Syariah

Pengurangan Subsidi BBM dalam Kajian Islam

Rab, 24 Agustus 2022 | 06:00 WIB

Pengurangan Subsidi BBM dalam Kajian Islam

Subsidi merupakan bantuan yang diberikan pemerintah pada sektor-sektor publik yang ditujukan terutama bagi masyarakat kecil yang terdampak.

Pemerintah lewat Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menggulirkan wacana untuk menaikkan harga BBM. Rencana ini dipicu oleh tingginya harga minyak mentah dunia sehingga menciptakan rentang yang cukup signifikan antara harga ekonomis dengan harga jual.


Imbasnya, subsidi untuk BBM akan meningkat tajam, yang artinya APBN akan menanggung subsidi dan kompensasi energi yang cukup besar. Padahal, kebutuhan negara bukan hanya berpusat pada BBM saja. Ada sektor-sektor lain yang juga perlu untuk dibiayai semisal pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.


Dalam hal ini, menarik untuk kita kaji secara hukum Islam, apakah tindakan pemerintah menaikkan harga BBM atau dengan kata lain menarik subsidi bisa dibenarkan secara syariat? Untuk menjawab persoalan ini, kita perlu memahami dua hal, yakni harga jual BBM di satu sisi dan subsidi di sisi yang lainnya.


Harga jual BBM sebagaimana harga jual barang-barang lainnya adalah hak mutlak penjual. Persoalannya ialah, untuk BBM, kita ketahui bersama bahwa itu adalah milik negara, sementara negara adalah milik rakyat.


Pemerintah sebagai pengelola negara dalam hal ini memiliki kewenangan penuh untuk mengatur harga jual BBM. Tentu saja dengan seizin DPR sebagai representasi dari rakyat. Dalam pengambilan keputusannya, pemerintah harus menepati prinsip dasar pemerintahan sebagaimana syariat Islam, yakni:


تصرف الإمام على رعيته منوطٌ بالمصلحة 


Artinya: “Kebijakan Imam terhadap rakyat yang dipimpinnya adalah mewujudkan kemaslahatan.”


Menaikkan atau menurunkan harga BBM sebagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya harus senantiasa berpegang kepada prinsip tersebut.

 

Berikutnya, subsidi dalam Islam biasa dikenal dengan istilah I’thau al-daulah min amwaalihaa li al-raiyah atau pemberian harta milik negara kepada individu rakyat. Hal ini pernah terjadi di masa pemerintahan Khalifah Umar ibn al-Khattab yang membagikan harta dari Baitul Mal untuk para petani di Irak agar mereka memiliki kemampuan untuk mengolah lahan.


Kewenangan memberikan subsidi berada di tangan pemerintah. Tentunya dengan mempertimbangkan kemaslahatan rakyat sebagaimana prinsip pemerintahan yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, pemerintah juga harus jeli menimbang sektor mana yang paling penting untuk diberi subsidi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Imamah al-‘uzhma, j. II, h. 357:


الواجب على الإمام عند صرف الأموال ان يبتدئ فى القسمة بلأهم فالأهم من مصالح المسلمين كعطاء من يخصل للمسلمين منهم منفعة عامة أو للمحتاجين إهـ


Artinya: “Wajib bagi Imam saat menasarufkan harta (Baitul Mal), memprioritaskan pembagian pada sektor yang paling penting dan seterusnya dalam bingkai kemaslahatan kaum muslimin seperti memberikan sesuatu yang bisa menghasilkan manfaat secara umum bagi mereka atau bagi yang membutuhkan:.


Penjelasan di atas menegaskan bahwa sebaiknya subsidi diberikan pada sektor yang bisa memberikan kemanfaatan paling banyak pada seluruh rakyat atau pada rakyat yang paling membutuhkan. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes