Tafsir

Tafsir Surat Al-'Alaq Ayat 6-8: Jangan Sok Kaya dan Kuasa

Sel, 11 Oktober 2022 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-'Alaq Ayat 6-8: Jangan Sok Kaya dan Kuasa

Jangan Sok Kaya dan Kuasa

Berikut ini adalah teks, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-'Alaq  Ayat 6-8:


كَلَّآ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ ۙ (6) اَنْ رَّاٰهُ اسْتَغْنٰىۗ (7) اِنَّ اِلٰى رَبِّكَ الرُّجْعٰىۗ (8)


(6) Kallā innal-insāna layaṭgā, (7) arra'āhustagnā. (8) Inna ilā rabbikar-ruj‘ā.


Artinya, “(6) Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, (7) ketika melihat dirinya serba berkecukupan. (8) Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu).”


Sababun Nuzul Surat Al-'Alaq Ayat 6

Syekh Nawawi Banten (wafat 1316 H) menerangkan bahwa sababun nuzul ayat 6 sampai akhir surat berkenaan dengan Abu Jahal, sebagaimana berikut:


روي أن أبا جهل قال لرسول الله صلّى الله عليه وسلّم: أتزعم أن من استغنى طغى فاجعل لنا جبال مكة فضة وذهبا لعلنا نأخذ منها فنطغى فندع ديننا ونتبع دينك، فنزل عليه جبريل عليه السلام فقال: يا محمد إن شئت فعلنا ذلك، ثم إن لم يؤمنوا فعلنا بهم ما فعلنا بأصحاب المائدة. فكف رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن الدعاء إبقاء عليهم


Artinya, “Diriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata kepada Rasulullah saw: “Apakah kau mengira seorang yang berkecukupan itu melewati batas? Maka jadikanlah bagi kami gunung-gunung Makkah itu emas, barangkali kami akan mengambilnya kemudian kami melampaui batas, lalu kami meninggalkan agama kami, dan kami akan mengikuti agamamu.” Lalu Jibril as turun dan berkata: “Ya Muhammad, jika engkau menghendaki maka kami akan lakukan hal tersebut; namun jika mereka tidak beriman, maka kami akan melakukan kepada mereka seperti yang telah dilakukan kepada Ashab Maidah.” Lalu beliau menahan tawaran Jibril as itu untuk menyelamatkan mereka." (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II, halaman 455).

 


Ragam Tafsir Surat Al-'Alaq Ayat 6-8

Menurut Imam Al-Qurthubi (wafat 671 H), yang dimaksud kata al-insan dalam ayat adalah Abu Jahal, sedangkan maksud kata at-tughyan adalah mujaazawatul had fil 'isyan atau melampaui batas dalam kemaksiatan.


Menurut Imam Al-Baidhawi (wafat 685 H), kata kallā (sekali-kali tidak) berfungsi untuk mencegah orang mengufuri nikmat Allah dengan perbuatanya yang melampui batas, sekalipun dalam ayat Allah tidak menyebutkan perbuatan melampaui batas itu secara terang-terangan, karena kalimat dalam ayat sudah memenunjukkan hal tersebut.


Menurut beliau, khitab كَ (kamu) dalam ayat 8 maksudnya adalah kata al-insan dalam ayat 6. Dalam ilmu tafsir pola seperti ini disebut dengan istilah iltifat, yaitu dari yang sebelumnya menggunakan kata insan, kemudian pada ayat berikutnya menggunakan kata كَ (kamu). Pola iltifat semacam ini digunakan sebagai bentuk ancaman dan peringatan terhadap perbuatan melewati batas. (Nasiruddin As-Syairazi Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil, [Beirut, Darul Ihya': 1418 H], juz V, halaman 325).


Syekh Nawawi al-Bantani (wafat 1316 H) menafsirkan kallā innal-insāna layaṭgā, arra'āhustagnā, dengan makna: “Benar hai Muhammad, sesungguhnya orang kafir takabur kepada Tuhannya, karena dia melihat dirinya tidak membutuhkan Tuhan sebab harta bendanya”. Inna ilā rabbikarruj‘ā maknanya: “Sungguh hanya kepada Tuhan yang memiliki perkaramu, kembalinya segala sesuatu sebab kematian dan kebangkitan, maka saat itu kamu akan melihat akibat penentanganmu.” (Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr, juz II, halaman 455).


Sementara menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili (wafat 2015 M), makna kallā innal-insāna layaṭgā, arra'āhustagnā adalah: “Tercegahlah wahai manusia dari kekufuranmu atas nikmat Allah kepadamu, dan melewatibatasmu dalam kemaksiatan, karena engkau melihat dirimu tidak lagi membutuhkan Allah sebab kekuatan dan orang-orang yang menolongmu.


Dalam penafsiran lain dikatakan, maksud ayat adalah: sangat nyata, sungguh menakjubkan sekali hal ihwal manusia. Ia mendapati dirinya sebagai orang yang rendah dan lemah saat dirinya fakir, kemudian ia menjadi zalim dan melewati batas dalam kemaksiatan. Kemudian ia takabur dan menentang Allah, hingga ia merasa bahwa dirinya berkuasa.


Menurut Syekh Wahbah, mayoritas mufasir menyatakan yang dimaksud al-insan di sini adalah Abu Jahal dan orang-orang semisalnya. Kemudian Allah memberikan peringatan dengan balasan-Nya di akhirat. Allah berfirman: Inna ilā rabbikar-ruj‘ā, yakni: sesungguhnya tempat kembali manusia hanya kepada Allah, tidak kepada selain-Nya; Dialah dzat yang akan menghisab atau menghitung harta seluruh manusia; dari mana harta dikumpulkan dan ke mana dibelanjakan. (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, At-Tafsir Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 318-319).


Walhasil, secara sederhana Surat Al-'Alaq Ayat 6-8 melarang manusia dari perbuatan melampaui batas dengan maksiat atau menentang Allah, karena merasa berkuasa dan kaya dengan mengandalkan harta benda yang dimilikinya. Karena sangat jelas, semua kekuasan dan kekayaan manusia akan dipertanggugjawabkan di hadapan Allah. Wallahu a’lam

 


Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo