Tasawuf/Akhlak

Hakikat Idul Fitri menurut Prof Quraish Shihab

Rab, 27 April 2022 | 16:00 WIB

Hakikat Idul Fitri menurut Prof Quraish Shihab

Idul Fitri menjadi momentum bagi setiap Muslim untuk berbuat benar, baik, dan indah sebagai bentuk kembali kepada kesuciannya.

Idul Fitri merupakan hari yang dirayakan oleh seluruh umat Islam pada tanggal 1 Syawal setiap tahunnya. Perayaan ini dilakukan sebagai wujud kegembiraan setelah sebulan penuh menjalani puasa di bulan Ramadhan.


Sebagaimana diketahui, idul fitri terdiri dari dua kata, yakni id dan al-fithri. Kata yang pertama, id, dapat diartikan kembali, sedangkan al-fithri memiliki setidaknya tiga makna, yakni (1) agama yang benar, (2) kesucian, dan (3) asal kejadian.


Jika fitri diartikan sebagai makna pertama, agama yang benar, maka Idul Fitri sudah sepatutnya menjadi momentum bagi setiap Muslim untuk menyadari bahwa setiap manusia bisa melakukan kesalahan.


"Setiap yang beridul fithri harus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu, ia bersedia untuk memberi dan menerima maaf," begitu tulis Prof Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.


Sementara makna kedua dari kata fithri adalah kesucian. Makna ini, menurutnya, merupakan gabungan dari tiga unsur, yakni (1) benar, (2) baik, dan (3) indah. Karenanya, Idul Fitri menjadi momentum bagi setiap Muslim untuk berbuat benar, baik, dan indah sebagai bentuk kembali kepada kesuciannya.


Bahkan, dengan kesucian jiwa, seseorang dapat memandang segalanya dengan penglihatan yang positif. "Ia selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar, dan indah," lanjut Quraish dalam bukunya itu.


Akademisi yang menamatkan studi pendidikan tingginya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu menjelaskan, bahwa mencari yang indah itu melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, dan mencari yang benar melahirkan ilmu.


"Dengan pandangan demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan, dan keburukan orang lain," terang ulama kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944 itu.


"Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan kalaupun itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan," katanya.


Sebab, ia menegaskan bahwa maaf-memaafkan dan silaturahim sangat sesuai dengan hakikat Idul Fitri.


Syakir NF, alumnus Pondok Buntet Pesantren