Syariah

Lima Urgensi Kajian Ushul Fiqih

Sen, 18 Oktober 2021 | 13:00 WIB

Lima Urgensi Kajian Ushul Fiqih

Mengingat, Islam mengantongi konsep dan teori-teori universal yang matang untuk merespon itu semua yang bernaung di bawah fan ilmu ushul fiqih. (hamzetwasl.net)

Syekh ‘Iyadh bin Nami bin ‘Audh as-Sulami, adalah salah seorang pemikir, cendekiawan muslim, juga doktor dalam bidang Ushul Fiqih. Ia menyelesaikan pendidikannya dari sarjana, magister, hingga jadi doktor di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud (Jāmi'āh Al-Imām Muhammad bin Saud Al-Islāmiyah) Riyadh, Arab Saudi.


Ia lahir pada tahun 1373 H, atau bertepatan dengan tahun 1953 M, di daerah Muhafadhzatul Kamil yang berada di bagian timur kota Makkah al-Mukarramah. Kini, aktif sebagai dosen tetap di fakultas syariah, Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, tempat kuliahnya dulu.


‘Iyadh As-Sulami, begitu ia sering menyebut dirinya dalam karya-karyanya, merupakan sosok penulis produktif dalam bidang Ushul Fiqih yang patut diteladani. Karyanya cukup banyak dan menginspirasi.


Di antaranya, kitab Istidlalul Ushuliyin bi al-Kitab wa as-Sunnah ‘ala al-Qawa’id al-Ushuliyah, Tahrirul Maqal fi ma Tashihhu Nisbatuhu lil Mujtahid min al-Aqwal, Syihabuddin al-Qaraf; Hayatuhu wa Ara‘uhu al-Ushuliyah, kitab Ushul al-Fiqih Alladzi la Yasa’ul Faqih Jahluhu, dan sekian banyak judul lainnya dalam bidang Ushul Fiqih yang tak sempat disebutkan di sini.


Judul kitab yang saya sebutkan terakhir, termasuk salah satu koleksi santri Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur sebagai bahan bacaan ‘santai’ mereka. Dengan gaya bahasanya yang renyah, penyajiannya yang sistematis, membuat mereka tak sampai mengernyitkan dahi bila membacanya.


Sekarang, saya sedang membaca kitab itu menggunakan sistem ‘khataman’-sistem membaca cepat dengan target selesai dalam waktu yang tak lama-bersama teman-teman santri semester tiga di Situbondo. Hal yang cukup menarik perhatian di awal kitab ini, yaitu saat syekh ‘Iyadh as-Sulami menyebutkan lima manfaat besar mendalami Ushul Fiqih dengan sudut pandang yang cukup membuat sekalian pemula terbelalak. Berikut rinciannya:


Pertama,memahami agama secara mendalam. Dengan mendalami ilmu Ushul Fiqih berarti kita tengah menyelami agama lebih dalam lagi. Bukan hanya pada bagian permukaannya. Dari sanalah kemudian kita mengerti apa hak dan kewajiban kita secara proporsional. Sebab, kita tak hanya melihat sikap agama dari hukum-hukum yang ada. Tetapi juga mampu melihat dalil yang menjadi sumber hukum tersebut, sekaligus bagaimana cara memperolehnya.


Lalu, kalau ada pertanyaan, bukankah para ulama kita sudah merumuskan hukum-hukum fiqih sejak lama, bahkan sejak awal abad ketiga melalui karya-karyanya imam asy-Syafi’i? Lalu apa pentingnya kita mempelajari Ushul Fiqih saat ini?


Di sini, syekh ‘Iyadh as-Sulami menjawab, justru karena semakin banyak kitab-kitab fiqih yang bertebaran, lebih mendorong kita semakin giat dan lahap mengonsumsi teori-teori ushul fiqih. Bukan malah semakin meninggalkannya. Karena bagaimana pun, produk-produk fiqih itu adalah hasil ijtihad. Sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah kita, perlu menguji produk-produk itu menggunakan timbangan dan batu uji yang kokoh. Paling tidak, dengan ushul fiqih, kita mengetahui mana pendapat yang paling benar dan paling layak diterapkan di tengah umat dari sekian ragam pendapat yang ada.


Kedua, mampu merespon persoalan dan isu-isu mutakhir yang tak ditemukan jawabannya dalam teks-teks agama baik Al-Qur’an maupun hadist. Maka dari itu, perlu melakukan ijtihad atau upaya memperoleh hukum menggunakan kaidah dan teori-teori ushul fiqih yang telah dirumuskan para mujtahid kenamaan kita.


Ada begitu banyak isu-isu yang tak tercakup oleh teks-teks agama, sehingga perlu dijawab menggunakan spirit-spirit teks yang ada (ruh an-nushush). Misalnya, isu tentang inseminasi buatan (artificial insemination atau at-talqih as-shina’i), fertilisasi bayi tabung (in virto fertilization atau athfal al-anabib), pembekuan embrio (freezing of embryos aggs atau tajmidul ajinnah wa al-buwaidhat), dan banyak yang lainnya.


Dalam hal ini, tepat sekali apa yang dikatakan imam Ibnu Rusyd al-Qurtubi dalam mukadimah kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid-nya yang berbunyi:


ومحال أن يقابل ما لا يتناهى بما يتناهى


Artinya, “Sangat absurd sekali bila sesuatu yang terus bertambah dan tak terbendung banyaknya akan ditakar dengan wadah yang tak elastis.”


Ketiga, mengetahui hikmah dan rahasia legalisasi syariat.Dengan merenungkan setiap alasan dan tujuan legalisasi hukum, sedikit-banyak membantu kita menjangkau lebih dalam apa rahasia legalisasi hukum itu sendiri. Misalnya, melalui kemampuan kita medialogkan hukum-hukum yang berkontradiksi, memilih dalil yang lebih kuat dan hukum yang lebih relevan, menimbang mana kemaslahatan yang lebih besar dan dampak buruk yang lebih mendesak untuk dihindari atau diselesaikan, dan lain sebagainya. Semua pengetahuan itu adalah media untuk sampai pada pengetahuan ihwal hikmah dan rahasia setiap legalisasi hukum. Terpenting lagi, itu tak mungkin tercapai tanpa mendalami ushul fiqih.


Keempat,menepis dugaan beberapa aliran bahwa hukum Islam tidak mampu menjawab persoalan umat kekinian.Hal itu dengan cara menampilkan peran demi peran syariat dalam menjawab kebutuhan serta memberi jalan keluar dari setiap persoalan umat, sejak dahulu, saat ini dan seterusnya. Mengingat, Islam mengantongi konsep dan teori-teori universal yang matang untuk merespon itu semua yang bernaung di bawah fan ilmu ushul fiqih. Jadi, Islam tidak akan pernah kehilangan solusi untuk persoalan-persoalan umat, selama kita tidak berpaling dari diskursus ilmu tersebut.


Kelima, menjaga para pakar fiqih (faqih) dari kesesatan berpikir. Telah jamak diketahui bahwa fiqih merupakan produk dari ushul fiqih.Ia laiknya makanan siap saji yang telah diracik sedemikian rupa oleh para pakar ushul fiqih (ushuli). Jadi, tak mesti orang yang ahli dalam bidang fiqih mengerti secara mendalam bagaimana logika ushul fiqih. Sebagaimana orang yang hanya mengenal nama ragam sajian kuliner beserta rasanya, namun belum tentu paham bagaimana membuatnya. Karena itu, sebuah keharusan bagi seorang faqih untuk mengkaji ushul fiqih dengan serius dan mengikuti isu-isu terbaru prihal ilmu tersebut. Mengingat, mendalami ushul fiqih tak bisa hanya sebatas teori (nazhari) semata, tetapi juga harus mengikuti implementasinya (tathbiqi). Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.