Kisah Khaulah binti Tsa'labah: Perempuan yang Curhatnya Dijawab Langsung Melalui Ayat Al-Qur'an
Selasa, 22 Juli 2025 | 12:00 WIB
Kisah Khaulah binti Tsa’labah merupakan salah satu peristiwa penting yang melatarbelakangi turunnya Surat al-Mujadalah dalam Al-Qur’an. Kisah ini menarik untuk direnungkan, khususnya oleh kaum muslimah, karena sosok Khaulah dikenal sebagai perempuan yang sangat dekat dengan Allah. Saat menghadapi permasalahan rumah tangga dengan suaminya, ia memilih mencurahkan isi hatinya hanya kepada Allah melalui ibadah dan doa.
Muhammad bin Jarir At-Tabari dalam kitabnya Jami’ul Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an (Kairo: Dar Hajar, 2001, jilid XXII, hal. 446) mencatat beberapa versi nama dan nasab Khaulah berdasarkan berbagai riwayat, yaitu Khuwailah binti Tsa’labah, Khuwailah binti Khuwailid, Khuwalihah binti Ash-Shamit, serta Khuwailah binti Ad-Dulaij. Sedangkan suaminya bernama Aus bin Ash-Shamit. Terlepas dari perbedaan nama yang disebutkan Ibnu Jarir tersebut, kisah Khaulah tidak bisa dilepaskan dari ayat pertama surat al-Mujadilah berikut ini:
قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِۖ وَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ ١
qad sami‘allâhu qaulallatî tujâdiluka fî zaujihâ wa tasytakî ilallâhi wallâhu yasma‘u taḫâwurakumâ, innallâha samî‘um bashîr
Artinya, "Sungguh, Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Nabi Muhammad) tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah, padahal Allah mendengar percakapan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitabnya, Mafatihul Ghaib (Beirut: Dar Ihya Turats Arabi, 2009, vol. 29, hal. 477), menjelaskan kisah di balik turunnya ayat pertama Surat Al-Mujadilah ini secara rinci sebagai berikut:
Diriwayatkan bahwa Khaulah binti Tsa'labah adalah seorang wanita cantik dan menarik. Suatu ketika, suaminya, Aus bin Ash-Shamit, saudara dari Ubadah bin Ash-Shamit, melihat Khaulah dalam kondisi sedang menunaikan shalat. Setelah Khaulah selesai shalat, Aus mengajaknya berhubungan intim. Namun Khaulah menolak, hingga membuat Aus marah. Dalam kemarahannya yang tidak terkendali, Aus pun secara ceroboh menjatuhkan zhihar kepada istrinya, yaitu menyamakan istrinya dengan ibunya sendiri.
Menyadari kesalahan suaminya, Khaulah kemudian menemui Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, Aus menikahiku ketika aku masih muda dan menarik. Kini aku sudah dewasa, anak-anakku pun sudah banyak, namun dia menyamakanku dengan ibunya (zhihar). Anak-anakku masih kecil-kecil; jika kuberikan mereka kepadanya, maka mereka akan terlantar, namun jika bersamaku, mereka akan kelaparan.”
Terkait masalah ini, ada dua versi riwayat tentang jawaban Rasulullah SAW. Pertama, Rasulullah bersabda, “Aku tidak memiliki solusi untuk masalahmu.” Dalam riwayat kedua, Rasulullah mengatakan kepada Khaulah, “Kamu haram baginya.”
Khaulah menimpali, “Wahai Rasulullah, dia tidak menceraikan aku secara talak. Dia adalah ayah dari anak-anakku, dan aku sangat mencintai mereka.”
Setiap kali Rasulullah menjawab, “Kamu haram baginya,” Khaulah pun semakin merintih dan menangis, sambil terus mengadukan masalahnya hanya kepada Allah. Melihat kondisi Khaulah yang penuh kesedihan dan harapan itu, wajah Rasulullah pun berubah masam. Tak lama kemudian, turunlah ayat pertama dari Surat Al-Mujadalah sebagai jawaban dari langit atas pengaduannya.
Setelah ayat tersebut turun, Rasulullah memanggil Aus bin Ash-Shamit dan bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu melakukan hal tersebut?”
Aus menjawab, “Godaan setan, wahai Rasulullah. Apakah ada dispensasi bagiku?”
Rasulullah menjawab, “Ya,” kemudian beliau membacakan empat ayat pertama Surat Al-Mujadalah kepadanya.
Selanjutnya Rasulullah bertanya kepada Aus, “Apakah kamu sanggup memerdekakan seorang budak?”
Aus menjawab, “Demi Allah, aku tidak sanggup.”
Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?”
Aus menjawab lagi, “Tidak, demi Allah. Jika aku tidak makan sekali atau dua kali saja dalam sehari, pandanganku akan kabur dan aku merasa hampir meninggal.”
Rasulullah kembali bertanya, “Apakah kamu mampu memberi makan 60 orang miskin?”
Aus berkata, “Tidak, wahai Rasulullah, kecuali jika engkau membantuku bersedekah.”
Rasulullah lalu membantu Aus dengan memberinya 15 sha’ makanan pokok. Aus pun menambahkan 15 sha’ miliknya sendiri, lalu makanan tersebut ia sedekahkan kepada 60 orang miskin.
Kisah ini memperlihatkan bagaimana Islam datang memberikan dispensasi hukum atas zihar, yang pada masa Jahiliyah dianggap sebagai talak (perceraian). Islam mengubah dzihar menjadi suatu pelanggaran dalam rumah tangga yang dikenakan kafarat (tebusan atau denda tertentu), tanpa memutuskan ikatan pernikahan yang sudah terjalin.
Selain itu, kisah ini juga mengandung pesan penting bagi kaum muslim, bahwa ketika menghadapi konflik dalam rumah tangga, sebaiknya seseorang mencurahkan isi hati dan keluh kesahnya kepada Allah, bukan kepada orang lain, bahkan kepada orang tua sekalipun. Sebab, terkadang curhat kepada orang lain justru memperkeruh suasana dan memperbesar konflik karena adanya keberpihakan tertentu.
Namun, dalam kondisi tertentu, seperti terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun emosional, diperlukan langkah tambahan berupa mediasi dan advokasi melalui lembaga atau tenaga profesional. Upaya ini penting dilakukan demi menjaga keselamatan diri dan keluarga, serta sebagai bentuk ikhtiar yang bertanggung jawab di tengah kompleksitas persoalan rumah tangga.
Melalui kisah ini, umat Islam juga diajarkan agar tidak gegabah atau tergesa-gesa menceraikan pasangan hidupnya. Di satu sisi, perceraian yang dilakukan secara impulsif bisa menyebabkan penyesalan mendalam, sedangkan di sisi lain, anak-anaklah yang paling merasakan dampaknya, baik secara emosional, pendidikan, maupun terpenuhinya kebutuhan hidup mereka.
Ustadz Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim LBM MWCNU Tanggulangin dan Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo.