Tasawuf/Akhlak

Inilah Orang Miskin Terpuji dan Orang Miskin Tercela

Sen, 9 Maret 2020 | 13:45 WIB

Inilah Orang Miskin Terpuji dan Orang Miskin Tercela

Islam memandang derajat manusia bukan dari harta benda melainkan ketakwaannya.

Banyak orang memandang rendah orang-orang miskin. Memang demikianlah dunia ini memandang mereka khususnya dalam masyarakat sekuler yang kapitalistik. Hal ini berbeda dengan agama yang memandang mereka tidak berdasarkan seberapa banyak mereka memiliki harta, tetapi seberapa kuat spiritualitas dan ketakwaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya berjudul Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, (Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 27-28 ) membagi orang-orang miskin ke dalam dua kelompok, yakni orang miskin terpuji dan orang miskin tercela.

 

Pertanyaannya, seperti apakah orang miskin terpuji itu?

 

 

Di bawah ini adalah jawaban Sayyid Abdullah al-Haddad sebagai berikut:

 

وأما من طلب الدنيا ليصيب منها مقدار حاجته أو فوق مقدار حاجته فلم يتيسر له ذالك لأنه لم يُقَسم له من الدنيا إلا دون مقدار حاجته، فذالك هو الفقير وهو غير معدود في الزاهدين ولكنه إن أخذ في طلبه للدنيا بالورع والتقوى ثم صَبر ورضي بما قسم له منها فهو الفقير الصابر. وفقره هوالفقير المحمود.

 

Artinya, “Orang yang mencari harta dunia sekadar untuk memenuhi kebutuhannya atau lebih dari itu tetapi tidak berhasil karena bagian dari dunianya yang telah ditentukan di bawah kadar kebutuhannya, maka orang semacam ini disebut fakir (miskin). Orang seperti ini tidak termasuk orang-orang zuhud. Namun jika ia dalam usahanya itu tetap bersikap wara’ dan takwa, kemudian bersabar dan ridha dengan bagian yang telah ditentukan baginya, maka orang seperti ini adalah fakir (miskin) yang terpuji.”

 

Dari kutipan di atas dapat diperjelas bahwa orang miskin terpuji adalah mereka yang walaupun tidak memiliki harta yang cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, tetapi mereka selalu bersikap wara’, bertakwa, bersabar dan ridha dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah baginya.

 

Yang dimaksud wara’ adalah bersikap hat-hati dalam semua urusan agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran atau kemaksiatan. Contohnya adalah dalam mencari rezeki tidak asal mendapatkannya tetapi mempertimbangkan dengan hati-hati tentang hukumnya apakah halal ataukah haram. Orang miskin yang wara’ menolak rezeki yang tidak halal alias haram. Bahkan rezeki yang syubhat pun ia tidak mau agar tidak ada barang-barang haram yang masuk dan mengalir ke dalam darahnya.

 

Selain wara’, orang miskin terpuji juga memiliki ketakwaan yang kuat. Yang dimaksud takwa adalah menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Keadaan ekonominya yang sulit tidak mempengaruhinya dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan rasul-Nya seperti beriman tauhid, shalat lima waktu dan shalat-shalat sunnah, puasa Ramadhan dan puasa-puasa sunnah, berbakti kepada kedua orang tua, menyayangi yang kecil dan menghormati yang besar, dan sebagainya.

 

Tidak hanya itu, orang miskin terpuji juga selalu bersabar. Yang dimaksud sabar adalah menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah. Meski tidak semua kebutuhan terpenuhi, orang miskin yang sabar bisa menahan amarah dan tidak menunjukkan kegelisahan dan kecemasan yang mengganggu jiwanya. Jika keadaan memaksa ada kebutuhan yang harus dipenuhi seperti biaya sekolah anak-anak, ia tetap mengusahakannya dengan gigih. Jika terpaksa harus berhutang kesana kemari, ia tetap sabar.

 

Sedang yang dimaksud dengan ridha adalah mencari apa yang membuat Allah ridha. Allah memberikan ridha-Nya kepada hamba-Nya yang ridha menerima cobaan dari-Nya. Kemiskinan adalah cobaan. Maka barangsiapa hidupnya dicoba dengan kemiskinan sedang ia ridha dengan cobaan itu, orang tersebut mendapat ridha-Nya.

 

Jadi orang miskin sebagaimana digambarkan di atas adalah orang miskin terpuji. Orang miskin seperti inilah yang akan menjadi kawan berbincang Allah di hari Kiamat kelak. Mereka akan masuk surga jauh mendahului orang-orang kaya dengan jarak waktu 500 tahun. Hal ini sebagaimana dinyatakan di dalam dua hadits Rasulullah berikut ini:

 

الفقراء الصبر هم جلساء الله تعالى يوم القيامة

 

Artinya, “Kaum fakir-miskin yang selalu sabar akan dijadikan Allah kawan berbincang-Nya di hari Kiamat.” (HR. Malik dan Al-Qusyairi).

 

يدخل فقراء المؤمنين الجنة قبل أغنيائهم بنصف يوم وهو خمسمائة عام

 

Artinya, Orang-orang fakir-miskin dari kalangan mukmin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan selisih waktu setengah hari, yang itu sama dengan 500 tahun” (HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

 

 

Pertanyaan berikutnya, seperti apakah orang miskin tercela itu? Sayyid Abdullah al-Haddad memberikan jawaban sebagai berikut:

 

فاما من أضاع التقوى والورع في طلبه للدنيا وقصر فيما يجب عليه من حق الله تعالى، ثم لم يصبر ولم يرض بما قسم الله له، بل جَزِعَ وتبرَّم وتسخَّط، وصار يغبط أهل الديا على تمتعهم بها وتلذذهم فيها، فهذا هو الفقير المذموم.

 

Artinya, “Adapun orang yang meninggalkan takwa dan wara’ dalam usahanya mencari harta dunia, melalaikan kewajibannya terhadap Allah, kemudian tidak bersabar dan tidak ridha atas bagian yang diperuntukkan baginya oleh Allah. Malahan ia selalu cemas, mengeluh dan marah serta merasa iri terhadap ahli dunia atas kenikmatan-kenikmatan yang mereka terima. Seperti inilah fakir (miskin) tercela.”

 

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa orang miskin tercela adalah mereka yang berkebalikan dengan orang miskin terpuji. Mereka meninggalkan ketakwaan dan tidak wara’ dalam usahanya mencari rezeki. Mereka tidak peduli apakah harta yang didapat halal atau haram. Hal yang terpenting bagi mereka adalah segera terpenuhi kebutuhannya tanpa mempertimbangkan hukum dalam mencari rezeki.

 

Selain itu, mereka juga lalai akan kewajiban-kewajibannya dari Allah subhanahu wa ta’ala seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan sebagainya. Larangan-larangan-Nya juga mereka langgar seperti menipu dan mencuri. Terhadap cobaan dari Allah berupa kekurangan harta dunia mereka tidak sabar dan tidak rela menerimanya. Mereka menganggap Allah tidak adil dan selalu melakukan protes dalam dirinya.

 

Keresahan dan amarah menyelimuti mereka setiap kali mengalami kesulitan ekonomi. Terhadap orang-orang sukses duniawi yang bergelimang harta mereka menunjukkan rasa irinya baik secara terang-terangan ataupun tersembunyi. Jadi mereka banyak melakukan dosa baik secara lahiriah maupun batiniah disebabkan karena ketidaksabarannya menerima ujian-Nya berupa kemiskinan. Yang paling parah jika mereka kemudian berpindah agama atas kemauan sendiri demi perbaikan taraf ekonomi atau karena ada pihak yang mendorongnya.

 

Orang miskin seperti itulah yang disinyalir Rasulullah dalam haditsnya sebagai orang yang dekat dengan kekufuran sebagai barikut:

 

كاد الفقر ان يكون كفرا

 

Artinya, “Kemiskinan hampir-hampir mendekatkan kepada kekufuran.” (HR. Abu Nu’aim)

 

Singkatnya, kemiskinan yang dialami seseorang bisa mendekatkan kepada Allah atau malah menjauhkan dari-Nya. Hal itu sangat bergantung dari cara bagaimana orang miskin memandang kemiskinannya, apakah sebagai cobaan ataukah ketidakadilan. Cara pandang itu akan berpengaruh terhadap sikap mereka apakah memilih wara’, bertakwa, bersabar dan ridha. Orang miskin terpuji akan memilih sikap positif seperti itu. Sedang orang miskin tercela memilih sikap sebaliknya.

 

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulam (UNU) Surakarta.