Hikmah

Saat Fudhail bin ‘Iyad Mempertanyakan Kekayaan Abdullah bin Mubarak

Ahad, 17 April 2022 | 23:30 WIB

Saat Fudhail bin ‘Iyad Mempertanyakan Kekayaan Abdullah bin Mubarak

Dengan menggabungkan ketiganya, Ibnul Mubarak bisa berbuat lebih kepada dirinya dan orang-orang di sekitarnya, baik dengan bantuan finansial maupun ilmu pengetahuannya yang luar biasa. (Ilustrasi: Ilmfeed.com)

Dalam kitab Târîkh Madînah Dimasyq, Imam Ibnu ‘Asakir mencatat sebuah riwayat tentang Imam Fudhail bin ‘Iyad yang mempertanyakan kekayaan Imam Abdullah bin Mubarak. Berikut riwayatnya:

علي بن الفضيل يقول: سمعت أبي يقول لابن المبارك: أنت تأمرنا بالزّهد والتقلل والبُلغة, ونراك تأتي بالبضائع من بلاد خراسان إلي البلد الحرام, كيف ذا, وأنت تأمرنا بخلاف ذا؟


فقال ابن المبارك: يا أبا علي, أنا أفعل ذا لأصون بها وجهي, وأكرم بها عرضي, وأستعين بها علي طاعة ربي, لا أري لله حقا إلّا سارعتُ إليه حتي أقوم به


فقال له الفضيل: يا ابن المبارك, ما أحسن ذا إن تمّ ذا


Ali bin al-Fudhail (bin ‘Iyad) berkata: “Aku mendengar ayahku berkata pada Ibnu al-Mubarak:


“Kau memerintahkan kami untuk zuhud, menganggap kecil (harta), dan (hidup) secukupnya. Tapi kami melihatmu memiliki banyak harta (yang membentang) dari Khurasan sampai al-Haram (Makkah). Bagaimana bisa begitu? Padahal kau memerintahkan kami untuk tidak seperti itu?”


(Imam Abdullah) bin Mubarak berkata: “Wahai Abu ‘Ali. Aku melakukan ini untuk menjaga wajahku (dari meminta-minta/dikasihani), memuliakan jiwaku (dari kebakhilan) dan membantuku taat pada Tuhanku. Tidaklah aku melihat hak Allah kecuali aku bergegas menuju ke arahnya hingga aku (benar-benar) melakukannya.”


(Imam) Fudhail berkata kepadanya: “Sungguh luar biasa jika hal ini (berhasil) dicapai.” (Imam Ibnu ‘Asakir, Târîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, juz 32, hlm. 456)


****


Imam Abdullah bin Mubarak adalah orang yang sangat kaya raya. Ia memiliki properti di mana-mana. Kekayaan utamanya (modal), konon mencapai empat ratus ribu dinar emas. Ia gemar sekali membantu orang yang sedang menuntut ilmu, atau ulama yang sedang mengalami kesusahan finansial. Dalam sebuah riwayat, ia pernah memberi empat ratus ribu dinar kepada Imam Abu Usamah hanya karena melihat ada kesusahan di wajahnya. Ia tidak memberinya secara langsung tapi mengirimkannya. (Imam Syamsuddin al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Kairo: Muassasah al-Risalah, 1982, juz VIII, halaman 409-410).


Kisah tentang kedermawanannya begitu melimpah, ditulis hampir di berbagai kitab seperti Târîkh Madînah Dimasyq, Hilyah al-Auliyâ’, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, dan lain sebagainya. Murid dan teman-temannya menyaksikan sendiri kedermawanannya. Salah satu muridnya, Manshur bin Dinar mengatakan:


إن عبد الله كان يتصدق لِمُقامه ببغداد كلّ يوم بدينار


Artinya, “Sesungguhnya (Imam) Abdullah bersedekah untuk tempat tinggalnya di Baghdad satu dinar (emas) setiap hari.” (Al-Dzahabi, 1982: VIII/406).


Imam Abdullah bin Mubarak memiliki banyak rumah besar yang banyak dikunjungi dan didiami orang-orang yang belajar kepadanya, kecuali rumah yang di Kufah. Dalam Shifah al-Shafwa disebutkan bahwa Imam Abdullah bin Mubarak tinggal di rumah yang kecil (bil kûfah nazala fî dâr shaghîrah), dan tidak banyak yang datang kepadanya. Ketika ditanya soal itu, ia menjawab lebih senang seperti ini. Karena di tempat lainnya, terutama di tempat kelahirannya, Marwa, setiap ada permasalahan apa saja, orang-orang akan berkata, “bertanyalah kepada Ibnu al-Mubarak.” Dan di Kufah, ia terbebas dari itu, dan bisa memfokuskan diri dalam beribadah dan belajar. (Imam Abu al-Farj Abdurrahman ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz II, halaman 323)


Ia berbisnis agar bisa membantu orang yang kesusahan, terutama di kalangan ulama dan pelajar. Ia sering membayar hutang murid-muridnya, dan membiayai kehidupannya. Dengan kata lain, Imam Abdullah bin Mubarak menyediakan program scholarship (beasiswa) untuk para pelajar. Ia mengajar sekaligus membiayai kebutuhan mereka.


Dalam kisah di atas, Imam Abdullah bin Mubarak menjelaskan motivasinya dalam berbisnis, yaitu, pertama, untuk menjaga kehormatannya dari meminta-minta atau dikasihani. Kedua, untuk memuliakan jiwanya dari kebakhilan, dan ketiga, untuk membantunya dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.


Dengan kekayaannya, ia tidak akan pernah meminta-minta untuk dikasihani, sehingga upayanya untuk tidak bergantung kepada selain Allah dapat cukup terpenuhi. Kemuliaan dan kebersihan jiwanya pun akan terjaga dari kebakhilan, dan dari perasaan tidak nyaman ketika ia tidak mampu membantu orang yang membutuhkan. Ia pun dapat menggunakan kekayaannya dalam jalan ketaatan, seperti sedekah, zakat, membantu orang yang membutuhkan, membiayai para pelajar dan lain sebagainya. Ia pernah mengatakan sesuatu kepada Imam Fudhail bin ‘Iyadh. Katanya:


لولاك وأصحابك ما اتَّجرتُ


Artinya “Andaikan tidak karena kau dan sahabat-sahabat (murid-murid)-mu, aku tidak akan berbisnis (berdagang).” (Al-Dzahabi, 1982: VIII/386).


Dengan kata lain, ia mengambil peran sebagai orang yang mengumpulkan kekayaan untuk membantu perjalanan dakwah, proses belajar-mengajar, dan belajar para santri. Karena semua itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Ia pernah memberi teman-temannya dan orang yang hadir di majlisnya seribu dirham per-orang. (Ibnu ‘Asakir: XXXII/457)


Di samping itu, ia juga menafkahkan hartanya untuk fakir miskin yang membutuhkan. Dalam sebuah riwayat dikatakan:


وكان ينفق علي الفقراء في كل سنة مئة ألف درهم


Artinya “(Imam) Abdullah bin Mubarak menafkahkan (kekayaanya) untuk fakir (miskin) setiap tahun (sekitar) seratus ribu dirham.” (Al-Dzahabi, 1982: VIII/386).


Kekayaan tidak berada di hatinya, hanya di tangannya. Ia tidak akan merasa susah hati jika semua kekayaannya habis, dan memang sering habis untuk membantu orang lain, lalu terkumpul kembali karena usahanya.


Menariknya, Imam Abdullah bin Mubarak bukan hanya pebisnis yang sukses, tapi seorang ulama dan wali besar yang diakui kealimannya, sampai ada ungkapan dari Imam Abdullah bin Idris :


كل حديث لا يعرفه ابن المبارك, فنحن منه براء


Artinya “Setiap hadis yang Abdullah bin Mubarak tidak mengenalnya, maka kami berlepas diri dari hadits tersebut.” (Al-Dzahabi, 1982: VIII/403).


Di dalam dirinya, menurut Imam al-‘Abbas bin Mus’ab, terkumpul hadits, fiqih, bahasa, keberanian, kedermawanan, pebisnis dan cinta yang dalam. Kepakarannya dalam bidang hadits tidak diragukan lagi. Imam Abu Usamah mengatakan:


ابن المبارك في المحدثين مثل أمير المؤمنين في الناس


Artinya “(Imam Abdullah) bin Mubarak di (kalangan) ahli hadits seperti amirul mukminin di (kalangan) manusia.” (Al-Dzahabi, 1982: VIII/383-384).


Ia memiliki banyak guru dalam bidang hadits, fiqih, qiraat, dan lain sebagainya. Menurut pengakuannya, ia memiliki empat ribu guru (hamaltul ‘ilma ‘an arba’ati âlâfi syaykhin). (Al-Dzahabi, 1982: VIII/397). Artinya, meski ia sibuk mengajar dan berbisnis, ia tidak lupa untuk terus menuntut ilmu, hingga memiliki guru dengan jumlah yang fantastis.


Ini menunjukkan bahwa kesuksesan intelektual dan spiritual bisa selaras dengan kesuksesan finansial. Dengan menggabungkan ketiganya, ia bisa berbuat lebih kepada dirinya dan orang-orang di sekitarnya, baik dengan bantuan finansial maupun ilmu pengetahuannya yang luar biasa.

Wallahu a’lam bis shawwab...


Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.