Tafsir

Petunjuk Al-Qur’an untuk Memperkuat Ukhuwah

Sen, 21 Agustus 2017 | 04:01 WIB

Guna tujuan memantapkan ukhuwah atau persaudaraan antar sesama manusia, pertama kali Al-Qur’an menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di bumi.

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS Al-Ma-idah [5]: 48)

Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.

Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu  tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya "mati", atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya.

“Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh dirimu karena sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Islam).” (QS Al-Kahf [18]: 6)

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi orang-orang yang beriman?” (QS Yunus [10]: 99)

Ukhuwah dalam praktik

Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah, agaknya salah satu ayat surat Al-Hujurat dapat dijadikan landasan pengamalan konsep ukhuwah  Islamiyah. Ayat yang dimaksud adalah, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara, karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua saudaramu.” (QS 49: 10).

Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali berulang dalam Al-Qur’an, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan justru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan nyata.

Kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Qur’an terhadapnya.

Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah diartikan sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah digunakan oleh Al-Qur’an dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah shalah yang digunakan sebagai bentuk kata sifat.

Sehingga, shalah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.

Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi SAW yang  diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:

“Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian.”

Dari riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas dilengkapi dengan, Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan.

Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiyah mengantarkan manusia mencapai hasil-hasil konkret dalam kehidupannya. Untuk memantapkan ukhuwah Islamiyah, yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan nikmatnya. (Fathoni)

Disunting dari M. Quraish Shihab dalam buku karyanya “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat” (Mizan, 2000).