Tasawuf/Akhlak

Dua Makanan Hati Menurut Imam al-Ghazali

Kam, 27 September 2018 | 09:00 WIB

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَيُلْهِمْهُ رُشْدَهُ

“Orang yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan dipandaikan di dalam urusan agama dan ia akan diberi ilham petunjuk kebenaran oleh Allah” (HR. al-Bukhari)

Itulah sabda Baginda Nabi Muhammad ﷺ dalam menjelaskan betapa ilmu agama penting bagi kehidupan manusia. Dari hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang diberi pemahaman tentang ilmu agama maka ia akan meninggal dalam keadaan husnul khatimah, sebagai bentuk pembuktian akan kebenaran sabda Nabi tersebut.

Pengaruh ilmu agama dalam kehidupan manusia tak ubahnya seperti pengaruh makan dan minum bagi mereka. 

Imam al-Ghazali, di dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn menyampaikan betapa pentingnya ilmu bagi hati seorang manusia. Di sana, beliau menyitir dawuh dan pernyataan sebagian ulama. Beliau berkata:

قال فتح الموصلي رحمه الله : أليس المريض إذا منع الطعام والشراب والدواء يموت؟ قالوا بلى. قال كذلك القلب إذا منع عنه الحكمة والعلم ثلاثة أيام يموت

“(Di hadapan para muridnya) Fath al-Mushili rahimahullah berkata, ‘Bukankah akan mati jika ada orang sakit yang tidak mendapatkan makan, minum, dan obat ?’  Mereka pun menjawab, “Iya benar, akan mati.’ ‘Begitu juga hati, ketika tidak mendapatkan hikmah dan ilmu selama tiga hari, maka hati akan mati,’ lanjut beliau.”

Imam al-Ghazali membenarkan apa yang dikatakan Fath al-Mushili. Karena sesungguhnya makanan hati adalah ilmu dan hikmah. Dengan keduanyalah hati bisa hidup. Sebagaimana badan akan hidup jika makan. Tidak mendapatkan ilmu menyebabkan hati seseorang dalam keadaan sakit dan pasti akan mati, meskipun ia tidak merasa.

Cinta dunia dan kesibukan duniawi bisa membuat orang tidak merasakan hal tersebut. Sebagaimana kondisi sangat ketakutan (atau mabuk, red) akan bisa “menghilangkan” sakitnya luka yang berat. Kemudian, ketika kematian telah melenyapkan urusan-urusan duniawi dari dirinya, maka baru dia merasakan bahwa dirinya dalam keadaan rusak dan baru dia sangat menyesal. Penyesalan pascakematian ini tentu tidak ada gunanya lagi. Sama seperti orang yang sudah aman dari ketakutannya atau orang yang sudah sadar dari mabuknya, ia baru merasakan luka-luka yang ia alami saat mabuk atau saat ketakutan.

Maka kita berlindung kepada Allah ﷻ dari hari terbukanya tirai semua amal. Karena sesungguhnya manusia masih dalam keadaan tertidur. Ketika  meninggal dunia, maka mereka baru terbangun dari tidurnya. (Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn, Beirut, Dar al-Fikr, juz I, halaman 8)

Terdapat berbagai pemahaman di kalangan para ulama terkait dengan maksud dari kata al-hikmah yang tercantum di dalam Al-Qur’an seperti firman Allah ﷻ:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ 

“Allah memberikan hikmah kepada orang yang Ia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak menerima pengingat kecuali orang-orang yang memiliki akal sempurna.” (QS Al-Baqarah: 269)

Baginda Nabi Muhammad ﷺ juga pernah bersabda:

الْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ

“Hikmah adalah Yaman.” (HR. at-Tirmidzi)

Ada yang berpendapat maksud dari al-hikmah adalah amal. Ada juga yang berpendapat maksudnya adalah setiap sesuatu yang mencegah dari perbuatan bodoh dan perbuatan jelek. Dan masih banyak lagi pendapat ulama tentang maksud dari kata al-hikmah. (Muhammad ibn Qasim ibn Muhammad ibn Zakur al-Fasi, Zuhr al-Akam fi al-Amtsal, halaman 7) 

Terkait tentang maksud dari kata al-hikmah ini, al-Ghazali berkata di dalam kitab Ihyâ’-nya:

ونعني بالحكمة حالة للنفس بها يدرك الصواب من الخطأ في جميع الأفعال الاختيارية

“Yang saya kehendaki dengan kata al-hikmah adalah kondisi hati yang bisa menjadi sarana mengetahui yang benar dan yang salah dalam semua perbuatan yang kita pilih. (Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn, Beirut, Dar al-Fikr, juz III, halaman 3)

Wallahu a’lam. (Moh. Sibromulisi)