Pernikahan Dini dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif
NU Online · Sabtu, 24 Mei 2025 | 06:00 WIB
Bushiri
Kolomnis
Pernikahan merupakan institusi suci dalam kehidupan manusia yang tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga membentuk keluarga yang harmonis dan bertanggung jawab. Namun, praktik pernikahan di bawah batas usia minimal yang ditetapkan negara, seperti yang diatur dalam undang-undang, masih menjadi isu yang harus diperhatikan.
Pernikahan di bawah umur sering kali dipicu oleh faktor budaya, ekonomi, atau kurangnya kesadaran hukum, yang dapat berdampak pada kesiapan fisik, mental, dan sosial pasangan. Dalam ajaran Islam, pernikahan adalah ibadah mulia yang menjunjung nilai sakinah, mawaddah, dan rahmah, namun juga menekankan pentingnya kematangan dan kesiapan pasangan, sejalan dengan prinsip menjaga kemaslahatan dan mencegah kemudharatan.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana Islam memandang pernikahan dini dan bagaimana regulasi negara berupaya mengatur usia minimal pernikahan untuk melindungi individu dan masyarakat.
Baca Juga
Masalah Pernikahan Dini
Pembahasan mengenai batas usia menikah menjadi salah satu topik penting dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 yang diselenggarakan 27 Maret 2010 di Asrama Haji Sudiang Makassar. Dalam forum ilmiah tersebut, para kiai dan ulama membahas berbagai persoalan keagamaan yang relevan dengan kehidupan umat, salah satunya adalah mengenai ketentuan usia yang ideal untuk melangsungkan pernikahan, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Para kiai pada forum tersebut memutuskan bahwa menurut jumhur ulama tidak ada batasan usia pernikahan dalam Islam. Akan tetapi sebaiknya pernikahan dilakukan setelah usia baligh. Hal ini dimaksudkan agar pasangan yang menikah telah memiliki kesiapan fisik, psikologis, dan sosial dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. (Keputusan Muktamar XXXII, [Jakarta, Sekretariat Jendral PBNU: 2011], halaman 206)
Dalam sebuah hadits, Sayyidah ‘Aisyah ra meriwayatkan bahwa beliau dinikahi oleh Rasulullah saw pada usia enam tahun, dan mulai hidup serumah (membangun rumah tangga) dengan beliau pada usia sembilan tahun.
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِسِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
Artinya, “Rasulullah saw menikahiku saat usiaku enam tahun, dan mulai hidup bersamaku (membangun rumah tangga denganku) saat usiaku sembilan tahun.” (HR. Muslim)
Ketika mengomentari hadits tersebut, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dengan orang lain, meskipun sang anak belum mampu memberikan persetujuan secara langsung. Beliau menyatakan:
هَذَا صَرِيحٌ فِي جَوَازِ تَزْوِيجِ الْأَبِ الصغيرة بغير اذنها لِأَنَّهُ لَا إِذْنَ لَهَا وَالْجَدُّ كَالْأَبِ عِنْدَنَا
Artinya, “Ini adalah dalil yang jelas tentang bolehnya seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang masih kecil tanpa izinnya, karena anak kecil belum memiliki hak untuk memberi izin. Dan kakek (dari pihak ayah) kedudukannya seperti ayah menurut pendapat kami.” (Imam an-Nawawi, Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turots: 1392], jilid IX, halaman 206)
Meski terdapat kebolehan menikahkan anak yang masih kecil tanpa izin si anak, menurut ulama madzhab Syafi’i, praktik yang lebih dianjurkan adalah menunggu sampai si anak baligh dan meminta persetujuannya. Hal ini untuk menjaga perasaan dan hak si anak, agar tidak sampai menikah dalam keadaan terpaksa atau tidak ridha.
Pendapat ini menunjukkan adanya pertimbangan moral dan sosial dalam hukum fiqih, meskipun secara hukum diperbolehkan, namun secara praktik lebih baik mempertimbangkan kematangan dan persetujuan anak perempuan.
وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّافِعِيَّ وَأَصْحَابَهُ قَالُوا يستحب أنْ لَا يُزَوِّجَ الْأَبُ وَالْجَدُّ الْبِكْرَ حَتَّى تَبْلُغَ وَيَسْتَأْذِنُهَا لِئَلَّا يُوقِعَهَا فِي أَسْرِ الزَّوْجِ وَهِيَ كَارِهَةٌ
Artinya, “Ketahuilah bahwa Imam Syafi'i dan para pengikutnya berpendapat: Disunnahkan (dianjurkan) agar seorang ayah atau kakek tidak menikahkan anak gadis (perawan) sebelum ia baligh, dan hendaknya meminta izinnya (setelah baligh), agar tidak menjebaknya dalam ikatan pernikahan dengan suami yang tidak ia sukai.” (Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim, IX/206)
Lebih lanjut, Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa dalam pernikahan anak laki-laki, disyaratkan adanya maslahat yang jelas. Sementara itu, dalam pernikahan anak perempuan, terdapat tujuh syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
- Tidak ada permusuhan yang nyata antara calon laki-laki dan anak perempuan tersebut.
- Ayah menikahkannya dengan laki-laki yang setara (kufu’).
- Menikahkan dengan mahar mitsil.
- Mas kawin itu berupa mata uang yang berlaku di daerah setempat.
- Calon suami bukan orang yang tidak mampu membayar mahar.
- Tidak menikahkannya dengan seseorang yang akan menyusahkannya dalam kehidupan rumah tangga, seperti orang buta atau lelaki yang sudah sangat tua renta.
- Anak perempuan itu belum wajib haji. (Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami, [Damaskus, Darul Fikr: t.t.], jilid IX, halaman 6685)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama tidak serta-merta membolehkan pernikahan di bawah usia minimal tanpa pertimbangan matang, terutama ketika memerhatikan dampak negatif yang kerap terjadi di masyarakat.
Salah satu fenomena yang mencolok adalah pernikahan dini yang sering kali berakhir dengan perceraian dalam waktu singkat. Penyebabnya kompleks, mulai dari ketidakstabilan ekonomi, kurangnya kematangan emosional, hingga ketidakmandirian pasangan.
Pernikahan yang sejatinya bertujuan menyatukan dua keluarga dalam ikatan harmonis dan penuh tanggung jawab menjadi kehilangan makna jika berujung pada ketidakstabilan dan perpisahan. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan kesiapan menyeluruh sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.
Batas Usia Menikah dalam Hukum Positif Indonesia
Dalam kerangka hukum positif Indonesia, syarat-syarat perkawinan tidak hanya ditentukan oleh agama dan adat, tetapi juga diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan negara.
Salah satu ketentuan penting dalam Undang-Undang Perkawinan adalah mengenai batas usia minimal untuk melangsungkan pernikahan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, awalnya terdapat perbedaan usia menikah antara laki-laki dan perempuan, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Namun, perbedaan ini kemudian mengalami perubahan mendasar melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan revisi atas undang-undang sebelumnya.
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 disebutkan, “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.”
Perubahan ini mencerminkan komitmen negara dalam melindungi hak-hak anak dan mencegah praktik perkawinan usia dini yang berpotensi membawa dampak negatif terhadap kesehatan, pendidikan, serta masa depan anak.
Sebagai penutup, pembahasan mengenai batas usia pernikahan menunjukkan bahwa Islam mengedepankan prinsip kemaslahatan, kesiapan fisik dan mental, serta persetujuan penuh dalam membangun kehidupan rumah tangga.
Meskipun secara fiqih pernikahan dini diperbolehkan dalam kondisi tertentu, para ulama menganjurkan agar pernikahan dilaksanakan sesuai dengan regulasi terkini tentang batas usia minimal perkawinan. Ketentuan ini dirancang untuk memastikan kemaslahatan, melindungi anak dari dampak negatif pernikahan dini, dan mendukung terwujudnya keluarga yang harmonis. Wallahu A‘lam Bishawab.
Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
6
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
Terkini
Lihat Semua