Pajak dalam Sejarah Islam: Dari Kewajiban Terpilih Menjadi Tugas Bersama
Kamis, 23 Mei 2024 | 14:45 WIB
Mutiara Intan Permatasari
Kolomnis
Diantara pemasukan kas negara dalam sejarah Islam adalah jizyah, di mana istilah ini digunakan untuk pajak yang bersifat wajib dan dibebankan kepada non muslim saja demi keamanan mereka menetap di negara. Ulama mendefinisikan:
الجزية فهي التي تفرض على كل فرد غير مسلم
Artinya, "Jizyah adalah pajak yang diwajibkan kepada setiap individu dari kalangan non muslim." (Muhammad Kamil Hasan Al-Mahami, Al-Jizyatu fil Islam Dharibatur Ruusi wa Dharibatul Ardhi, [Beirut, Dar Maktabat Al-Hayaht], halaman 14).
Seiring berjalannya waktu, istilah pungutan pajak tidak hanya dikhususkan untuk non muslim, melainkan semua rakyat tanpa memandang agama yang dianut. Sehingga muncul sebuah pertanyaan, "Apakah boleh negara mewajibkan pajak ke semua rakyat (muslim dan non muslim)?"
Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya kita perlu melihat praktek yang ada dalam sejarah peradaban Islam.
Sejarah Pajak dari Masa ke Masa
Dalam sejarah Islam, pernah terjadi juga pemungutan pajak yang bersifat wajib dan dibebankan kepada semua rakyat. Hal tersebut dilakukan supaya kebutuhan dan kemaslahatan rakyat dan negara dapat terpenuhi ketika terdeteksi adanya kekurangan pada kas negara. Praktek tersebut sudah pernah dilaksanakan oleh kepemerintahan Islam, di antaranya yang disajikan dalam data sebagai berikut.
Pertama: Penarikan Pajak oleh Sultan Al-Zahir Baybars di Syam
لما غزا التتار بلاد الشام ، وتأهب الظاهر بيبرس لقتالهم ، لكنه كان في حاجة إلى المال لتجهيز الجيش والإنفاق على الجنود ، ولم يكن في بيت المال ما يكفي لذلك ، استفتى علماء الشام في مدى جواز أخذ شيء من أموال الشعب لمواجهة نفقات الجيش فأفتوه جميعاً بذلك
Artinya, "Ketika bangsa Tatar menyerang wilayah Syam, Sultan Al-Zahir Baybars pun bersiap untuk melawan mereka. Namun, ia membutuhkan uang untuk mempersiapkan tentara dan membiayai para prajurit. Sayangnya, kas negara tidak memiliki cukup dana untuk itu. Maka, ia meminta pendapat para ulama Syam tentang boleh tidaknya mengambil sebagian uang rakyat untuk menutupi biaya tentara. Kemudian para ulama tersebut semuanya mengizinkan hal itu." (Muhammad Rajab Al-Bayumi, Ulamau fi Wajhit Tughyan, (Palestina: Maktabat al-Falistin li al-Kutub al-Mushawarah), halaman 73).
Kedua: Penarikan Pajak oleh Amirul Mukinin Yusuf bin Tasyfin di Andalusia
وفي عهد أمير المؤمنين يوسف بن تاشفين في الأندلس، كان في حاجة إلى المال لتجهيز الجيوش ومواجهة الأعداء ، ولم يكن عنده في بيت المال ما يكفي لذلك فجمع العلماء والقضاة ، ومنهم القاضي أبو الوليد الباجي ، وأفتوه بالإجماع بأن له أن يأخذ من ال المسلمين ما يفي بتلك الحاجات
Artinya, "Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Yusuf bin Tasyfin di Andalusia, beliau membutuhkan uang untuk mempersiapkan pasukan dan menghadapi musuh. Namun, di baitul mal tidak tersedia cukup dana untuk keperluan tersebut. Lalu beliau mengumpulkan para ulama dan hakim, termasuk Qadi Abu Al-Walid Al-Baji. Mereka semua dengan suara bulat memfatwakan bahwa beliau diperbolehkan mengambil dari kaum Muslimin sejumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut." (Musthafa As-Siba'i, Isytirakiyatul Islam, [Mesir, Dar Mathabi As-Sya'bi: 1962 M], halaman 196).
Kebijakan penarikan pajak oleh pemerintahan Amirul Mukminin Yusuf bin Tasyfin di Andalusia merupakan contoh terbukanya pintu kebolehan adanya penerapan pajak bagi seluruh muslim maupun non muslim. Tindakan ini penting dilakukan karena untuk menjaga kekuasaan imam dan melindungi negara dari ancaman musuh.
Pajak perspektif Ibnu 'Asyur
Selain itu Ibnu 'Asyur secara jelas menyebutkan faktor utama yang melatarbelakangi keboolehan bagi seorang pemimpin untuk menetapkan pungutan kepada rakyatnya, sebagai berikut:
إنا إذا قررنا إماما مطاعا مفتقرا إلى تكثير الجنود لسد الثغور وحماية الملك المتسع الأقطار، وخلا بيت المال وارتفعت حاجات الجند إلى ما لا يكفيهم، فللإمام - إذا كان عدلا - أن يوظف على الأغنياء ما يراه كافيا لهم في الحال، إلى أن يظهر مال بيت المال، ثم إليه النظر في توظيف ذلك على الغلات والثمار أو غير ذلك، كيلا يؤدي تخصيص الناس به (إلى) إيحاش القلوب، وذلك يقع قليلا من كثير بحيث لا يحجف بأحد ويحصل الغرض المقصود. وإنما لم ينقل مثل هذا عن الأولين لاتساع مال بيت المال في زمانهم بخلاف زماننا، فإن القضية فيه أحرى، ووجه المصلحة هنا ظاهر، فإنه لو لم يفعل الإمام ذلك النظام بطلت شوكة الإمام، وصارت ديارنا عرضة لاستيلاء الكفار
Artinya, "Jika kita telah memutuskan seorang imam yang ditaati dan membutuhkan banyak pasukan untuk menjaga perbatasan dan melindungi wilayah kekuasaan yang luas, sedangkan kas negara kosong serta kebutuhan pasukan meningkat hingga tidak mencukupi, maka imam– jika dia adil–boleh menetapkan pungutan dari orang-orang kaya sesuai kebutuhan mereka saat itu, sampai kas negara terisi kembali.
Kemudian, dia juga boleh mempertimbangkan untuk menetapkan pungutan tersebut pada hasil panen atau lainnya, agar tidak menimbulkan ketidakpuasan di antara rakyat. Hal ini dilakukan dalam jumlah kecil yang tidak memberatkan siapa pun, tetapi tetap mencapai tujuan yang diinginkan.
Tidak adanya catatan tentang hal ini dari masa lalu karena kas negara di zaman mereka melimpah, berbeda dengan zaman kita sekarang, di mana kasus ini lebih relevan. Keuntungan dari kebijakan ini jelas. Karena jika imam tidak melakukan hal ini, kekuatannya akan hilang, dan negeri kita akan rentan terhadap penaklukan oleh kaum kafir." (Ibrahim bin Musa As-Syatibi, Al-I'tisham, editor: Salim bin 'Id Al-Hilali, [Saudi, Dar Ibn Affan: 1992 M], jilid II, halaman 619).
Sampai d isini kita dapat mengetahui bahwa pada masa lalu pajak tidak langsung sepenuhnya diwajibkan untuk masyarakat muslim dan non muslim, melainkan hanya kepada non muslim. Hal ini dikarenakan pada saat itu uang kas negara masih melimpah dan dirasa masih cukup untuk mendanai kegiatan negara.
Berbeda halnya pada masa sekarang, kas negara sedikit dan tidak cukup jika harus digunakan untuk menyejahterakan seluruh masyarakatnya. Karena itulah dibolehkan bagi pemimpin negara untuk melakukan pungutan yang dibebankan bagi seluruh masyarakat baik muslim maupun non muslim.
Jizyah Zaman Pertengahan
Pada zaman pertengahan, konsep jizyah memiliki fungsi yang berbeda dibandingkan dengan masa modern. Jizyah, yang merupakan pajak yang dikenakan pada non Muslim di bawah pemerintahan Islam.
Pada era tersebut berfungsi sebagai bentuk perlindungan dan hak untuk mempraktikkan agama mereka sendiri tanpa gangguan. Hal ini mencerminkan hubungan antara penguasa Muslim dan warga non Muslim dalam konteks sosial dan politik saat itu.
Pajak dalam Konteks Dunia Modern
Sebaliknya, dalam konteks modern, penerapan konsep serupa akan mengalami perubahan signifikan karena evolusi prinsip-prinsip hak asasi manusia, kewarganegaraan, dan kesetaraan hukum. Fungsi jizyah sebagai alat integrasi dan perlindungan di masa lalu tidak lagi sesuai dengan norma-norma kontemporer yang menekankan kesetaraan dan kebebasan tanpa diskriminasi berdasarkan agama.
Pajak dalam Konteks Indonesia
Dalam hal ini di Indonesia sendiri memiliki latar belakang sejarah penetapan pajak yang berbeda jizyah dengan masa Rasulullah saw. Indonesia adalah negara yang demokratis sehingga konsep jizyah (pajak dibebankan kepada non muslim saja) akan bertabrakan dengan undang-undang hak asasi manusia yang, dianggap diskriminatif terhadap non muslim. (Muhammad Ghazali, As-Saif Miftah Husain, Studi Analisi Komparatif Konsep Jizyah dan Dharibah, (Gontor: Jurnal Pendidikan Tambusai: 2023 M), No. 1, volume 7, halaman 487).
Selain alasan di atas, konsep jizyah juga tidak dapat diberlakukan di Indonesia karena negara ini menganut sistem pajak konvensional yang berlaku untuk semua warga negara, tanpa memandang agama.
Syarat Aturan Pajak Wajib dalam Kajian Fiqih Islam
Adapun syarat yang harus terpenuhi dalam penetapan aturan wajib pajak, yaitu:
1. Adanya kebutuhan yang primer dan nyata. Seperti menjaga keamanan negara dan bangsa. Hal ini bisa kita cermati dari perkataan imam Al-Ghazali :
إذا خلت الأيدي من الأموال ولم يكن من مال المصالح ما يفي بخراجات العسكر ولو تفرق العسكر واشتغلوا بالكسب لخيف دخول الكفار بلاد الإسلام أو خيف ثوران الفتنة من أهل العرامة في بلاد الإسلام، فيجوز للإمام أن يوظف على الأغنياء مقدار كفاية الجند
Artinya, "Jika tidak ada dana umum (kas negara) yang mencukupi untuk membayar gaji tentara, sedangkan jika tentara bubar dan sibuk mencari nafkah sendiri, maka dikhawatirkan orang kafir akan (dengan mudah) memasuki negara Islam atau dikhawatirkan akan terjadi pemberontakan dari orang-orang jahat di negara Islam, maka diperbolehkan bagi seorang pemimpin untuk memungut pajak dari orang-orang kaya sesuai dengan kebutuhan tentara tersebut." (Al-Ghazali, Al-Mushtashfa min 'Ilmil Ushul, Editor: Muhammad Abd as-Salam Abd as-Syafi, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H], halaman 177).
2. Berlaku adil dan lemah lembut (tidak membebankan kepada orang yang tidak mampu).
Hal ini tercermin dari apa yang pernah dipraktikkan oleh Khalifah Umar bin Al-Khatab ketika ia menjadi pemimpin:
بعث عمر رضي الله عنه حذيفة بن اليمان على ما وراء دجلة، وبعث عثمان بن حنيف على ما دونه؛ فأتياه فسألهما: كيف وضعتما على الأرض، لعلكما كلفتما أهل عملكما ما لا يطيقون؟
Artinya, "Umar bin Khattab RA pernah mengutus Hudzaifah ke wilayah di seberang Sungai Tigris, dan mengutus Utsman bin Hunaif ke wilayah di sisi lainnya; lalu mereka berdua datang kepada Umar, kemudian Umar pun bertanya kepada mereka: "Bagaimana kalian menetapkan pajak tanah, apakah kalian membebani penduduk wilayah kalian dengan sesuatu yang tidak mereka mampu?... " (Abu Yusuf Al-Qadhi, Kitabul Kharaj, [Mesir: Al-Maktabatul Azhariyah lit Turats], halaman 47).
Dari Redaksi di atas kita tahu bahwa Umar sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia tidak ingin membebani mereka dengan apa yang tidak mampu mereka kerjakan.
3. Digunakan untuk kemaslahatan umum.
Seperti memperbaiki fasilitas yang rusak karena bencana alam dan lain sebagainya:
وأن تنفق حصيلة هذه الضريبة في تلك المصلحة العامة ، كأن تكون هناك ظروف طارئة كالزلازل أو السيول أو غيرها ، فإذا فرضت الدولة ضريبة فلابد أن توجه حصيلتها لتعالج كافة الآثار الناتجة عن تلك الظروف الطارئة
Artinya, "Hasil dari pajak ini harus digunakan untuk kepentingan umum, seperti ketika dilanda gempa bumi atau banjir, Jika negara memberlakukan pajak, hasilnya harus diarahkan untuk mengatasi semua dampak yang dihasilkan dari bencana tersebut. " (Nazih Abdil Maqshud, Fardhud Dharaib fi Dhauis Syari'ah Al-Islamiyah ma'a Isyaratin Khashatin ila Hukmi Fardhid Dharibati 'alal Iqaratil Mabniyah, [Thanta, Majalatu Kuliyatis Syariah wal Qanun: 2022 M], vol 1, no 37, halaman 303).
4. Musyawarah dan konsultasi dengan pakar.
فإنه يتعين عليه مشاورة أهل الرأي والاختصاص مثل خبراء الضرائب والاقتصاد والقانون والسياسة وغيرهم ممن تتوافر لديهم الخبرة والقدرة على إبداء الرأي السديد قبل الإقبال على فرض الضريبة
Artinya, "Perlu untuk seorang pemimpin berkonsultasi terlebih dahulu dengan para ahli dan spesialis, seperti ahli pajak, ekonomi, hukum, dan politik, serta lainnya yang memiliki pengalaman dan kemampuan untuk memberikan pendapat yang tepat sebelum menerapkan aturan wajib pajak." (Abdil Maqshud, 304).
Dari beberapa syarat di atas terlihat bahwasa semuanya mengedepankan aspek kemaslahatan bagi umat. Hal ini selaras dengan kebolehan diwajibkan membayar pajak adalah untuk mengisi kas negara yang kosong guna melindungi negara dari ancaman, yang pada akhirnya juga akan memberikan kemaslahatan bagi umat.
Kewajiban Membayar Pajak Perspektif Nahdlatul Ulama
Namun muncul pertanyaan, bagaimana jika dana pajak yang masuk tidak dialokasikan dengan baik dan benar, apakah hukum membayar pajak tetap wajib?
Dalam hal ini para ulama NU memutuskan bahwa kewajiban membayar pajak tetap harus dipatuhi, dan masalah penggelapan dana pajak harus segera diberantas dan diatasi serta pelakunya harus mendapatkan tindakan tegas berupa sanksi sesuai proses hukum yang ada. (PBNU, Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU, [Cirebon, LTN PBNU: 2012], halaman 52-53).
Karena itu, ketika suatu pemerintahan sudah menetapkan bahwa membayar pajak bersifat wajib, maka kita wajib menaatinya, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Qur’an surat An-Nisa ayat 59:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat)." (QS An-Nisa: 59).
Jadi dapat disimpulkan, keharusan bagi wajib pajak untuk membayar pajak pada saat ini hukumnya adalah wajib. Hal ini dikarenakan pajak yang kita bayarkan merupakan bentuk ketaatan kita kepada ulil amri (pemerintah) dan tidak lain adalah untuk kemashlahatan diri kita sendiri, sekaligus kita dapat membantu menyejahterakan kehidupan orang lain melalui program yang dibuat oleh pemerintah yang dananya dialokasikan dari dana pajak. Wallahu a'lam.
Ustadzah Mutiara Intan Permatasari, Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Science & Mahasiswi Akuntansi UIN Jakarta
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
4
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
Terkini
Lihat Semua