Syariah

Pemilu sebagai Bagian dari Khilafah

Rab, 6 November 2019 | 16:00 WIB

Imam al-Ghazali (w. 505 H) dan Syekh Adnan al-Afyuni, salah seorang ulama dan mufti Suriah, memiliki penjelasan yang sama dalam memandang relasi agama dan negara. Keduanya sepakat bahwa:

 

الإسلام أس والسلطان حارس وما لا إس له ينهدم وما لا حارس له يضيع

 

Artinya, "Islam itu pondasi, dan pemimpin negara adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan mudah dirobohkan. Dan segala sesuatu yang berpondasi namun tidak ada yang menjaganya, maka akan berlaku sia-sia" (al-Afyuni, al-'Alaqah baina Al-Din wa Al-Daulah, halaman 176).

 

Alhasil pernyataan ini melahirkan sejumlah pertanyaan. Satu di antaranya adalah tentang kriteria pemimpin negara. Sebagaimana disebutkan terdahulu, bahwa hakikat dari adanya khalifah/pemimpin adalah menduduki peran sebagai al-niyabah li al-nabi (menduduki peran pengganti nabi). Dasar pemikiran ini berangkat dari persoalan pemilihan khalifah sepeninggal Baginda Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wa sallam sampai kemudian diangkatnya Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radliyallahu 'anhum sebagai khalifah. Istilah khalifah sendiri sebenarnya juga sudah menunjukkan makna peran pengganti itu.

 

Upaya untuk menentukan khalifah itu disebut dengan istilah khilafah. Jadi, khilafah itu hakikatnya bermakna sistem, dan posisinya sama dengan istilah pemilihan umum (pemilu), musyawarah mufakat, perwakilan rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di era modern ini, seiring negara sudah berubah haluannya menjadi negara bangsa, sistem penentuan khalifah ini kemudian berubah, karena orientasi kenegaraan juga berubah. Negara bukan lagi didirikan atas dasar kesamaan agama, melainkan kesamaan nasib yang ingin merdeka karena bertindak selaku sebagai korban imperialisme dan kolonialisme—bila bangsanya memang memiliki sejarah dijajah. Oleh karenanya, pemimpin yang dipilih bukan lagi al-niybah li al-nabi (peran pengganti nabi), melainkan berubah menjadi pemimpin bangsa yang senasib, korban kolonial.

 

Pada perkembangan berikutnya, sistem kenegaraan ini ada yang menunjukkan ciri menonjol pada kekuasaan ada di tangan rakyat. Sistem seperti ini dinamakan dengan istilah republik dengan demokrasinya. Ada juga sistem pemerintahan yang menonjol pada peran debat parlementernya. Sistem seperti ini dinamakan dengan istilah sistem demokrasi parlementer.

 

Indonesia pernah menerapkan demokrasi terpimpin, karena saat itu kekuasaan dan pemimpin tertinggi negara serta Panglima Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, seluruhnya ada di tangan presiden. Peran wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR Sementara, waktu itu dicirikan kurang dapat memberikan kontrol kepada Presiden. Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru adalah representasi dari keduanya (dalam hemat penulis). Lalu setelah semua berlangsung normal, antara Presiden dan DPR memiliki kedudukan yang sama dalam tata pemerintahan, maka sistem ini kemudian berubah menjadi Demokrasi Pancasila. Artinya, nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila berperan selaku standart kontrol setiap kebijakan yang lahir di Indonesia.

 

Sampai di sini, maka bila kemudian sebagian dari saudara kita ada yang senantiasa menyerukan "Tegakkan Syariat dengan Khilafah!" maka yang perlu dipertanyakan adalah khilafah (sistem penentuan pemimpin) yang mana lagi yang hendak dicari? Dan bila kemudian ada yang menyeru "Dirikan negara khilafah!", maka hal yang kemudian patut disangsikan adalah penyeru tidak memahami makna khilafah itu sendiri, untuk tidak menyebut sebagai tidak faham tashrif. Karena khilafah adalah bukan negara, melainkan sebuah sistem pemilihan pemimpin. Jadi sama artinya dengan Pemilu dan lain sebagainya sebagaimana telah dijelaskan di muka. Mari simak pendapat Ibnu Khaldun sebagaimana telah dinukil oleh Syekh Wahbah al-Zuhaily berikut ini!

 

وحدد ابن خلدون بطريقة أخرى وظيفة الإمامة فقال: هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إلىها؛ إذ أن أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح الآخرة. فهي (أي الخلافة) في الحقيقة: خلافة عن صاحب الشرع في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

 

Artinya: "Ibnu Khaldun menetapkan batasan definisi khilafah ini dengan menyebutnya dengan istilah lain, yaitu tugas pemilihan pemimpin (wadzifatu al-imamah), yaitu suatu upaya mengerahkan daya upaya secara total sesuai dengan kehendak syariat dalam menciptakan kemaslahatan ukhrawi dan kemaslahatan duniawi yang terkait dengannya. Itulah sebabnya, sesungguhnya peran dunia, seluruhnya harus bisa kembali dengan penyandaran kepada Allah, khususnya sebagai wasilah bagi kemaslahatan akhirat. Jadi, dalam hal ini, hakikat dari khilafah (sistem pemilihan pemimpin) itu sendiri adalah sebuah sistem untuk menentukan pengganti dari shahibu al-syar'i (nabi) dalam melaksanakan perannya sebagai penjaga agama (hirasatu al-din) dan mengatur kehidupan duniawi untuk rumah akhirat (siyâsat al-dunya)" (Syekh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008, Juz 6, halaman: 573).

 

Dalam definisi di atas, secara tegas Ibnu Khaldun menyebut bahwa khilafah pada hakikatnya adalah sistem pemilihan pemimpin. Walhasil, pemilihan umum (pemilu) adalah bagian dari khilafah, dan khilafah itu bukan negara. Jadi, sungguh unik bila ada pihak yang mengaku ingin menegakkan khilafah, tapi justru menghindari pemilu dan bahkan menyatakan bahwa pemilu adalah sistem thaghut kemudian memilih untuk golput. Wallahu a'lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur

 

-----------

Artikel ini diterbitkan atas kerja sama antara NU Online dan Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo