Tasawuf/Akhlak

9 Adab  Orang Miskin menurut Imam al-Ghazali

Kam, 10 September 2020 | 13:30 WIB

9 Adab  Orang Miskin menurut Imam al-Ghazali

Di antara sikap yang mesti diambil orang miskin adalah tidak  menghinakan diri dan tidak bermental miskin.

Menjadi  orang miskin sejatinya tidak tercela dilihat dari sudut pandang Islam selama ia tetap dalam ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menjunjung tinggi akhlak mulia. Artinya kemiskinan seseorang tidak serta merta menjadikannya tercela, malahan ia tetap terpuji, selama ia memiliki tiga hal dasar, yakni: iman, Islam dan ihsan. Iman artinya ia mempercayai Rukun Islam. Islam artinya ia menjalankan Rukun Islam; dan ihsan artinya ia berakhlak mulia. 


Terkait dengan akhlak yang harus dimiliki oleh orang miskin, Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fi al-Din yang terhimpun dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., hal. 438) menjelaskan secara ringkas tentang sembilan adab yang harus dimiliki orang miskin, sebagai berikut: 


آداب الفقير:لزوم القناعة، وكتمان الفاقة، وترك البذالة والتضعضع، وإلقاء الطمع، وإيثار الصيانة ،وإظهار الكفاية لأهل المروءة من أهل الديانة ،وإجلال الأغنياء مع قلة الاستبشار لهم ، وإظهار الكفاية لهم مع الإياس منهم ، وترك الكبر عليهم ، مع نفى التذلل وحفظ القلب عند رؤيتهم، والتمسك بالدين عند مشاهدتهم 


Artinya, “Adab orang miskin: senantiasa bersikap qana’ah, tidak menampakkan diri sebagai orang yang membutuhkan bantuan, tidak berpakaian sedemikian rupa dan mendramatisasi keadaan yang sebenarnya, tidak tamak, suka merawat, menampakkan kecukupan di hadapan orang-orang yang menjaga kehormatan diri dari kalangan ahli agama, menghormati orang-orang kaya tanpa ada maksud menjilat, menampakkan kecukupan di depan orang kaya tanpa bersikap putus asa dari mereka,  tidak bersikap takabur kepada orang kaya, tidak  menghinakan diri dengan tetap manjaga hati serta berpegang teguh pada agama ketika melihat kondisi mereka.”

 

 

Dari kutipan di atas dapat diuraikan sembilan adab orang miskin sebagai berikut:


Pertama, senantiasa bersikap qana’ah. Yang dimaksud qana’ah adalah sikap rela, ikhlas dan puas menerima bagian rezeki dari Allah. Dengan kata lain qana’ah adalah menerima apa yang telah ada di tangan dan mensyukurinya. Namun demikian, sikap qanaah tidak menghalangi ikhtiar yang lebih  baik untuk mendapatkan hasil yang lebih baik di masa depan dengan tidak menyesali hasil yang telah diterima sebelumnya. 


Kedua, tidak menampakkan diri sebagai orang yang membutuhkan bantuan. Artinya ia tidak bermental miskin, yakni dengan sengaja memperlihatkan penampilannya sedemikian rupa untuk menunjukkan kekurangannya agar mendapat bantuan dari siapa saja yang melihatnya. Hal ini menunjukkan tiadanya muru’ah dalam dirinya dan bisa semakin menurunkan harga dirinya. 


Ketiga, tidak berpakaian sedemikian rupa dan mendramatisasi keadaan yang sebenarnya. Artinya ia tidak suka  berpenampilan sedemikian rupa yang jauh lebih buruk dari kondisi yang sebenarnya sehingga menarik belas kasih dan iba dari siapapun yang mengetahuinya. Hal ini menunjukkan tiadanya upaya menjaga harga diri dan lebih mengutamakan santunan sementara keadaannya sendiri tidak separah yang ia tampilkan. 


Keempat, tidak tamak. Artinya tidak membiasakan diri berharap mendapatkan pemberian orang lain. Tetapi ketika ada pihak lain yang memberinya, ia bisa menerima pemberian itu sebagaimana adanya tanpa menuntut lebih, lalu mensyukurinya tanpa mempersoalkan kuantitas maupun kualitasnya. 


Kelima, suka merawat. Artinya suka merawat barang-barang miliknya sehingga bisa awet atau tidak rusak kondisinya. Terhadap barang-barangnya yang rusak, ia segera meperbaikinya agar kerusakan tidak semakin parah sehingga dapat dipakai kembali secara normal. Dengan demikian ia tidak perlu membeli barang-barang baru yang hanya akan menghabiskan uang. Jadi orang miskin diharapkan bisa berhemat dalam pengeluaran keuangannya.


Keenam, menampakkan kecukupan di hadapan orang-orang yang menjaga kehormatan diri dari kalangan ahli agama atau kaum sufi. Artinya ia tidak menghinakan diri dengan menunjukkan kekurangannya di depan orang-orang sufi yang mereka itu justru senantiasa menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-meminta. 


Ketujuh, menampakkan kecukupan di depan orang kaya tanpa bersikap putus asa dari mereka. Artinya meski sedang berada di dekat orang kaya, orang miskin tidak perlu memanfaatkan hal itu sebagai kesempatan berharap dapat belas kasihnya dengan menunjukkan keadaannya yang kurang. Namun demikian ia juga tidak perlu berputus asa mengharapkan bantuannya jika keadaan sudah sangat memaksa seperti kelaparan. 


Kedelapan, tidak bersikap takabur kepada orang kaya. Artinya ia tidak boleh menyombongkan diri di depan orang kaya dengan mempertontonkan sikap yang merendahkan orang kaya tersebut. Orang kaya memang harus dihormati bukan semata-mata karena kekayaannya tetapi karena kebaikan-kebaikannya seperti suka bersedekah, sangat peduli kepada fakir miskin, mewakafkan hartanya untuk fasilitas umum, dan sebagainya.. 


Kesembilan, tidak  menghinakan diri dengan tetap menjaga hati serta berpegang teguh pada agama ketika melihat kondisi mereka. Artinya ia tidak boleh merasa lebih rendah dan berkecil hati di hadapan orang kaya semata-mata karena perbedaan kekayaan, sebaliknya ia seharusnya tetap meyakini bahwa di hadapan Allah semua orang adalah sama dan perbedaan di antara mereka semata-mata didasarkan pada ketakwaan masing-masing. 


Demikianlah sembilan adab orang miskin sebagaimana dinasihatkan Imam al-Ghazali. Kesembilan adab tersebut apabila benar-benar dapat diamalkan oleh mereka yang bernasib kurang beruntung atau miskin, pastilah mereka menjadi orang terpuji karena mampu menjaga kehormatan diri mereka.  Jadi memang orang-orang miskin pun bisa menjadi orang terpuji selama mereka  menjaga akhlak mengamalkan adab-adab mereka dengan baik.

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.