Isu judi online kian meresahkan pasca bergulirnya kebijakan bansos untuk korban yang terdampak dari pelaku yang kebanyakan adalah ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Kebijakan ini dinilai kontroversial oleh masyarakat sebab membuka peluang meningkatnya judi online lantaran ada pihak yang seolah menjamin keluarga pelaku apabila kalah, yaitu pemerintah.
Judi online mengandung banyak risiko negatif, terlebih setelah kecanduan. Kecanduan judi online dapat membuat seseorang melakukan berbagai tindakan ekstrem untuk mendapatkan uang guna berjudi, seperti menjual barang berharga, mencuri, menipu, bahkan melakukan tindakan kriminal.
Selain itu, kecanduan ini berdampak pada kondisi psikologis, menyebabkan peningkatan emosi dan sikap temperamental. Akibatnya, kecanduan judi dapat mengarah pada kemiskinan, kemalasan, konflik keluarga, dan kekerasan dalam rumah tangga (Tondi Amos Situmeang, dkk, Tinjauan Hukum Tentang Pengaruh Judi Online Terhadap Perceraian, [INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, 2023], halaman 1).
Judi sendiri sudah didapati ragam bentuknya di setiap masa. Pada masa Nabi saw, beberapa orang memainkan dadu dengan tujuan mengundi nasib, beliau pun akhirnya melarang kebiasaan tersebut. Hal ini sebagaimana tertera dalam riwayat Ibnu Majah:
مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Artinya, “Siapa pun yang bermain dadu, maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR Ibnu Majah)
Pada faktanya, meski jauh-jauh hari Rasulullah saw telah melarang bermain dadu untuk berjudi, tradisi ini tidak pernah hilang dari masa ke masa hingga saat ini. Sehingga dapat disebut bahwa judi, miras, hingga perzinaan seolah tidak dapat dihapuskan dari kehidupan manusia, namun upaya meminimalisasi tetap harus disuarakan sehingga efek negatifnya tidak menyebar.
Salah satu upaya Rasulullah saw mencegah praktik judi di tengah masyarakat adalah dengan menyampaikan pesan Allah bahwa perjudian itu haram karena membawa banyak efek negatif. Firman Allah mengenai judi dapat ditemukan dalam surat Al-Maidah ayat 91:
اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
Artinya, “Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kamu dari mengingat Allah dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS Al-Maidah: 91).
Selain itu, Rasulullah saw juga berupaya meredam segala macam bentuk tindak perjudian, hingga orang yang hanya berkata kepada temannya, “Ayo main judi denganku!” dianggap telah berkata-kata kotor dan perlu bertobat. Keterangan ini dapat kita temukan dalam Shahih Muslim:
وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
Artinya, “Siapa pun yang mengajak temannya berjudi dengan mengatakan 'Mari berjudi', maka hendaknya dia bersedekah.” (HR Muslim).
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan alasan perkataan yang mengandung unsur judi dilarang adalah karena judi termasuk dalam kategori hiburan yang melalaikan dan cenderung mengandung kemaksiatan. Sehingga siapa pun yang mengajak orang lain melakukannya, otomatis mengajak kepada kemaksiatan. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t.], jilid III, halaman 35).
Penalaran Ibnu Hajar terhadap hadits di atas dapat dibenarkan. Pasalnya Rasulullah saw di masanya berjuang menyampaikan wahyu dari Allah untuk melarang secara bertahap, hingga akhirnya murni diharamkan.
Berdasarkan hadits di atas juga, An-Nawawi dalam Al-Adzkar menyebut bahwa perkataan atau perbuatan yang mengandung dosa mewajibkan seseorang yang melakukan atau mengucapnya untuk segera bertobat. (An-Nawawi, Al-Adzkar, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid II, hal. 313).
Al-Qurthubi menjelaskan, tidak ada ketentuan jumlah sedekah berdasarkan hadits di atas. Hanya saja, yang terpenting sedekah tersebut dapat menolong orang yang membutuhkan. Berbeda dengan Al-Qurthubi, Al-Khithabi berpendapat sedekah yang diberikan harus sejumlah uang judi yang akan dikeluarkan.
Imam An-Nawawi dalam hal ini lebih condong kepada pendapat Al-Qurthubi, yaitu menyepakati tidak adanya ketentuan sedekah akibat mengeluarkan perkataan yang mengandung ajakan berjudi. Sehingga hikmah di balik sedekah ini menurut Ibnu Ruslan, alih-alih memakan harta yang dihasilkan dari jalan haram, si pelaku akhirnya mengalokasikan hartanya kepada perkara yang sunnah dan berpahala yaitu bersedekah. (Ibnu Ruslan, Syarh Sunan Abi Dawud, [Mesir: Darul Falah, 2016], jilid XIII, halaman 577).
Sedekah yang disebutkan oleh Rasulullah saw untuk orang yang mengucap ajakan berjudi kepada temannya merupakan bentuk pertobatan secara langsung untuk menghapus kekeliruan yang keluar dari lisannya.
Tampak bahwa Rasulullah saw mencoba meredupkan, atau bahkan menghapuskan tradisi ini dalam memori orang-orang di masa itu, sehingga mengucapnya saja dalam bentuk ajakan berimplikasi pada anjuran untuk mengeluarkan sedekah.
Dengan mengeluarkan sedekah, harapannya orang tersebut menanggalkan niatnya untuk bermain judi. Bahkan apabila dirinya merupakan pecandu, harapannya sifat adiktif yang lahir dari perjudian akan hilang berkat sedekah.
Meskipun terdengar tidak cukup realistis apabila cara ini dijadikan sebagai solusi untuk para pecandu judi online, Rasulullah saw pernah bersabda dalam riwayat At-Tirmidzi, “Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskan keburukan.”
Artinya, terkadang pertobatan itu tidaklah mudah sehingga harus dilakukan secara perlahan namun penuh tekad. Pelaku judi online boleh jadi sulit meninggalkan aktivitasnya sebagai penjudi sebab telah menemukan kesenangan di dalamnya, akan tetapi nyatanya kesenangan tersebut adalah sementara.
Di sisi lain, sedekah pun dapat memiliki efek yang sama, yang mana pemberi akan merasakan senang saat memberikan sesuatu yang dimilikinya secara sukarela kepada orang yang membutuhkan. Dengan cara ini Rasulullah saw menawarkan kebahagiaan yang sejati, yang dapat dirasakan buahnya di dunia dan di akhirat. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta