Tasawuf/Akhlak

Hierarki Komponen Lingkungan Hidup dalam Filsafat Alam Ibnu Sina

NU Online  ·  Rabu, 16 Juli 2025 | 15:00 WIB

Hierarki Komponen Lingkungan Hidup dalam Filsafat Alam Ibnu Sina

Ilustrasi alam imajinasi manusia. Sumber: Canva/NU Online.

Ibnu Sina atau orang Barat mengenalnya dengan nama Avicenna merupakan sosok yang menguasai berbagai disiplin keilmuan (polymath). Selain dikenal keilmuannya di bidang kedokteran, Ibnu Sina juga dikenal sebagai sosok yang ahli di bidang filsafat.


Pada masa remaja, Ibnu Sina telah mempelajari pemikiran-pemikiran dari Aristoteles. Ia pernah membaca buku metafisika dari Aristoteles namun kesulitan memahami isinya kendati telah membacanya 40 kali hingga menghafalkannya. Kesulitan ini tertolong saat dia membaca karya Al-Farabi yang membahas metafisika Aristoteles. (Eka Nova Irawan, Pemikiran Tokoh-Tokoh Psikologi Dari Klasik Sampai Modern, [Yogyakarta: IRCiSoD,2015] halaman 30).

 

Ketika membahas pemikiran filsafat Ibnu Sina, kita tidak bisa mengabaikan konsep-konsep menariknya tentang indra internal dan hierarki jiwa. Istilah indra internal digunakan untuk membedakannya dari indra eksternal (seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba), karena indra internal merujuk pada kemampuan batiniah yang mengolah informasi yang ditangkap oleh pancaindra.


Dimensi Indra Internal

  1. Al-Hissul Musytarak (Persekutuan dari indra eksternal), merupakan pengetahuan yang dicampur dari panca indra eksternal, berupa daya peraba, perasa, pelihat, pencium, dan pendengar. Contohnya ketika seseorang melihat kayu, kemudian meraba, dan saat meraba mendengarkan suara gesekan antara kayu dan tangan, maka seseorang akan mengetahui bentuk, tekstur, beserta suara kayu.
  2. Al-Mushawwirah (penggambaran), merupakan penggambaran kesan-kesan yang terkumpul. Dalam konteks kayu tersebut, seseorang akan mampu menggambarkan atau membayangkan bahwa kayu lain yang belum dia lihat, raba, dan dengarkan memiliki bentuk, tekstur, beserta suara yang serupa.
  3. Al-Mutakhayyilah (analisis), merupakan analisis terhadap apa yang ditemukan tadi. Contohnya, seseorang mengetahui bahwa tekstur kayu demikian karena di dalamnya terdapat zat-zat tertentu.
  4. Al-Mauhimah (menerka), merupakan penemuan arti terhadap apa yang diserap oleh indra. Contohnya, seseorang bisa menyimpulkan bahwa kayu memiliki sifat tertentu.


Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina

Menurut Ibnu Sina, nafs atau jiwa merupakan kesempurnaan yang asli karena dengan spesies (jins) ia menjadi utuh dan nyata. Dikatakan sempurna, maka bisa dipahami bahwa dalam konteks ini jiwa berbeda dan lebih luas daripada tubuh fisik (material) yang lebih terbatas.


Ibnu Sina memiliki pandangan bahwa jiwa merupakan sesuatu yang independen (terpisah) dari jasmani. Hancurnya jasmani belum tentu menghancurkan jiwa. Jiwa juga memiliki rasa rindu untuk kembali ke asalnya berupa alam rohani. Contoh ringannya adalah, ketika seseorang bergurau dan dicubit (dalam konteks gurauan) oleh kekasihnya, terkadang seseorang tersebut jiwanya tetap senang kendati jasmaninya sedikit merasakan sakit karena cubitan.


Hierarki Jiwa Perspektif Ibnu Sina

1. Nafs Nabatiyyah

​​​​​​​Nafs nabatiyyah, vegetative soul, atau jiwa nabati ini merupakan hierarki terbawah dalam jiwa manusia. Ibnu Sina membagi kebutuhan jiwa nabati ini dalam tiga daya berikut:


أولها المغذية و ثانيها المنيمة و ثالثها المولدة. و المذغة كالمبدأ، و المولدة كالغاية، والمنيمة كالواسطة الرابطة الغاية بالمبدأ


Artinya, “Pertama adalah makan, kedua tumbuh, dan ketiga reproduksi. Daya makan ini ibarat permulaan, daya reproduksi ibarat tujuan, dan daya tumbuh ibarat perantara antara tujuan dan permulaan,” (Ibnu Sina, Ahwalun Nafs [Paris: Dar Byblion, 2007] halaman 156).

 

Dorongan untuk makan dan minum, tumbuh, serta bereproduksi merupakan ciri khas jiwa nabati. Jika seseorang hanya menjalani hidup sebatas memenuhi tiga dorongan tersebut, sekadar makan, tumbuh, dan berkembang biak, maka tingkatan jiwanya masih berada pada level jiwa nabati.


2. Nafs Hayawaniyyah

Nafs hayawaniyah, animal soul, atau jiwa hewani menjadi hierarki jiwa yang satu kali lebih tinggi dibanding jiwa nabati. Jika lingkup jiwa nabati terbatas pada aspek daya makan, pertumbuhan, dan reproduksi, jiwa hewani ini lebih luas, yakni pada lingkup daya gerak pindah, kemampuan gerakan fisik dari satu tempat ke tempat yang lain.


و أما وجه الحاجة  إلى قوة المحركة، فلأن الحيوان لما لم تكن حاله كحال النبات في جذب النافع من الأذغية، و دفع الضار الممانع، بل كان ذلك له بضرب من الإكتساب، احتاج إلى قوة محركة لاجتذاب النافع و دفع الضار. 


Artinya, “Adapun  arah kebutuhan pada daya gerak, maka sesungguhnya hewan memiliki keadaan yang berbeda dengan tumbuhan dalam meraih manfaat dari makanan dan menghindari bahaya, tetapi hewan mendapatkannya dengan suatu usaha, maka dia membutuhkan daya gerak untuk mendapatkan manfaat dan menghindari bahaya,” (Ahwalun Nafs, halaman 159).


Selain kemampuan untuk bererak, dalam jiwa hewani ini juga terdapat daya naluri atau insting. Naluri ini contohnya adalah kemampuan untuk meraih kenikmatan dan menghindari kesusahan, hal ini berhubungan dengan nafsu.


Seseorang yang memiliki dorongan untuk bergerak bebas, berkeinginan meraih sesuatu yang diinginkan, serta menghindari hal yang tidak diinginkan berdasarkan panca indra telah memenuhi konsep nafsu hayawaniyah. Namun, tingkatan ini belum cukup untuk mencapai jiwa insani yang sejati.


3. Nafs Insaniyyah

Nafs insaniyyah, rational soul, atau jiwa insani merupakan hierarki tertinggi dari kedua jiwa sebelumnya, pandangan Ibnu Sina terhadap jiwa insani ini juga memiliki corak sufistik. Jiwa ini yang menjadikan manusia benar-benar berbeda dengan tumbuhan dan hewan. Jiwa ini yang bisa mengantarkan manusia menjadi manusia paripurna.


Jiwa insani tersebut memiliki daya berpikir berupa akal. Hal inilah yang mendasari perbedaan antara manusia dengan hewan, sebagaimana Ibnu Sina mengatakan:


و من الحيوان الإنسان: يختص بنفس إنسانية تسمى نفسا ناطقة


Artinya, “Bahwa termasuk dari jenis hewan adalah manusia: terkhusus dengan jiwa manusia dinamakan jiwa yang berakal.” (Ibnu Sina, ‘Uyunul Hikmah [Beirut: Dar al-Qalam, 1980] halaman 40).


Akal terbagi menjadi dua, yaitu akal praktis (al-‘aql al-fa‘al) dan akal teoritis (al-‘aql al-nadhari). Akal praktis berfungsi menerima makna-makna yang berasal dari materi melalui indra dan daya ingat yang terkait dengan jiwa hewani. Akal ini berfokus pada perilaku manusia dalam keadaan sadar. 


Dalam akal praktis, terdapat tiga daya: al-quwwatun nuzu‘iyyah (daya penggerak yang mengarahkan perilaku tertentu), al-quwwatul mutakhayyilah (daya imajinasi yang menghasilkan pertimbangan terhadap perilaku), dan al-quwwatul mawhumah (daya penerka yang menghubungkan akal praktis dengan akal teoritis). Sementara itu, akal teoritis berperan menangkap esensi non-material, seperti Tuhan, ruh, dan malaikat.


Dalam akal teoritis dikenal istilah al-‘aql bi al-quwwah atau potensi untuk menangkap esensi, al-‘aql bil malakah atau realisasi sebagian dari al-‘aql bil-quwwah, dan akal aktual yang merupakan realisasi penuh dari kedua istilah sebelumnya. Akal aktual ini tidak lepas dari peran akal praktis sebagai penerangannya yang kemudian menjadi al-‘aqlul mustafad atau akal perolehan.


Akal tidak memiliki bentuk rasional, namun bentuk ini bisa diperoleh dari dua hal. Pertama, langsung dari ilham ilahi tanpa melalui jalan belajar dan tanpa melalui indra sebagai objek akal yang bersifat aksiomatik (diyakini benar tanpa harus dibuktikan), seperti ketika kita meyakini bahwa “seluruh” lebih banyak dari “sebagian”.


Kedua, melalui upaya analogi dan deduksi demonstratif sebagai konsepsi terhadap hal rasional. Mudahnya, sesuatu diperoleh melalui belajar dan analisis yang tentunya membutuhkan peran dari indra.


Inti dari uraian ini, bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam konteks filsafat jiwa tersebut bisa menjadi rujukan dalam aspek spiritual/sufistik, karena memang memiliki hubungan erat. Konsep yang ia tawarkan juga dianggap sebagai sumbangsih besar dalam dunia psikologi.


Selain itu, pemikiran Ibnu Sina ini mewakili zamannya di mana pada saat itu filsafat yang berkaitan dengan jiwa atau juga ilmu psikologi belum berkembang sematang sekarang. Maka dari itu, ketika membaca pemikiran Ibnu Sina, kita juga perlu memahami konteks zaman tersebut. Wallahu A’lam.


Izzulhaq At Thoyyibi, Alumni PP Hidayatush Sholihin Jenu Tuban.