Syariah

Kolam Berbau Bangkai Ikan, Apakah Airnya Suci?

Jum, 6 September 2019 | 12:30 WIB

Kolam Berbau Bangkai Ikan, Apakah Airnya Suci?

Status suci tidak selalu berarti pula dapat digunakan untuk bersuci.

Rasulullah ﷺ menyebutkan dua hewan yang walaupun sudah menjadi bangkai tetap halal dimakan yaitu ikan dan belalang. Belalang hidup di darat, sedangkan ikan di air. Sebagian orang ada yang merawat ikan di tambak, keramba, akuarium, kolam taman, kolah wudhu, dan lain sebagainya. Para pemelihara ikan, ada yang murni bertujuan komersial, hobi, dan ada pula yang mempunyai maksud tertentu misalnya sebagai pemangsa jentik-jentik nyamuk yang biasa keluar di kolam-kolam wudhu. 

Sebagaimana makhluk hidup lain yang bisa mati kapan saja, ikan juga demikian. Apabila ikan mati dalam kolam wudhu, apakah semua air di dalam kolam ikut najis? 
Jika ikan mati belum sampai mengeluarkan bau busuk maka air tetap dihukumi suci sekaligus menyucikan karena kematian ikan tidak mengubah statusnya menjadi bangkai najis. Maksudnya, bangkai ikan tetap suci dan halal. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ pada saat menjelaskan tentang laut:
 
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
 
Artinya, “Laut adalah suci menyucikan airnya. Halal bangkainya” (HR Abu Daud, At-Tirmidzi).
 
Hadits di atas memberikan pemahaman bahwa karena dzatiyah (fisik) bangkai ikan berstatus suci, maka kedudukannya sama dengan gayung, sendok, ember, dan piranti-piranti suci lain yang apabila masuk ke dalam air baik sedikit atau banyak, asalkan tidak mengubah tiga ciri-ciri dasar air, maka tidak mempengaruhi keabsahan air tersebut dipakai untuk bersuci. 
 
Bagaimana apabila ikan yang ditemukan dalam kolam tersebut sudah mengeluarkan bau busuk?
 
Yang jelas, bau busuk ikan sama sekali tak mengubah status kesucian ikan itu sendiri. Bangkai ikan tetap tidak najis walau aromanya mungkin mengganggu siapa saja. Namun yang menjadi masalah, bagaimana dengan status air kolam tempat bangkai ikan berbau menyengat itu? Apakah juga suci?
 
Pertama, jika bau busuk bersumber dari tubuh bangkai ikan saja, sedangkan airnya masih tetap netral, atau air berubah sedikit saja, maka air kolam dihukumi suci sekaligus menyucikan. Suci dalam arti bisa dibuat untuk konsumsi, menyucikan dalam arti bisa untuk menghilangkan najis dan hadats. Hal ini dikarenakan antara bangkai ikan dengan air tidak larut menjadi satu, masing-masing bisa dipisahkan. 
 
Dalam fiqih, benda yang bisa larut (mukhâlith) dan benda yang tak bisa larut (mujâwir) memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Misalnya, pewarna kain dan bangkai ikan memiliki dampak berbeda, meski sama-sama masuk kolam lalu mengubah karakter air. Untuk kasus pertama, air kolam tidak dapat menyucikan walaupun mungkin air tetap dihukumi suci. Sedangkan untuk kasus kedua, air kolam tetap suci sekaligus menyucikan karena air dan bangkai ikan sejatinya dua entitas yang terpisah. Bangkai ikan yang busuk itu bisa diangkat dan dipisahkan dari air kolam.
 
وَضُبِطَ الْمُجَاوِرُ بِمَا يُمْكِنُ فَصْلُهُ وَالْمُخَالِطُ بِمَا لَا يُمْكِنُ فَصْلُهُ
 
Artinya: “Batasan tidak larut (sekadar berdampingan) adalah bila sesuatu bisa dipisahkan, sedangkan larut (menyatu) adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dipisahkan” (Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad al-Qalyubi & Syihabuddin Ahmad al-Burullusi al-Mishri, Syarah Al-Mahallimatan Hasyiyata Al-Qalyubi wa Umairah, [Darul Fikr: Beirut, 1995], juz 1, hal. 22).
 
Kedua, bila bangkai busuk kolam itu bersumber dari cairan busuk yang keluar dari perut ikan, maka hukum air adalah suci tapi tidak menyucikan. Sekali lagi, status suci tidak selalu berarti pula dapat digunakan untuk bersuci. Dalam kasus ini, air kolam tersebut 
tidak najis meskipun tidak bisa dibuat untuk wudhu, mandi wajib, maupun menghilangkan najis.
 
(فَرْعٌ) اسْتِطْرَادِيٌّ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ بِئْرٍ تَغَيَّرَ مَاؤُهَا وَلَمْ يُعْلَمْ لِتَغَيُّرِهِ سَبَبٌ ثُمَّ فُتِّشَ فِيهَا فَوُجِدَ فِيهَا سَمَكَةٌ مَيِّتَةٌ وَأُحِيلَ التَّغَيُّرُ عَلَيْهَا فَهَلْ الْمَاءُ طَاهِرٌ أَوْ مُتَنَجِّسٌ؟ وَالْجَوَابُ أَنَّ الظَّاهِرَ بَلْ الْمُتَعَيِّنُ الطَّهَارَةُ؛ لِأَنَّ مَيْتَةَ السَّمَكِ طَاهِرَةٌ وَالْمُتَغَيِّرُ بِالطَّاهِرِ لَا يَتَنَجَّسُ ثُمَّ إنْ لَمْ يَنْفَصِلْ مِنْهَا أَجْزَاءٌ تُخَالِطُ الْمَاءَ وَتُغَيِّرُهُ فَهُوَ طَهُورٌ؛ لِأَنَّ تَغَيُّرَهُ بِمُجَاوِرٍ وَإِلَّا فَغَيْرُ طَهُورٍ إنْ كَثُرَ التَّغَيُّرُ بِحَيْثُ يَمْنَعُ إطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ اهـ ع ش عَلَى م ر 
 
Artinya: “Ada sebuah pertanyaan tentang sumur yang berubah airnya dan tidak diketahui faktor penyebab perubahannya, kemudian diteliti dan ditemukan bangkai ikan. Perubahan air diarahkan karena ikan tersebut. Apakah airnya dihukumi tetap suci ataukah terkena najis? Jawabnya, secara lahiriah bahkan yang jelas hukumnya adalah suci sebab ikan itu hukumnya suci sedangkan air yang mengalami perubahan karena benda yang suci hukummnya tidak menjadi najis. Hal tersebut kalau tidak ada anggota tubuh ikan yang lepas kemudian menyatu dengan air lalu mengubahnya, maka air tetap suci menyucikan karena perubahannya disebabkan oleh benda yang tak larut. Kalau tidak demikian, maka hukumnya suci tapi tidak menyucikan apabila memang perubahannya cukup banyak yang dapat mengubah netralitas nama air. Demikian kutipan dari Ali Syibramalisi atas Imam Ramli.” (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, Darul Fikr, [Darul Fikr], juz 5, hal. 269)
 
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, ikan yang mati dalam kolam tidak menjadikan air kolam najis. Apabila ada bau menyengat dari tubuh ikan saja, tapi airnya masih normal sebagaimana sebelumnya, tidak ikut tercampur baunya, maka air dihukumi suci menyucikan. Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang