Syariah

Kenapa Anak Muda Gampang Marah?

Sen, 21 Agustus 2023 | 10:00 WIB

Kenapa Anak Muda Gampang Marah?

Anak muda marah. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Kekerasan demi kekerasan terus dipertunjukkan anak muda di zaman ini. Di Depok, seorang pemuda dengan tega hati, menggorok kedua orang tuanya dengan golok. Sebabnya, ia marah pada ibu dan bapaknya yang dianggap tidak menghargainya sebagai anak. 


Februari 2023, di Deli Serdang, Sumatera Utara, terjadi tawuran antara dua kelompok remaja . kekerasan di jalanan ini mengakibatkan seorang remaja 26 tahun meninggal dunia. Penyebabnya, sangat sederhana, berawal kedua kelompok remaja ini, saling ejek di media sosial.


Di tempat lain, seorang pemuda, yang merupakan anak pejabat dewan legislatif Maluku, dengan tega hati memukul seorang remaja hingga meninggal dunia. Akibat pukulan keras bagian kepala, membuat lelaki umur 15 tahun itu tak tertolong nyawanya. Akar persoalan sangat remeh, motor si korban hampir senggolan dengan pelaku. Tidak terima, akhirnya pelaku mengejar dan memukul bagian kepala hingga tewas. 


Yang tak kalah bikin heboh satu Republik ini, adalah kekerasan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo, seorang pemuda umur 19, kepada korban David Ozora. Kekerasan brutal tersebut dibuat videonya, kemudia viral di media sosial. Akibat kekerasan itu, David mengalami koma dan dirawat lebih dari sebulan di rumah sakit. 


Dari pelbagai rentetan kasus kekerasan yang ini, pelakunya adalah anak muda. Timbullah pertanyaan, apa yang menyebabkan kekerasan terjadi? Dan kenapa anak muda gampang sekali tersulut emosinya?


Untuk pertanyaan pertama, Cherian George punya jawabannya. Dalam buku Pelintiran Kebencian; Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi, ia  menjawab soal ini dengan mengatakan bahwa intoleransi dan kemarahan sebagai penyebab kekerasan. Jadi kekerasan sumbu utamanya adalah amarah yang tidak terkontrol. Amarah yang membuncah, membuat rasionalitas terkubur, kemudian yang timbul adalah hawa nafsu yang murka. Sehingga dengan gampang melahirkan kekerasan, yang tak jarang berujung pada kematian. 


Kemudian untuk pertanyaan lanjutan, kenapa anak muda gampang marah? Ilmu Psikologi punya jawabannya. Anak muda memang gampang terjangkit iritabilitas, yakni ketidakmampuan diri mengontrol atau mengelola perasaan marah dan menghalangi berpikir jernih. Anak muda, cenderung gampang terjangkit iritabilitas, yang ditandai dengan kecenderungan merasakan marah secara berlebihan dan mudah terpicu dan melakukan reaksi emosional yang kuat.


Sejatinya, ada banyak faktor yang mempengaruhi anak muda gampang emosi dan terjangkit iritabilitas. Salah satunya banyak tekanan sosial selama masa remaja. Tekanan ini dapat berasal dari teman sebaya, keluarga, dan sekolah. Tekanan sosial ini dapat menyebabkan stres, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kemarahan.


Di sisi lain, kemarahan anak muda juga dipengaruhi faktor lingkungan tempat ia berada. Lingkungan yang tidak kondusif, berperan dalam meningkatkan risiko anak muda mudah marah. Misalnya, jika anak muda tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan atau konflik, mereka lebih mungkin untuk mengalami kemarahan.


Gangguan mental, seperti gangguan bipolar dan gangguan kepribadian antisosial, juga dapat menyebabkan kemarahan. Jika anak muda mengalami gangguan mental, itu mengakibatkan lebih mudah marah daripada anak muda yang tidak mengalami gangguan mental.


Yang tak kalah penting, usia muda masih dalam proses belajar untuk mengelola emosi mereka. Remaja dan pemuda, masih banyak yang belum matang dalam mengelola emosi. Usia ini masih rentan, dan belum memiliki kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan emosi secara sehat. Kondisi inilah yang marak membuat mereka lebih mudah marah.


Marah hanya akan mendatangkan kerugian

Henry Manampiring lewat buku  Filosofi Teras; Filsafat Yunani- Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini, halaman 155, menyetir kemarahan menjerumuskan pikiran manusia. Merusak tata cara logika yang benar. Pasalnya, kemarahan bisa begitu memuncak hanya karena awal yang remeh. Di beberapa berita, dua kampung tawuran hanya gegara urusan pertandingan sepak bola. Pun, dua orang yang berdasi, berpendidikan, kelas menengah-atas, baku hantam di jalanan hanya karena urusan mobil keserempet. Atau banyak kasus remeh temeh lagi yang membuat orang saling benci dan berkelahi.


Bagi Filosof Seneca, kata Henry, orang yang sedang marah sedang mengalami gila sementara [temporary madness], Pun bagi kita yang sebagai pihak ketiga, melihat orang marah dan berkelahi hanya karena urusan sepele, tentu setuju dengan ucapan Seneca ini. Seyogianya, kita yang tengah berada dalam amarah, segera mungkin memberhentikannya, dan mulai terbangun dari “kegilaan sementara”. Toh, pada ujungnya marah yang tidak terkontrol, hanya akan berujung penyesalan. 


Di sisi lain, Marcus Aurelius, pencetus mazhab Stoikisme, menasihati bahwa kemarahan dan kesedihan jauh lebih merusak dari pada perlakuan itu sendiri. Artinya, marah itu adalah sumber dari segala masalah. Terlebih marah, itu dimulai dari persepsi kita sendiri atas sebuah peristiwa. Yang sayangnya, persepsi tadi tidak berdasarkan analisa terlebih dahulu. Padahal persepsi rentang keliru.


Sederhananya, seorang asing lewat di depan kita, tetapi tidak pakai kata “permisi”, sehingga batin kita emosi, dan muncul persepsi: "Dia tidak menghormati saya". Persepsi tadilah yang terus menguasai, sehingga membuat seorang tega memukul dan melakukan kekerasan fisik lainnya, hanya karena masalah persepsi. 


Pantas saja Imam Al Ghazali mengatakan bahwa kemarahan dan api neraka, dua kutub yang berdekatan. Kemarahan pada ujungnya akan mengantarkan seorang kepada api neraka. Ia berkata;


ما غضب أحد إلا أشفى على جهنم


Artinya "Tidaklah seseorang marah kecuali ia semakin dekat ke neraka Jahannam."  


Di sisi lain, pantas juga Rasulullah mewasiatkan bahwa menahan diri dari amarah itu sangat penting, bahkan nasihat itu berulang kali diucapkan Nabi ketika seorang pria meminta petuah. Nabi senantiasa konsisten “Jangan marah. Jangan marah”. 


.أنَّ رَجُلًا قالَ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أوْصِنِي، قالَ: لا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا، قالَ: لا تَغْضَبْ


Artinya; "Seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah aku wasiat?” beliau bersabda, “Janganlah kamu marah.” Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap bersabda, “Janganlah kamu marah.” (HR. Bukhari).


Habib Umar bin Hafidz, sebagaimana dinukil Habib Husein Ja’far Al Hadar dalam buku Seni Merayu Tuhan, menerangkan kemarahan dan kebencian yang seharusnya hanya karena Allah. Apabila dijadikan bukan karena Allah, maka justru akan menarik orang-orang tersebut keluar dari jalan Allah. Dalam Al-Qur’an Q.S al Maidah [5] ayat 8, Allah berfirman;


وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ


Artinya; "Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah." 


Syekh Alauddin Al Khozin berkomentar, ayat ini menegaskan bahwa dilarang membenci secara berlebihan, terlebih bila menimbulkan ketidakadilan. Padahal dalam Islam, kita dianjurkan untuk berlaku adil pada siapapun, termasuk pada orang yang kita benci dan musuh. 


Dalam kitab Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani at-Tanzil, Jilid II, halaman 20, dijelaskan; 


وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ ولا يحملنكم بغض قوم عَلى أَلَّا تَعْدِلُوا على ترك العدل فيهم لعدوانهم اعْدِلُوا أمر الله بالعدل في كل أحد القريب والبعيد والصديق والعدو  


Artinya: "[Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu] artinya "Dan jangan biarkan kebencian terhadap suatu kaum menghalangi kalian untuk berlaku adil. Tetaplah adil, bahkan jika itu berarti meninggalkan sikap adil terhadap mereka karena perbuatan zalim mereka. Jalankanlah perintah Allah dengan keadilan dalam setiap kondisi, baik kepada yang dekat maupun yang jauh, kepada teman maupun lawan."


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat