Syariah

Memahami Penjelaskan Hukum Allah dalam Al-Qur’an

Sen, 6 Juni 2022 | 22:15 WIB

Memahami Penjelaskan Hukum Allah dalam Al-Qur’an

Ilustrasi. (Pinterest)

Dalam Al-Qur’an ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang hukm (Arab). Pengamatan sepintas, boleh  jadi mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Qur’an yang secara tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari Allah yakni ayat yang menyatakan, menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, inil hukmu illa lillah (QS Al-An'am [6]: 57).


Pakar Tafsir Al-Qur’an Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an (2000) mengungkapkan, kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebijaksanaan Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat slogan yang bunyinya sama dengan redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi ditanggapi oleh Ali r.a. dengan berkata, Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah batil.


Memang ada empat ayat Al-Qur’an yang menggunakan redaksi tersebut, tetapi ada dua hal yang harus digarisbawahi dalam hubungan ini. Pertama, keempat ayat yang menggunakan redaksi tersebut dikemukakan dalam konteks tertentu. Perhatikan ayat-ayat berikut:


Katakanlah, "Sesungguhnya aku dilarang menyembah apa-apa yang kamu sembah selain Allah". 


Katakanlah, "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk".


Katakanlah, "Sesungguhnya aku berada di atas bukti yang nyata (Al-Qur’an). Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik" (QS Al-An'am [6]: 56-57).


Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta keputusan menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan wewenang Allah. Dalam surat Yusuf (12): 40, dan 67 redaksi serupa juga ditemukan Ayat 40 berbicara dalam konteks mengesakan Allah dalam ibadah:


Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Sedangkan ayat 67 berbicara tentang kewajiban berusaha dan keterlibatan takdir Allah.


Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu gerbang, tetapi masuklah dan pintu gerbang yang berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari takdir Allah.


Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah Kepada-Nya aku berserah diri dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri. Ayat keempat dan terakhir  menggunakan  redaksi  yang  sedikit berbeda, yang terdapat dalam surat Al-An'am (6): 62,


Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan kepada (putusan,) Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat.


Sebagaimana terbaca, ayat ini berbicara tentang ketetapan hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah sendiri pada hari kiamat. Di sisi lain, ditemukan sekian banyak ayat yang menisbahkan hukum  kepada manusia, baik dalam kedudukannya sebagai nabi maupun manusia biasa.


Perhatikan  firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (2): 213 yang berbicara tentang diutusnya para nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan tujuan --menurut redaksi Al-Quran: Agar masing-masing Nabi memberi putusan tentang perselisihan antar manusia.


Di samping perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang ditujukan kepada seluruh manusia yang berbunyi: Dan apabila kamu berhukum (menjatuhkan putusan) di antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan adil (QS Al-Nisa' [4]: 58).


Kedua, kalaupun ayat-ayat yang berbicara tentang kekhususan Allah dalam menetapkan hukum atau kebijaksanaan, dipahami terlepas dari konteksnya, maka kekhususan tersebut bersifat relatif, atau apa yang diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Qur’an dengan hashr idhafi.


Dengan memperhatikan keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada manusia untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar pelimpahan dari Allah SWT, dan karena itu manusia yang baik adalah yang memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu. (Fathoni)