Jauhi Ustadz Pengabdi Hawa Nafsu, Imbau Syekh Ibnu Athaillah
NU Online · Senin, 18 Desember 2017 | 12:07 WIB
Kita yang masih dalam proses “perbaikan”, “pendidikan”, atau “penggemblengan” diri, tidak boleh salah bergaul. Kita yang masih dalam “proses” ini perlu mencari orang yang sanggup menahan hawa nafsu atau dorongan dalam dirinya meskipun ia sendiri bukan orang yang menghafal ratusan ayat Al-Quran, ribuan hadits Rasulullah SAW, atau mereka yang kerap berkhotbah dan ceramah agama.
Mereka yang sedang berusaha keras dalam mengendalikan nafsu, berupaya berakhlak baik, mencoba pandai menjaga ucapan, dan sedang belajar menahan tangan agar tidak melukai orang lain atau menulis termasuk men-share semacam broadcast provokatif, ujaran kebencian, serta meresahkan atau video yang tidak bermanfaat bagi orang lain apalagi hoaks, tidak membutuhkan pergaulan dengan orang yang tidak bisa menahan nafsu meskipun ia sudah dianggap ustadz. Hal ini disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam butir hikmah berikut ini.
Artinya, “Persahabatanmu dengan orang awam yang tidak merestui hawa nafsunya lebih baik dibanding persahabatan dengan pemuka agama yang merestui nafsunya.”
Mengapa demikian? Sedikit atau banyak, pergaulan dapat membawa pengaruh (buruk?) pada perkembangan batin, jiwa, atau karakter seseorang.
Pergaulan dengan orang yang “tepat” sangat dibutuhkan oleh kita yang sedang berproses dalam “mendidik” jiwa kita. Hal ini diterangkan lebih jauh oleh Syekh Syarqawi sebagai berikut.
Artinya, “Demi Allah, (persahabatanmu) wahai murid (dengan orang awam) terhadap ilmu lahiriyah (yang tidak merestui hawa nafsunya) dalam artian murka atas nafsu dan meyakini ketidaksempurnaannya, (lebih baik dibanding persahabatan dengan pemuka agama) yang mengerti masalah lahiriyah itu (yang merestui nafsunya). Persahabatan dengan orang yang ridha atas nafsunya, sekalipun ia alim, sama sekali tidak maslahat bagimu. Pasalnya, persahabatan itu membawa pengaruh sehingga kamu berisiko terdampak sifat buruk darinya. Walhasil, ilmu pemuka agama tersebut tidak bermanfaat dalam rangka ‘pendidikan’ bagi batinmu, dan faktor ‘keawaman’ yang membuatnya senang atas hawa nafsu menjadi sangat berbahaya bagimu. Sampai-sampai dapat dikatakan, ketika seorang pemuka agama (orang alim) itu luput memahami kekurangan nafsunya sehingga ia senang atas nafsunya itu, maka hakikatnya ia tidak berilmu,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, halaman 32).
Sementara Syekh Zarruq mengatakan bahwa relasi pergaulan kedua orang itu bisa dalam bentuk guru-murid, persahabatan setara, atau semacam figur yang diikuti. Semua relasi itu sama saja.
Menurutnya, orang yang dapat menahan hawa nafsu dari dalam dirinya meraih tiga keistimewaan tanpa peduli meski ia seorang yang awam dalam agama atau ia yang kesehariannya tidak berpakaian putih-putih gamis. Keistimewaannya ini yang menjadi ukuran kesempurnaan keimanannya.
Artinya, “Sama saja, apakah ia sebagai guru, sahabat, atau pengikut. Pasalnya, orang yang tidak merestui hawa nafsunya memiliki tiga keutamaan meskipun ia awam, yaitu pertama keinsafan (keadilan) atas nafsunya, tawadhu terhadap hamba-hamba Allah, dan membela kebenaran dengan cara yang haq. Sahabat Ammar RA mengatakan, ‘Ketika tiga sifat ini hadir dalam diri seseorang, maka genap-sempurnalah keimanannya; yaitu keinsafan (keadilan) atas nafsunya, penebaran benih perdamaian terhadap alam semesta, dan kedermawanan dalam keadaan sempit,’” (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 48).
Hikmah Syekh Ibnu Athaillah ini jangan dipahami sempit sebagai anjuran untuk membenci atau menjauhi ustadz atau para kiai. Poin utamanya bukan pada soal kadar keilmuan. Poin utamanya terletak pada kebutuhan kita yang masih dalam “proses” perbaikan diri untuk lebih selektif memilih sahabat, figur, atau “guru”.
Jangan sampai kita berinteraksi secara intensif dengan mereka, apapun statusnya, yang masih belum bisa mengendalikan hawa nafsunya karena tidak baik untuk jiwa kita yang sedang dalam perkembangan, pertumbuhan, pendidikan, dan penggemblengan.
Bagi Syekh Ibnu Athaillah, sahabat, figur, utsadz, atau guru yang baik bagi kita itu bukan sekadar mereka yang berpakaian Islami atau penuh berhamburan ayat-ayat Al-Quran dan hadits dari mulutnya. Sahabat, figur, utsadz, atau guru yang baik bagi kita itu adalah mereka yang mampu menahan segala dorongan-dorongan nafsu dalam dirinya sehingga perilaku serta ucapannya tetap bijak dan penuh pertimbangan yang bisa kita jadikan panutan, pedoman, dan ikutan. Mereka adalah orang yang pernyataan, ucapan, sikap, perilaku, dan kebijakannya tidak dilandasi dorongan nafsu, tetapi berlatar pertimbangan matang.
Hikmah ini menganjurkan kita untuk berinteraksi secara intensif dengan mereka yang sanggup menahan diri dari sifat dan perilaku tercela sebagai jalan yang paling aman bagi perkembangan batin kita. Pasalnya, batin kita yang dalam “proses” masih rawan dan rentan pengaruh. Tetapi syukur alhamdulillah dan berbahagialah kita yang tengah berjalan ini menemukan sahabat, ustadz, atau guru yang perilakunya terpuji sehingga dapat menjadi teladan atau model bagi kita yang berproses dalam menahan diri.
Sebaiknya kita selalu berdoa agar tetap dalam bimbingan Allah. Kita juga sebaiknya berdoa kepada-Nya agar diberikan sahabat, ustadz, dan figur yang memberikan maslahat bagi perkembangan kepribadian kita. Amiiin. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
6
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
Terkini
Lihat Semua