Syariah

Tahsin Lafal Takbir

Kam, 30 Juli 2020 | 15:30 WIB

Tahsin Lafal Takbir

50 kali dalam sehari semalam, lafal takbir dikumandangkan dalam adzan dan iqamah

Lafal takbir merupakan seruan atas kebesaran Allah yang biasa diucapkan umat Islam. Lafal takbir disebutkan dalam adzan sebanyak 6 kali dan iqamah 4 kali. Ini artinya 50 kali dalam sehari semalam, lafal takbir dikumandangkan dalam adzan dan iqamah. Minimal 5 kali pada setiap takbiratu al-ihram, belum lagi pada setiap naik dan turun dalam rukun shalat lima waktu.

 

Selain dibaca dalam ibadah shalat, lafal takbir juga disunnahkan pada setiap hari raya ‘Idul Fitri dan Idul Adha. Berapa juta kali lafal takbir ini dikumandangkan dan didengar oleh kaum muslim, mulai dari hitungan hari, minggu, bulan, hingga hitungan tahun.


Lafal takbir terdiri dari dua kata yaitu lafal Allah dan Akbar. Keduanya merupakan hubungan antara sifat dan yang disifati, dalam hal ini adalah Allah yang memiliki sifat Maha Agung. Lafal yang sangat ringkas untuk ditulis dan sangat singkat diucapkan ini ternyata tidak bisa dianggap mudah dalam melafalkannya.  Salah pengucapan satu huruf saja bisa-bisa merubah arti kemahaagungan Allah, apalagi mengurangi atau menambahnya.


Merujuk pada rumusan syekh Salim Bin Sumair dalam karyanya kitab Safinah Fashl Syurut at-Takbiratu al-Ihram syarat takbir diantaranya:


أن تكون بلفظ الجلالة ألترتيب بين اللفظين أن لا يمد همزة الجلالة وعدم مد باء أكبر وأن لا يشدد الباء  وأن لايزيد واوا ساكنة أو متحركة بين الكلمتين وأن لا يزيد واوا قبل الجلالة وأن لايقف بين كلمتي التكبير وقفة طويلة ولاقصير وأن لا يخل بحرف من حروفها

 
Lafal takbir hendaknya menggunakan lafdzhu al-Jalalah (lafal Allah), kedua lafal (Allah dan akbar) disebutkan secara berurutan, tidak memanjangkan hamzah lafdzhu al-Jalalah, tidak memanjangkan huruf ba lafal akbar, tidak menasydid huruf ba, tidak menambahkan waw sukun atau berharakat di antara dua lafal (Allah dan akbar), tidak menambahkan huruf waw sebelum lafdzhu al-Jalalah, tidak berhenti di antara lafal takbir baik dalam waktu yang lama maupun sebentar, dan tidak merusak huruf yang terdapat dalam lafal takbir. (Syekh Salim Bin Sumair, Safinah. Surabaya: al-Bayan, hal. 57).


Dari penjelasan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut;
Pertama, syarat lafal takbir adalah diawali lafdzhu al-Jalalah (lafal Allah). Imam Nawawi dalam syarah Kasyifatu asy-Syaja menjelaskan, tidak sah lafal takbir yang diawali selain lafal Allah. Beliau mencontohkan dengan lafal ar-Rahman. Sehingga tidak disebut takbir jika diucapkan ar-Rahmanu Akbar. Karena lafal ar-Rahman bukan termasuk lafdzhu al-Jalalah. Demikian juga lafal-lafal lain yang serupa dengan ar-Rahman, seperti ar-Rahim, al-Ghafur, as-Sami’ dan seterusnya.


Kedua, lafal Allah dan akbar disebutkan secara berurutan. Tidak sah diucapkan Akbar Allah. kecuali menambahkan Akbar setelah lafal Allah dengan niat menjadikan lafal Allah menjadi awal takbir,  (Akbar Allah Akbar), maka yang demikian ini menjadi sah, tambah syekh Nawawi.


Ketiga, tidak memanjangkan hamzah lafdzhu al-Jalalah (Aallahu Akbar). Syekh nawawi membolehkan membuang hamzah lafdzhu al-Jalalah dengan syarat bersambung dengan lafal sebelumnya, seperti imamallahu akbar, atau ma’mumallahu akbar. Lafal takbir dalam penjelasan ini digabung dengan akhir lafal niat shalat, baik ketika menjadi imam maupun menjadi makmum. Dan hal ini termasuk khilaf al-aula (keluar dari amaliah yang lebih utama). Yang dikehendaki dalam penjelasan ini adalah melafalkan takbir dengan dua kata Allahu Akbar dengan sempurna, tanpa menghilangkan hamzah washal pada lafdzhu al-Jalalah.


Keempat, tidak memanjangkan huruf ba lafal akbar (ألله أكبار : Allahu Akbaar). Tambahan alif pada huruf ba lafal akbar dapat merusak arti Maha Agungnya Allah. Kata akbaar dengan memanjangkan huruf ba berarti nama jenis gendang yang berukuran besar. Berbeda pula jika dibaca ikbaar dengan memanjangkan ba dan diawali kasrah, merupakan salah satu nama dari haidl. Oleh karenanya tidak boleh membaca panjang huruf ba lafal akbar pada takbir.


Kelima, tidak menasydid huruf ba (ألله أكبّر: Allahu Akbbar). Dalam pembahasan takbiratu al-ihram, syekh Nawawi menghukumi tidak sah lafal takbir ditambahkan tasydid pada huruf ba lafal akbar, artinya tidak sah pula shalatnya.


Keenam, tidak menambahkan waw sukun atau berharakat di antara dua lafal (Allah dan akbar), (أللهوْ أكبر: allahuu akbar atau أللهوَ أكبر: allahuwa akbar).


Ketujuh, tidak menambahkan huruf waw sebelum lafdzhu al-Jalalah (وألله أكبر: wallahu akbar). Tidak sah menambahkan huruf waw di awal takbir karena tidak di-athaf-kan (dihubungkan) dengan lafal sebelumnya. Karena waw merupakan salah satu huruf athaf, atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata sambung.


Kedelapan, tidak berhenti di antara lafal takbir baik dalam waktu yang lama maupun sebentar. Seperti mengucapkan lafal Allahu kemudian berhenti, dan baru melanjutkan lafal akbar. Demikian juga tidak sah menambahkan lafal-lafal lain yang lebih dari tiga kata seperti Allahu al-Jalilu, al-‘Adzhimu, al-Halimu Akbar. Syekh Nawawi membolehkan jika hanya menambahkan al-ta’rif (alif lam) Allahu al-Akbar.


Kesembilan, tidak merusak huruf yang terdapat dalam lafal takbir seperti mengganti hamzah pada lafal akbar dengan waw (ألله وكبر: Allahu Wakbar).


Demikianlah beberapa catatan penting terkait lafal takbir, semoga dapat menjadi pengingat bagi siapa saja yang membaca maupun yang mendengarkan lafal takbir. Dengan demikian akan mendapatkan kesempurnaan takbir dan berbuah pahala yang sempurna pula.


Jaenuri, Dosen Faklutas Agama Islam UNU Surakarta