Akhir-akhir ini, pro dan kontra terkait hukum menggunakan vaksin Measles Rubella (MR) untuk imunisasi, semakin memanas. Sebab, vaksin ini belum memiliki sertifikasi halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Puncaknya adalah adanya imbauan MUI Kepulauan Riau kepada warga agar tidak mengikuti imunisasi MR, sebagaimana tertuang dalam surat edaran nomor Ket-53/DP-P-V/VII/2018 yang ditujukan kepada Gubernur Kepulauan Riau, tertanggal 30 Juli 2018.
Polemik ini direspons sangat baik oleh Kementerian Kesehatan RI, dengan menggelar silaturahim di kantor MUI pada Jumat 3 Agustus kemarin. Pertemuan yang diinisiasi kedua belah pihak ini menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya Komisi Fatwa MUI akan segera membahas dan menetapkan fatwa tentang imunisasi menggunakan vaksin MR, dan Menteri Kesehatan RI akan menunda pelaksanaan imunisasi MR bagi masyarakat Muslim sampai ada kejelasan hasil pemeriksaan dari produsen, dan ditetapkan fatwa MUI.
Vaksin MR merupakan vaksin yang diberikan untuk semua anak usia 9 bulan sampai 15 tahun, guna mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh virus campak dan rubella (campak Jerman). Campak dan rubella merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh virus.
Campak dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan demam, ruam, batuk, pilek, dan mata merah serta berair. Campak juga kerap menyebabkan komplikasi serius seperti infeksi telinga, diare, pneumonia, kerusakan otak, dan kematian.
Sementara, rubella atau campak Jerman merupakan infeksi virus yang menyebabkan demam, sakit tenggorokan, ruam, sakit kepala, mata merah dan mata gatal. Rubella kerap terjadi pada anak-anak dan remaja. Kendati ringan, virus ini bisa memberi dampak buruk pada ibu hamil yang tertular, yakni menyebabkan keguguran, bayi terlahir mati, atau bahkan cacat lahir serius pada bayi, seperti kebutaan dan tuli, demikian dilansir
Alodokter.
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan untuk menetapkan hukum penggunaan vaksin MR ini: Pertama, hukum asal segala suatu adalah boleh:
اَلْأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
“Hukum asal dari segala suatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.” (Muhammad Shidqi Burnu, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, juz 2, halaman 115).
Berdasarkan kaidah di atas, maka hukum asal vaksin MR adalah boleh, sampai ada bukti kuat dan data valid bahwa vaksin dimaksud mengandung unsur haram atau najis. Apalagi, Sekjen Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Piprim Basarah, telah menegaskan bahwa Vaksin MR tidak memiliki unsur haram, dan tidak ada zat dari babi.
Dengan demikian, maka menggunakan Vaksin MR untuk keperluan imunisasi hukumnya boleh, dan ketidakadaan sertifikat halal dari MUI tidak otomatis menjadikannya haram.
Kedua, seandainya–sekali lagi, seandainya–terbukti ada unsur haram atau najis dalam pembuatan vaksin MR, maka ada dua kemungkinan, yaitu: (1) proses pembuatan vaksin bersinggungan dengan unsur haram atau najis (biasanya berupa enzim babi), atau (2) unsur haram dan najis dimaksud dijadikan sebagai bahan pembuat vaksin. Jika unsur haram atau najis hanya bersinggungan dengan vaksin tersebut, maka vaksin tidak menjadi najis atau haram, sebab pengertian benda najis adalah:
هُوَ الَّذِيْ حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ
“Benda najis adalah benda yang terkena (tercampur) najis.” (Ahmad bin Husein, Matn Ghayah wa al-Taqrib, halaman 4)
Dengan demikian, penggunaan vaksin yang proses pembuatannya bersinggungan dengan benda yang najis atau haram, hukumnya boleh. Sebab vaksin tersebut dihukumi suci karena hanya sebatas bersinggungan dengan benda najis, dan tidak tercampur langsung.
Akan tetapi, jika benda haram dan najis dijadikan sebagai bahan pembuat vaksin maka ada proses yang disebut “istihalah”. Istihalah adalah berubahnya sesuatu menjadi bentuk lain, dengan berubah dzat dan sifatnya, seperti khamr yang berubah menjadi cuka. Di sini, bahan vaksin yang berupa benda najis atau haram berubah secara kimiawi menjadi vaksin.
Para ulama sepakat bahwa khamr jika berubah dengan sendirinya (tanpa ada campur tangan manusia) menjadi cuka maka hukumnya suci dan halal dikonsumsi. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal 11). Mereka berbeda pendapat jika perubahan tersebut terjadi karena campur tangan manusia, di mana ulama mazhab Hanafi dan Maliki menghukuminya suci, sedangkan ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali menghukuminya najis.
Para ulama juga berbeda pendapat jika benda najis selain khamr berubah dzat dan sifatnya karena usaha manusia. Ulama mazhab Hanafi dan Maliki menghukuminya suci, seperti babi dan bangkai yang jatuh di tempat produksi garam, kemudian menjadi garam, maka hukumnya suci dan halal dikonsumsi (Lihat: Al-Bahr al-Ra’iq Juz I halaman 239, Al-Syarh al-Kabir, halaman 50). Sementara ulama mazhab Hanbali dan imam Abu Yusuf menghukuminya najis. (Lihat Fathul Qadir, juz I halaman 139).
Adapun dalam mazhab Syafi’i, para ulama memberikan rincian; jika benda tersebut najis dzatnya maka tidak dapat menjadi suci, sedangkan jika benda itu menjadi najis karena sesuatu yang lain (mutanajjis), maka bisa menjadi suci, seperti kulit bangkai yang menjadi suci karena disamak. Imam Nawawi berkata:
وَلَا يَطْهُرُ شَيْءٌ مِنَ النَّجَاسَاتِ بِالْاِسْتِحَالَةِ إِلَّا شَيْئَانِ: أَحَدُهُمَا: جِلْدُ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَ، وَالثَّانِيْ: الخَمْرُ
“Dan benda najis tidak dapat menjadi suci dengan berubah bentuk (istihalah) kecuali dua hal, pertama: kulit bangkai jika disamak, dan khamr.” (Yahya bin Syaraf An Nawawi, Al-Muhadzdzab, Juz I, halaman 48).
Berdasarkan konsep istihalah di atas, dapat disimpulkan bahwa vaksin MR seandainya berasal dari bahan yang najis atau haram, maka menurut ulama mazhab Hanafi dan Maliki, hukumnya suci dan boleh digunakan, sebab bahan najis atau haram itu berubah secara kimiawi menjadi bentuk lain, yaitu vaksin.
Baca juga: Sikap Anti-Vaksin dan Hukum Kandungan Najis dalam Obat
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, dan Hanbali, hukum vaksin MR tetap najis dan tidak boleh digunakan, sebab perubahan yang terjadi bukan karena sendirinya melainkan karena campur tangan manusia, kecuali ada kondisi darurat dan hajat yang memaksa seseorang untuk menggunakan vaksin dimaksud, sebagaimana kaidah fiqih:
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
"Keadaan darurat membolehkan atau menghalalkan sesuatu yang haram."
الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً
"Hajat (kebutuhan) dapat menempati posisi darurat, baik berupa hajat umum maupun hajat khusus."
إِنَّ مَصْلَحَةَ الْعَافِيَةِ وَالسَّلَامَةِ أَكْمَلُ مِنْ مَصْلَحَةِ اجْتِنَابِ النَّجَاسَةِ
“Sesungguhnya kemaslahatan sehat dan selamat itu lebih sempurna dibanding kemaslahatan menjauhi najis. (Lihat: Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, halaman 142)
Di antara bukti kondisi darurat penggunaan vaksin MR adalah laporan WHO bahwa tahun 2017, rubella di Indonesia mencapai 1.264 kasus. Bahkan, setiap minggu, di salah satu RS terbesar di Jawa Timur saja, hanya satu RS saja, kurang lebih ada 2 kali tindakan operasi pada kasus katarak pada balita yang salah satu penyebabnya adalah infeksi Rubella.
Di akhir tulisan, penulis ingin memberikan beberapa saran: Pertama, orang Islam yang telah terlanjur melakukan imunisasi MR atau orang Islam yang yakin akan kehalalan vaksin tersebut, boleh mengambil pendapat ulama yang menghukuminya halal. Kedua, orang Islam yang ragu-ragu akan kehalalan vaksin MR, sebaiknya menunggu fatwa MUI tentang halal atau tidaknya vaksin tersebut. Ketiga, mengingat penting dan mendesaknya pemberian label halal atau haram pada vaksin MR ini, maka pihak-pihak terkait, meliputi Kementerian Kesehatan, LPPOM MUI, dan produsen, secepat mungkin melakukan kajian mendalam, lalu mengeluarkan statemen tentang kehalalan atau keharaman vaksin dimaksud, sebab permasalahan ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Wallahu A’lam.
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang.