Syariah

Tahqiqul Manath Khusus Konteks Orang Mukallaf Perspektif Imam Syathibi

Jum, 1 Maret 2024 | 18:00 WIB

Tahqiqul Manath Khusus Konteks Orang Mukallaf Perspektif Imam Syathibi

Ilustrasi kitab kuning Tahqiqul Manath Khusus (NU Online - Suwitno) 2.

Imam Syatibi, Abu Ishaq, Ibrahim bin Musa  Al-Gharnathi (w 790 H/1388 M) adalah imam dalam Maqashid Syariah dengan mahakarya Al-Muwafaqat. Berbeda dengan Imam Syathibi yang fokus dalam bidang ilmu Qiraat, wafat tahun 590 H).

 

Dalam mahakaryanya, di banyak tempat dari Al-Muwafaqat, Imam Syatibi sering mengutip dari Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali (w 505). Imam Syatibi mengutip dengan menyebutkan nama kitab-kitab Al-Ghazali, seperti Iljamul ‘Awam, Syifaul Ghalil, Al-Munqidz lebih-lebih Ihya Ulumiddin.
 

 

Di Bab Ijtihad, Imam Syatibi menjelaskan Takhrijul Manath, Tanqihul Manath dan Tahqiqul Manath, menggunakan kutipan dari Syifaul Ghalil. Imam Ghazali-lah yang pertama merumuskan ketiga jenis masalik 'illat ini, sebagaimana yang disebut Al-Razi (w 606 H) dalam Al-Mahshul (V/20). 

 

Tentang Ijtihad Tahqiqul Manath, Imam Syatibi mengembangkannya dengan mengenalkan konsep baru yaitu Tahqiqul Manath Khusus.
 

Tahqiqul Manath yang dirumuskan Imam Al-Ghazali disebutnya dengan Tahqiqul Manath Umum. Bila Tahqiqul Manath Umum ditujukan untuk menentukan suatu hukum kulli dalam wāqi’ah yang juz’i bagi semua mukallaf, maka Tahqiqul Manath Khusus adalah langkah selanjutnya. Yaitu mengkhususkan hukum tersebut sesuai mukallaf dengan kondisi tertentu. 

 

Dalam hal ini, Mufti memperhatikan subyek hukum yaitu mukallaf, yang menjalankan hukum syariat. Mukallaf perlu dipilah-pilah dengan kategori-kategori tertentu. Sebab, tidak semua hukum sesuai untuk semua kategori mukallaf
 

Imam Syatibi menyebut ada dua ranah Tahqiqul Manath Khusus, pertama ranah semua hukum syariat taklifiyah (wajib, haram, mandub, makruh dan mubah). Imam Syatibi berkata (V/24):

 

وعلى الجملة، فتحقيق المناط الخاص نظر في كل مكلف بالنسبة إلى ما وقع عليه من الدلائل التكليفية، بحيث يتعرف منه مداخل الشيطان، ومداخل الهوى والحظوظ العاجلة، حتى يلقيها هذا المجتهد على ذلك المكلف مقيدة بقيود التحرز من تلك المداخل، هذا بالنسبة إلى التكليف المنحتم وغيره

 

Artinya, “Tahqiqul Manath Khusus adalah (pendekatan dalam berfatwa dengan) memperhatikan setiap mukallaf dalam kaitan hukum syariat taklifiyyah yang akan diterima (dan jalankan). Dengan Tahqiqul Manath Khusus, mufti harus mengenali celah-celah setan, celah nafsu dan kepentingan duniawi yang sesaat. Sehingga hukum yang difatwakan kepada mukallaf diikat dengan prinsip kewaspadaan agar terhindar dari celah-celah tersebut. Tahqiqul Manath Khusus ini berlaku baik jenis hukum yang mengharuskan (wajib dan haram) atau jenis yang tidak (mandub, makruh dan mubah).”
 

Ranah kedua adalah hukum yang tidak mengharuskan (ghairu munḥatim). Di ranah ini, Tahqiqul Manath Khusus bertujuan menentukan amal saleh apa yang tepat untuk seorang mukallaf. Sebab terkadang dalam kondisi tertentu, suatu amal saleh dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam bahaya atau kelesuan dalam ibadah. Terkadang suatu amal saleh, lebih berpotensi menjebak seseorang dalam kepentingan duniawi. Imam Syathibi (5/25) menjelaskan:
 


ويختص غير المنحتم بوجه آخر وهو النظر فيما يصلح بكل مكلف في نفسه، بحسب وقت دون وقت، وحال دون حال، وشخص، دون شخص إذ النفوس ليست في قبول الأعمال الخاصة على وزان واحد

 

Artinya, “Tahqiqul Manath Khusus dengan ranah hukum yang tidak mengharuskan adalah (pendekatan fatwa) dengan memperhatikan apa yang paling maslahat untuk masing-masing mukallaf dengan memperhatikan waktu, situasi dan sosoknya (yang berbeda-beda). Sebab jiwa manusia tidak mempunyai ukuran yang sama dalam menerima taklif beberapa amal-amal tertentu.” 

 

Obyek Tahqiqul Manat Khusus tidak hanya apa yang tampak dari diri mukallaf, namun juga sisi batin dan kondisi spritualitasnya. Imam Syathibi menegaskan bahwa yang melakukan Tahqiqul Manath Khusus ini adalah ulama khusus. Yaitu mereka yang mendapat anugerah cahaya batin, sehingga mengetahui macam-macam sifat kejiwaan manusia, ambisi-ambisinya, perbedaannya dalam memahami syariat, seberapa kuatnya dalam menanggung beban taklif syariat dan seberapa kuat potensinya berpaling pada kepentingan-kepentingan duniawi. 
 

Banyak dalil dipaparkan Imam Syatibi sebagai dasar Tahqiqul Manath Khusus ini. Di antaranya, perbedaan jawaban Rasulullah tentang sebaik-baik amal. Suatu kesempatan Rasulullah menjawab, “Iman kepada Allah, jihad, lalu haji mabrur.” Di waktu lain menjawab, “Shalat di waktunya, berbakti kepada orang tua, lalu jihad”, dan beberapa jawaban lain yang berbeda-beda.
 

Demikian pula penjelasan Rasulullah tentang ibadah yang paling utama yang berbeda-beda. Jika dipahami secara umum dan mutlak, jawaban-jawaban tersebut bertentangan satu dengan lainnya. Akan tetapi, sebenarnya yang dimaksud Rasulullah adalah “paling utama” yang nisbi, ditujukan untuk konteks waktu atau kondisi penanya yang tertentu.
 

Rasulullah pernah mendoakan Anas bin Malik dengan banyak harta. Namun ketika Tsa’labah bin Hathib meminta doa yang sama, Rasulullah berkata, “Sedikit yang mengantarmu untuk bersyukur lebih baik dari pada banyak yang Engkau tidak mampui.”
 

Kepada Abu Dzar, Rasulullah berpesan, “Aku melihat dirimu sosok yang lemah, maka janganlah Engkau memimpin dua orang dan jangan pula mengurusi harta anak yatim.” Padahal, di lain waktu Rasulullah memuji orang yang mampu menjadi pemimpin.
 

Demikian pula Rasulullah pernah membagi ghanimah kepada suatu kelompok namun tidak memberi kelompok lain karena percaya dengan kekuatan iman mereka. Dan saat memobilisasi dana untuk persiapan jihad, Rasulullah pernah menerima semua harta kekayaan milik Abu Bakar. Tapi ketika ada sahabat lain membawa semua harta miliknya, Rasulullah hanya menerima sebagian saja, “Simpanlah sisanya untukmu. Itu lebih baik.”
 

Imam Syatibi memberi contoh Tahqiqul Manath Khusus dengan hasil ijtihad para ulama. Di antaranya peincian dalam hukum melaksanakan pernikahan. Perintah untuk menikah dalam dalil-dalil baik dalam Quran dan Hadis menunjukkan hukum mandub. Namun dengan melihat kategori atau kondisi mukallaf yang akan menjalankan, para ulama bersepakat memilah hukum pernikahan secara umum menjadi lima.
 

Mazhab Syafi’i misalnya, memilahnya menjadi lima; wajib, mandub, makruh, khilaful aula dan haram. Pernikahan hukumnya wajib bagi mereka (laki-laki) yang mampu dan dalam kondisi khawatir zina jika tidak menikah; baginya nikah adalah satu-satunya cara menghindari zina. Mandub bagi yang butuh dan mampu. Makruh bagi yang tidak mampu dan tidak butuh. Khilaful aula bagi mereka yang butuh tapi tidak mampu. Kemudian hukumnya haram bagi mereka yang tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban dalam pernikahan.

 

Hukum apa yang akan diberikan kepada seorang mukallaf, mufti harus mengetahui kondisinya baik sisi lahir maupun batin. 
 

 

Ustadz Muhammad Faeshol Muzammil, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Tengah, Muhadlir Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda Kajen