Syariah

Sampai Kapan Batas Seseorang Disebut Yatim?

Sel, 18 Juli 2023 | 20:00 WIB

Sampai Kapan Batas Seseorang Disebut Yatim?

Merawat anak yatim merupakan anjuran dalam Islam dengan nilai pahala sangat besar. (Foto: NU Online)

Merawat dan menjaga anak yatim merupakan anjuran dalam Islam yang memiliki nilai pahala yang sangat besar. Beberapa hadits nabi mengajak manusia untuk memberikan perhatian pada pemeliharaan anak yatim yang telah kehilangan ayahnya. Kemuliaan anak yatim tidak diragukan lagi. Keyatiman Nabi Muhammad yang ditinggal oleh ayahnya sejak sebelum kelahirannya sudah menjadi bukti nyata bahwa anak yatim itu mulia.


Karena itu, orang-orang yang merawat dan menjaga anak yatim akan mendapatkan balasan yang sangat istimewa yaitu surga yang sangat dekat dengan nabi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam salah satu haditsnya, nabi bersabda:


أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُما شَيْئًا


Artinya, “Aku dan orang yang merawat anak yatim seperti ini dalam surga.” Kemudian nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, seraya sedikit merenggangkannya.” (HR Bukhari dan Muslim).


Penjelasan ini kiranya sudah cukup menjadi bukti betapa mulianya orang-orang yang merawat anak yatim. Kemuliaan yang akan didapatkan oleh mereka sangat istimewa, yaitu ada di dalam surga berdekatan dengan Rasulullah. Lantas, sampai kapankah batas seseorang dikatakan sebagai anak yatim? Berikut penjelasannya.


Batas Seseorang Disebut Yatim

Sebelum membahas lebih lanjut perihal batas seorang anak disebut yatim, terlebih dahulu penulis ingin menjelaskan definisi yatim dalam Islam. Hal ini penting untuk diketahui agar tidak salah dalam menentukan siapa saja yang benar-benar dianggap yatim.


Syekh Sulaiman al-Jamal (wafat 1024 H) dalam karyanya mengatakan bahwa yatim adalah anak kecil yang ditinggal wafat oleh ayahnya, sekalipun ia masih memiliki ibu atau kakek dan nenek,


وَالْيَتِيمُ صَغِيرٌ لَا أَبَ لَهُ وَإِنْ كَانَ لَهُ أُمٌّ وَجَدٌّ، وَمَنْ فَقَدَ أُمَّهُ فَقَطْ مِنْ الْآدَمِيِّينَ يُقَالُ لَهُ مُنْقَطِعٌ


Artinya, “Yatim adalah anak kecil yang tidak memiliki ayah (wafat), sekalipun memiliki ibu dan kakek. Dan siapa saja yang kehilangan (ditinggal wafat) oleh ibunya dari kalangan manusia, maka dia dikatakan munqathi’ (orang yang dipisah).” (Syekh Sulaiman Jamal, Hasyiyatul Jamal ‘ala Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz IV, halaman 88).


Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa barometer seorang anak disebut yatim adalah ayahnya. Jika ayahnya sudah tiada, sementara ibunya masih ada, maka disebut sebagai anak yatim. Sedangkan jika ibunya yang sudah tiada, dan ayahnya masih ada maka tidak bisa dikatakan yatim.


Sedangkan batas seseorang disebut sebagai yatim adalah sebagaimana disebutkan oleh nabi dalam salah satu haditsnya, yaitu sampai usia baligh. Artinya, anak yatim yang sudah baligh tidak lagi disebut anak yatim. Rasulullah saw bersabda:


لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ


Artinya, “Tidak dikatakan yatim orang yang sudah mimpi basah (baligh).” (HR al-Baihaqi).


Berkaitan dengan hadits ini, Syekh Syamsu al-Haq Abu Thayyib, dalam salah satu karyanya mengutip pendapat Ibnu Ruslan bahwa batas seseorang disebut yatim adalah sebelum baligh. Sehingga ketika sudah baligh maka tidak berlaku lagi baginya ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diberlakukan pada anak yatim, selanjutnya statusnya sama sebagaimana anak-anak yang baligh pada umumnya. Dalam karyanya disebutkan:


قَالَ بْنُ رُسْلاَنَ إِذَا بَلَغَ الْيَتِيْمُ أَوِ الْيَتِيْمَةُ زَمَنَ الْبُلُوْغِ الَّذِيْ يَحْتَلِمُ غَالِبُ النَّاسِ زَالَ عَنْهُمَا اِسْمُ الْيَتِيْمِ حَقِيْقَةً، وَجَرَى عَلَيْهِمَا حُكْمُ الْبَالِغِيْنَ


Artinya, “Berkata Ibnu Ruslan: Jika anak yatim laki-laki dan yatim perempuan sudah sampai pada masa baligh, di mana kebanyakan manusia mimpi basah, maka hilang status baligh dari keduanya secara hakikat, kemudian diberlakukan bagi keduanya ketentuan orang-orang baligh.” (Syekh Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1415], juz VIII, halaman 54).


Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Syekh Abdurrauf al-Munawi (wafat 1031 H) dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Jami’is Shagir dan kitab at-Taisir bi Syarhi Jami’is Shagir; Syekh Badruddin al-‘Aini (wafat 855 H) dalam kitab ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari; Imam Nawawi (wafat 676 H), dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzab; dan beberapa ulama lainnya. Begitu juga menurut Syihabuddin ar-Ramli, yang mengatakan bahwa anak yatim adalah mereka yang belum baligh, baik disebabkan usia maupun mimpi basah.


اَلْيَتِيْمُ صَغِيْرٌ لَمْ يَبْلُغْ بِسِنٍّ أَوِ احْتِلَامٍ لِخَبَرٍ لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ


Artinya, “Yatim adalah anak kecil yang belum baligh; baik dengan tahun ataupun dengan mimpi basah, karena terdapat hadits: Tidak dikatakan yatim orang yang sudah mimpi basah (baligh).” (Imam ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1404], juz VI, halaman 138).


Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan dan uraian ini, dapat disimpulkan bahwa anak yatim adalah mereka yang ditinggal wafat oleh ayahnya dan belum sampai pada waktu baligh. Baik baligh karena sudah mencapai usia baligh, yaitu 15 tahun, atau karena mimpi basah. Dengan demikian, maka tidak ada status yatim bagi anak yang sudah baligh. Sedangkan anak yang ditinggal wafat oleh ibunya tidak disebut anak yatim. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.