروج شيء فيكره بذكر أو قرآن فقط

 

“Hendaknya tidak berbicara, maksudnya dimakruhkan berbicara kecuali karena adanya maslahat, saat keluarnya air kencing atau kotoran, meski dengan selain dzikir atau berupa menjawab salam, karena larangan berbicara saat membuang hajat. Bila ia bersin, hendaknya memuji Allah di hati seperti orang yang berhubungan intim. Jika ia berbicara dan tidak memperdengarkan dirinya maka tidak ada hukum makruh, atau bila khawatir terjadinya hal yang berbahaya dengan tanpa berbicara, maka hukumnya wajib. Adapun saat tidak keluar kotoran apa pun, maka makruh hanya berupa ucapan dzikir atau ayat al-Quran” (Syekh Ibnu Hajar al-haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz.1, hal.170).

 

Di dalam kitab Hasyiyah al-Bujarimi dan Fath al-Wahhab diterangkan:

 

(و) أن (يسكت) حال قضاء حاجته عن ذكر وغيره فالكلام عنده مكروه إلا لضرورة كإنذار أعمى فلو عطس حمد الله تعالى بقلبه ولا يحرك لسانه

 

“Hendaknya diam saat membuang hajatnya dari dzikir dan lainnya, maka berbicara saat buang hajat adalah makruh kecuali karena darurat seperti memperingatkan orang buta. Jika ia bersin, maka memuji Allah di dalam hati dan tidak menggerakan lisannya.

 

(قوله: حال قضاء حاجته) ليس بقيد فالمعتمد الكراهة حال قضاء حاجته وقبله وبعده لأن الآداب للمحل، وإن كان قضية كلام الشيخين ما مشى عليه الشارح شوبري. (قوله: فالكلام عنده مكروه) ولو بالقرآن خلافا للأذرعي حيث قال بتحريمه ح ل.

 

“Ucapan Syekh Zakariyya; saat buang hajat; ini bukan qayyid, maka pendapat yang dibuat pegangan adalah makruhnya berbicara saat memenuhi hajat (keluarnya kotoran), sebelum dan setelahnya, karena etika kembali kepada tempat, meski petunjuk ucapan dua guru besar (Imam al-Nawawi dan Imam al-Rafi’i) adalah pendapat yang didukung oleh pensyarah (Syekh Zakariyya). Keterangan dari Imam al-Syaubari. Ucapan Syekh Zakariyya; maka berbicara saat buang hajat makruh; meski dengan ayat al-Quran, berbeda dengan imam al-Adzra’i yang mengatakan hukumnya haram. Keterangan dari Imam al-Halabi” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, dan Syekh Sulaiman al-Bujairimi, al-Tajrid linaf’il ‘Abid, juz.1, hal.56).

 

Termasuk hajat dalam berbicara adalah memberitahukan orang lain yang mengetuk pintu kamar mandi, biasanya dilakukan dengan cara berdehem. Tujuannya untuk menginformasikan bahwa kamar mandi tidak kosong alias ada orang di dalamnya. Dengan berbicara atau berdehem dapat menolak masuknya orang lain di kamar mandi yang tengah dipakai buang hajat. Bahkan menurut Syekh Ali Syibramalisi, berdehem bukan tergolong pembicaraan yang dilarang.

 

Syekh Ali Syibramalisi menegaskan:

 

وهل من الكلام ما يأتي به قاضي الحاجة من التنحنح عند طرق باب الخلاء من الغير ليعلم هل فيه أحد أم لا؟ فيه نظر، والأقرب أن مثل هذا لا يسمى كلاما، وبتقديره فهو لحاجة وهي دفع دخول من يطرق الباب عليه لظنه خلو المحل

 

“Apakah termasuk pembicaraan berdehem yang dilakukan orang yang memenuhi hajat ketika diketuknya pintu kamar mandi oleh orang lain untuk mengetahui apakah di dalam kamar mandi ada orang atau tidak?. Hal ini perlu dikaji matang, pendapat paling dekat adalah bahwa yang sejenis berdehem ini bukan termasuk pembicaraan (yang dilarang). Andaipun termasuk pembicaraan, maka termasuk pembicaraan karena kebutuhan, yaitu menolak masuknya orang lain yang mengetuk pintu karena dugaannya perihal kosongnya kamar mandi” (Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah Ali Syibramalisi ‘ala Nihayah al-Muhtaj, juz.1, hal.141).

 

Demikian penjelasan mengenai hukum berbicara dan berdehem saat memenuhi hajat di kamar mandi, semoga bermanfaat.

 

 

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.