Tasawuf/Akhlak

3 Tingkatan Sabar dalam Pandangan Syekh Ibnu Abid Dunya

Ahad, 16 Mei 2021 | 13:00 WIB

3 Tingkatan Sabar dalam Pandangan Syekh Ibnu Abid Dunya

Kendatipun sabar memiliki tingkatan, esensi sejatinya bukan tentang tingkatan.

Sudah sejak lama kita mendengar bahwa sabar ada batasnya. Ada saat di mana seseorang boleh membalas kezaliman atasnya atau mengingkari takdir Tuhan terhadapnya. Dampaknya, secara konseptual sah-sah saja bila kezaliman dibalas kezaliman, dan tak terima akan takdir Tuhan. Padahal, dalam hadits disebutkan, Lâ dharara wa lâ dhirâra, “Tidak boleh ada kezaliman, dan tidak pula membalasnya dengan kezaliman”. Juga, sebuah hadits qudsi menerangkan, bagi yang tidak rela akan ketetapan Allah, agar mencari Tuhan selain-Nya (jika memang mampu). Artinya, sabar yang diberi limitasi waktu adalah budaya yang dibuat-buat. Ditetapkan tanpa dasar yang jelas. Itu pun, hingga detik ini, kita belum tahu sampai mana batas kesabaran itu.

 

Lalu, bagaimana dengan konsep fiqih kita tentang memberi perlawanan kepada siapa pun yang hendak merusak agama, mencerai-beraikan persatuan bangsa, mencelakai, merusak kehormatan, harta, dan lain-lain? Bukankah hal ini wajib? Jawabannya, iya. Karena semua itu merupakan karunia yang harus dijaga. Namun, yang penting dicatat bahwa membalas kezaliman berbeda dengan menjaga diri dari kezaliman. Membalas itu, berorientasi menyimpan dendam dan kebencian. Itulah spirit larangan agama melalui frasa wa lâ dhirâra. Sedangkan menjaga diri adalah implementasi dari amanah Allah subhânahu wa ta’âla kepada kita.

 

Kembali ke awal bahwa sabar tanpa limitasi waktu ini, memiliki tiga tingkatan. Hal ini, sebagaimana yang ditulis Syekh Ibnu Abid Dunya (208-281 H) dalam karyanya as-Shabru wa Tsawâb ‘alaihi. Pertama, sabar atas musibah. Kedua, sabar dalam menjalani ketaatan. Ketiga, sabar atau menahan diri dari laku kemaksiatan. Sabar yang terakhir adalah sabar dengan tingkatan tertinggi.

 

Dalam kitab as-Shabru wa Tsawâb ‘alaihi (hal. 30), Syekh Ibnu Abid Dunya mencantumkan sebuah hadits riwayat Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

الصَّبْرُ ثَلَاثٌ: فَصَبْرٌ عَلَى الْمُصِيبَةِ، وَصَبْرٌ عَلَى الطَّاعَةِ، وَصَبْرٌ عَنِ الْمَعْصِيَةِ، فَمَنْ صَبَرَ عَلَى الْمُصِيبَةِ حَتَّى يَرُدَّهَا بِحُسْنِ عَزَائِهَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثَلَاثَمِائَةِ دَرَجَةٍ بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ، وَمَنْ صَبَرَ عَلَى الطَّاعَةِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ سِتَّمِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ تُخُومِ الْأَرْضِ إِلَى مُنْتَهَى الْعَرْشِ، وَمِنْ صَبَرَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ تِسْعَمِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ تُخُومِ الْأَرْضِ إِلَى مُنْتَهَى الْعَرْشِ مَرَّتَيْنِ

 

Artinya, “Sabar ada tiga tingkatan; sabar atas musibah, sabar dalam menjalani ketaatan, dan sabar dari laku kemaksiatan. Siapa saja yang sabar menghadapi musibah, sampai ia mampu merestorasinya sebaik mungkin, Allah akan mengangkat 300 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara langit dan bumi. Dan, yang bersabar dalam menjalani ketaatan, Allah mengangkat 600 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy. Sedangkan, bagi yang bersabar dari laku kemaksiatan, Allah mengangkat 900 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sekitar dua kali lipat antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy”.

 

Secara klasifikasi, Imam Ali karramallahu wajhah menggolongkannya menjadi empat. Berikut redaksinya dalam as-Shabru wa Tsawâb ’alaihi (hal. 25):

 

قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: الصَّبْرُ عَلَى أَرْبَعِ شِعْبٍ: عَلَى الشَّوْقِ، وَالشَّفَقِ، وَالزَّهَادَةِ، وَالتَّرَقُّبِ. فَمَنِ اشْتَاقَ إِلَى الْجَنَّةِ سَلَا عَنِ الشَّهَوَاتِ، وَمَنْ أَشْفَقَ مِنَ النَّارِ رَجَعَ عَنِ الْمُحَرَّمَاتِ. وَمَنْ زَهِدَ فِي الدُّنْيَا تَهَاوَنَ بِالْمُصِيبَاتِ. وَمَنِ ارْتَقَبَ الْمَوْتَ تَسَارَعَ إِلَى الْخَيْرَاتِ

 

Artinya, “Imam Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Sabar ada empat golongan; sabar dalam merindu, sabar karena sayang, sabar dengan latar kezuhudan, dan sabar dalam penantian. Siapa yang merindukan surga, akan membersihkan dirinya dari hasrat-hasrat rendah. Siapa yang mengasihani dirinya dilahap neraka, akan keluar dari segala bentuk keharaman. Siapa yang tak menaruh cinta pada dunia, entenglah baginya segala musibah. Dan, siapa yang menanti kematian (selalu merasa kematian sudah di depan mata), pastilah ia bergegas meregup pelbagai kebaikan”.

 

Hidup sebagai makhluk sosial membuat kita tidak pernah lekang dari salah dan khilaf. Kalau bukan disakiti—sadar atau tidak—kita pernah menyakiti orang lain. Dalam hal ini, agama mengajarkan agar yang menyakiti meminta maaf, dan yang disakiti supaya bersabar sekaligus memberi maaf. Ini adalah pedoman terbaik kita sebagai makhluk sosial. Imam al-Hasan pernah menasihati, “Wahai umat manusia, jangan sekali-kali menyakiti yang lain. Namun, bila kau disakiti maka bersabarlah” (as-Shabru wa Tsawâb ’alaihi hal. 26).

 

Sebenarnya, kesabaran sangat erat kaitannya dengan kesadaran. Bila benar-benar menyadari tabiat kemanusiaan kita yang tak lepas dari salah dan lupa, juga hakikat penciptaan kita yang senantiasa bersujud kepada sang Maha Pengampun lagi Penyayang, maka tiada alasan untuk tidak bersabar. Di sini, Syekh Ibnu Abid Dunya sedang berusaha menguak kesadaran umat sehingga menjadi pribadi yang penyabar.

 

Karena itu, kitab as-Shabru wa Tsawâb ’alaihi ini, penuh dengan nasihat-nasihat sabar. Baik dari Al-Qur’an, hadist, kalam para sahabat, dan para ulama salafuna as-shalih yang lain. Seperti nasihat Imam Ibrahim at-Taimiy yang mengatakan:

 

مَا مِنْ عَبْدٍ وَهَبَ اللَّهُ لَهُ صَبْرًا عَلَى الْأَذَى، وَصَبْرًا عَلَى الْبَلَاءِ، وَصَبْرًا عَلَى الْمَصَائِبِ، إِلَّا وَقَدْ أُوتِيَ أَفْضَلَ مَا أُوتِيهِ أَحَدٌ، بَعْدَ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ

 

Artinya, “Setiap kali Allah menganugerahi kesabaran pada hamba-Nya, baik atas rasa sakit, malapetaka, dan musibah, pasti juga memberinya yang labih baik dari (ganjaran) keimanan itu sendiri”. (as-Shabru wa Tsawâb ’alaihi hal. 28)

 

Kalam at-Taimiy di atas, mengajarkan kita bahwa mempertahankan keimanan jauh lebih penting dari pada keimanan itu sendiri. Segala bentuk kesusahan dan derita yang dirasakan umat adalah ujian keimanan dari Allah. Mengingat, iman yang hakiki yaitu iman yang tak lekang waktu, tempat dan kondisi; suka ataupun duka, lapang atau sempit. Sungguh, nasihat yang besar.

 

Imam Ali bin Abi Thalib pernah memberi analogi keimanan. Ia berkata:

 

أَلَا إِنَّ الصَّبْرَ مِنَ الْإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ بَادَ الْجَسَدُ، ثُمَّ رَفَعَ صَوْتَهُ فَقَالَ: أَلَا إِنَّهُ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا صَبْرَ لَهُ

 

Artinya, “Ingatlah! Sabar mempertahankan keimanan layaknya kepala dalam satu tubuh. Bila dipenggal, habislah tubuh itu... Kemudian Sayyidina Ali mengangkat suaranya, dan menyampaikan, Ingatlah! Sungguh, tiada iman bagi yang tak memiliki kesabaran”. (as-Shabru wa Tsawâb ’alaihi hal. 24)

 

Jadi, kendatipun sabar memiliki tingkatan, dari yang paling rendah sampai yang tertinggi, namun sejatinya bukan tentang tingkatan. Tetapi soal misi mempertahankan keimanan. Terkait tingkatan sabar, itu hanya indikasi dari tingkat keimanan seseorang.

 

Terakhir, saya akan menutup tulisan singkat ini dengan syair Imam al-Husain bin Abdurrahman tentang sabar yang berbunyi:

 

إِذَا لَمْ تُسَامِحْ فِي الْأُمُورِ تَعَقَّدَتْ ... عَلَيْكَ فَسَامِحْ وَاخْرِجِ الْعُسْرَ بِالْيُسْرِ

فَلَمْ أَرَ أَوْفَى لِلْبَلَاءِ مِنَ التُّقٰى ... وَلَمْ أَرَ لِلْمَكْرُوهِ أَشْفَى مِنَ الصَّبْرِ

 

Artinya, “Bila engkau tak berlapang dada hadapi segala urusan, tentu akan mempersulit dirimu, maka lapangkanlah dadamu dan permudahkanlah setiap kesulitan ... Belum pernah kutemukan hal yang paling komplet hadapi malapetaka selain takwa, belum juga kudapati sesuatu yang paling ampuh obati kebencian selain sabar” (as-Shabru wa Tsawâb ’alaihi hal. 45). Wallahu a’lam bisshawâb.

 

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.