Syariah

Alhamdulillah dan Hakikat Pujian kepada Manusia

Jum, 23 Maret 2018 | 11:30 WIB

Alhamdulillah dan Hakikat Pujian kepada Manusia

Ilustrasi (Pixabay)

Setiap Muslim mengetahui dan pernah membaca kalimat "alhamdulillah [الحمد لله] ". Di dunia pesantren kalimat ini bermakna segala pujian itu dimiliki oleh Allah, atau yang berhak dipuji hanya Allah atau segala pujian itu khusus bagi-Nya.

Dilihat dari perspektif bahasa Arab, asal kalimat "alhamdulillah [الحمد لله] " adalah " حمدت حمدا لله (hamidtu hamdan lillahi [Aku telah memuji dengan suatu pujian untuk Allah])".

Selanjutnya dicukupkan hanya dengan menyebut kata benda dasar ( المصدر ) tanpa menyebutkan kata kerjanya ( الفعل ). Kata kerja tersebut yakni حمدت dibuang, kemudian ditempatkanlah kata benda dasar menjadi "hamdan lillahi حمدا لله" dan selanjutnya dimasukkan huruf alif dan lam ( أل ) padanya sehingga kalimat tersebut tersusun menjadi "alhamdulillah [الحمد لله]" untuk menunjukkan makna keberlangsungan selamanya ( الدوام ).

Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa keberlangsungan ( الدوام ) dan kontinuitas ( الإستمرار ) pujian itu diperoleh dari peralihan al-jumlah al-fi'liyyah kepada al-jumlah al-ismiyyah, karena pernyataan " زيد قائم (Zaid itu orang yang berdiri)" tidaklah menunjukkan kecuali "ثبوت القيام لزيد [penetapan berdiri bagi Zaid] ", sedangkan keberlangsungan dan kontinuitasnya dapat diketahui hanya dari aspek peralihan dari al-jumlah al-fi'liyyah kepada al-jumlah al-ismiyyah.

Pujian itu khusus bagi Allah ta'ala sebagaimana diperoleh dari susunan kalimatnya yang sempurna, baik menjadikan huruf "lam al-ta'rif [لام التعريف]" dalam kata "al-hamdu [الحمد]" yang berfungsi lil-istighraq [للإستغراق] sebagaimana pendapat Jumhur al-'ulama, dan ini cukup jelas, atau berfungsi li al-jinsi [للجنس] sebagaimana dikemukakan oleh al-Zamakhsyari karena huruf lam [لام] pada kata lillahi [لله] berfungsi li al-ikhtishash [للإختصاص ], karena memang senyatanya bahwa keseluruhan pujian itu khusus bagi Allah saja dan karena tiada suatu kebaikan pun kecuali Dia sajalah penguasanya.

Oleh karena itu, hendaklah lidah dan sikap kita senantiasa memuji Allah dengan sepenuh rasa mengagungkan Dia Sang Pemberi Nikmat tak terhingga banyaknya, baik kepada yang orang yang memberikan pujian kepada-Nya atau tidak. Karena segala pujian itu pada hakikatnya adalah khusus bagi-Nya dan hanya menjadi milik-Nya semata, maka saat kita mendapatkan pujian hendaklah pujian itu dikembalikan kepada pemilik pujian yang sesungguhnya, yaitu Allah ta'ala, dengan mengucapkan alhamdulillah.

Bila kita mampu memahami hakikat tersebut dan tidak enggan mengucapkan alhamdulillah niscaya kita tidak selalu mengharap atau tergila-gila pada pujian, tidak menjadi besar kepala dan lupa diri karena pujian dan kita akan menunaikan dan menuntaskan tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita dengan penuh kesadaran diri, bukan bekerja sekedarnya demi berharap pujian makhluk-Nya.

Namun demikian, janganlah kita enggan dan berat untuk memuji segala ide, ucapan dan perbuatan terpuji yang dilakukan oleh siapa saja, karena barangkali si penerima pujian itu menyadari sepenuh hatinya bahwa semua itu terjadi atas izin-Nya lalu ia mengucapkan alhamdulillah yang juga menjadi sebab mengalirnya pahala baginya dan bagi kita.

Sungguh mengherankan, betapa kini kita tidak lagi saling memuji dan tiada merasa enggan melontarkan caci maki.

KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriyah PBNU

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua