Tasawuf/Akhlak

Nilai-nilai dalam Islam untuk Mencegah Perundungan di Sekolah

NU Online  ·  Rabu, 4 Juni 2025 | 06:00 WIB

Nilai-nilai dalam Islam untuk Mencegah Perundungan di Sekolah

Ilustrasi Bullying. Sumber: Canva/NU Online.

Perundungan adalah tindakan kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan berulang, baik dalam bentuk fisik maupun psikis, yang bertujuan menyakiti orang lain. Tindakan ini dapat berupa pukulan, tendangan, hinaan, ancaman, atau pengucilan, yang sering kali meninggalkan dampak serius seperti trauma, kecemasan, depresi, hingga, dalam kasus ekstrem, hilangnya nyawa. Perundungan tidak hanya melukai korban secara langsung, tetapi juga merusak harmoni dan nilai kemanusiaan dalam lingkungan sosial.


Untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, harmonis, dan bebas dari perundungan, lembaga pendidikan perlu menerapkan sejumlah prinsip fundamental. Prinsip-prinsip ini bertujuan menumbuhkan sikap saling menghormati, menghargai keberagaman, dan mencegah tindakan kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Berikut adalah beberapa prinsip yang dapat diterapkan:


Pertama, Prinsip Kesetaraan

Secara mendasar, perundungan yang terjadi di berbagai jenjang lembaga pendidikan disebabkan oleh anggapan bahwa diri sendiri memiliki kelebihan dibandingkan orang lain. Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang sama, tidak mengetahui apa-apa. Allah SWT berfirman:


وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ


Artinya: "Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur". (QS. An-Nahl: 78)


Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan fitrahnya, tanpa mengetahui apa-apa. Kemudian, Allah SWT membekali mereka dengan ilmu dan berbagai pengetahuan serta menganugerahi mereka akal sehat. Dengan akal sehat tersebut, manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan serta menilai manfaat dan bahaya. (Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr al-Mu'ashir, 1991], jilid, XIV, hal. 193).


Jauh sebelum ini, Al-Mawardi menegaskan bahwa akal sehat merupakan permulaan kualitas manusia dan sumber perilakunya. Allah SWT menjadikan akal sehat sebagai dasar agama dan tiang dunia. Dengan akal sehat, agama menjadi sempurna dan dunia dapat ditata dengan hukum-hukum-Nya. Akal sehat juga mampu menyatukan tujuan dan kebutuhan manusia, (Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi, Adubud Dunya Wad Din, [Beirut: Dar Maktabah Al-Hayat, 1986], hal. 17).


Berdasarkan penjelasan di atas, lembaga pendidikan harus mampu menegaskan bahwa semua siswa memiliki potensi yang sama untuk mengembangkan diri, baik dalam pengetahuan, keterampilan, maupun sikap.


Dalam implementasinya, guru di dalam kelas dapat mengajak siswa membaca berulang-ulang, menyelesaikan teka-teki secara berkelompok, membuat karya seni, serta bertanggung jawab atas kebersihan kelas. Dengan demikian, ketika mereka sibuk mengembangkan diri, tidak akan terlintas sedikit pun di pikiran mereka untuk melakukan perundungan.


Kedua, Prinsip Toleransi.

Secara geografis, Indonesia terdiri dari 17.380 pulau, 1.340 suku dan 726 bahasa daerah serta 6 agama. Perbedaan suku, bahasa dan agama sering kali menjadi dasar perundungan seorang siswa kepada siswa lainnya. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan diciptakannya manusia dalam berbagai perbedaan. Allah SWT berfirman: 


يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُواۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
   

Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti." (QS. Al-Hujurat: 13)


Ayat di atas dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Arab yang gemar membanggakan nasab dan harta, serta merendahkan kalangan fakir. Dalam rangka menghapus kebiasaan tersebut, pada momen Fathu Makkah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan Bilal, seorang mantan budak berkulit hitam dari Habasyah, untuk naik ke atap Ka'bah dan mengumandangkan adzan. Pesan utama dari ayat ini adalah pentingnya takwa, (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, [Kairo: Darul Kutub al-Mishriyah, 1964], jilid, XVI, hal. 341).


Berdasarkan pemahaman di atas, lembaga pendidikan harus mampu menegaskan, bahwa latar belakang keluarga atau asal usul siswa bukanlah hal penting. Oleh karena semua siswa memiliki hak belajar yang sama. Dan yang terpenting adalah prestasi belajar. 


Dalam lingkup kelas, seorang guru dituntut mampu menanamkan sikap toleran kepada siswa. Sikap toleran ini dapat dipupuk dengan mengenalkan agama-agama yang ada di Indonesia. Pengenalan ini dapat dilakukan, misalnya, dengan mengamati ritual keagamaan yang berlangsung saat libur hari besar keagamaan. Tujuannya agar siswa memahami bahwa pemeluk agama lain juga memiliki ritual keagamaan, sebagaimana Islam mewajibkan shalat, zakat, puasa, dan lain sebagainya.


Demikian pula dalam bidang budaya, guru sebaiknya mengenalkan kebudayaan daerah yang memiliki tujuan serupa. Misalnya, tradisi sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat pesisir selatan Pulau Jawa dengan melarung hidangan ke laut sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Sejalan dengan itu, ada upacara Kasada yang dilakukan oleh masyarakat Tengger dengan melemparkan makanan ke kawah Bromo.


Ketiga, Prinsip Pemerataan Pelayanan

Dalam rangka mencegah perundungan di lembaga pendidikan, pelayanan terhadap siswa yang berbasis minat, bakat, dan latar belakang mereka menjadi hal yang penting. Hal ini diyakini sebagai upaya untuk mewujudkan lingkungan belajar yang nyaman. Pelayanan seperti ini merupakan tanggung jawab semua pihak, terutama pengelola lembaga pendidikan.


Dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari dari Abdullah bin Umar RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:


كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ ... رواه البخاري


Artinya: "Setiap kalian adalah penggembala. Maka diminta pertanggungjawaban atasnya. Pemimpin yang memimpin manusia juga diminta pertanggungjawaban atasnya." (Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Damaskus: Daar Ibnu Katsir, 1993], jilid, II, hal. 901).


Salah satu upaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman adalah menyediakan guru agama bagi siswa yang memeluk agama minoritas. Sebab, nilai-nilai kasih sayang dalam setiap agama menjadi dasar interaksi dalam kehidupan bermasyarakat.


Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 12 Ayat 1(a), yang menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, yang diajarkan oleh pendidik yang seagama.


Dengan menerapkan tiga prinsip di atas, serta mengomunikasikan kebijakan ini kepada semua pihak, perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan dapat dihindari, bahkan dicegah. Wallahu a'lam.


Ustadz Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember.