Syariah

Tobat dari Judi Slot, Dikemanakan Uangnya?

Rab, 27 September 2023 | 16:00 WIB

Tobat dari Judi Slot, Dikemanakan Uangnya?

Foto ilustrasi (NU Online/Faizin)

Judi slot kini semakin merajalela. Tidak hanya dilakukan oleh orang-orang kota besar, namun judi slot telah merambah sampai ke pedesaan. Padahal, tidak kurang contoh para penjudi yang berakhir dengan kekalahan dan kehidupannya hancur lantaran kalah dalam judi slot. Biasanya, setelah hartanya ludes, hutangnya pun menumpuk di mana-mana dan kehidupan rumah tangganya berantakan.


Namun, ada juga yang mendapat hidayah untuk berhenti judi slot justru pada saat menang besar. Lantas bagaimana cara bertobatnya dan bagaimana dengan harta haram hasil menang judi slotnya? 


Telah maklum diketahui, bahwa cara taubat adalah dengan bersegera meninggalkan maksiat yang dilakukan, menyesali kesalahan yang telah dikerjakan, dan berkomitmen tidak akan mengulangi perbuatan maksiat serupa lagi. Namun, jika ada kaitannya dengan hak-hak manusia, termasuk juga harta maka harus segera mengembalikannya atau meminta kehalalannya. 


Menurut Imam Al-Ghazali (w. 505 H), jika seseorang bersama pada dirinya harta haram dan ia menginginkan taubat dan terbebas darinya, maka ada tiga hal yang harus ia lakukan. Pertama, jika pemiliknya diketahui dengan pasti maka ia harus mengembalikan kepada pemilik atau wakilnya. Jika sudah meninggal dunia maka menyerahkannya kepada ahli warisnya.


Kedua, jika pemiliknya tidak diketahui dan putus harapan untuk menemukannya maka hendaknya dialokasikan untuk kemaslahatan umum seperti diberikan kepada masjid, madrasah atau kemaslahatan umum lainnya. Dan ketiga, disedekahkan kepada fakir miskin, cukup hanya diberikan kepada seorang fakir saja. 


Masih menurut al-Ghazali yang dinukil Imam Nawawi dalam Majmu'-nya terkait teknis penyerahan harta haramnya adalah sebagai berikut: 


 وَيَنْبَغِي أَنْ يَتَوَلَّى ذَلِكَ الْقَاضِي إنْ كَانَ عَفِيفًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَفِيفًا لَمْ يَجُزْ التَّسْلِيمُ إلَيْهِ فَإِنْ سَلَّمَهُ إلَيْهِ صَارَ الْمُسَلَّمُ ضَامِنًا بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يُحَكِّمَ رَجُلًا مِنْ أهل البلد دينا عالما فان التحكم أَوْلَى مِنْ الِانْفِرَادِ فَإِنْ عَجَزَ عَنْ ذَلِكَ تَوَلَّاهُ بِنَفْسِهِ فَإِنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ الصَّرْفُ إلَى هَذِهِ الْجِهَةِ وَإِذَا دَفَعَهُ إلَى الْفَقِيرِ لَا يَكُونُ حَرَامًا عَلَى الْفَقِيرِ بَلْ يَكُونُ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ عَلَى نَفْسِهِ وَعِيَالِهِ إذَا كَانَ فَقِيرًا لِأَنَّ عِيَالَهُ إذَا كَانُوا فُقَرَاءَ فَالْوَصْفُ مَوْجُودٌ فِيهِمْ بَلْ هُمْ أَوْلَى مَنْ يُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَهُ هُوَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ قَدْرَ حَاجَتِهِ لِأَنَّهُ أَيْضًا فَقِيرٌ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْغَزَالِيُّ 


Artinya: "Seyoginya ia yang bersangkutan, memasrahkan pengalokasian harta haramnya untuk kemaslahatan umum kepada qadhi, ini jika qadhinya seorang yang afif. Jika qadhinya bukan merupakan orang yang afif atau jujur dan amanah maka tidak boleh memasrahkan kepadanya. Jika tetap memasrahkan kepadanya maka dia menanggungnya bila pada akhirnya tidak diberikan kepada yang yang berhak. Dibandingkan dengan membagikannya sendiri masih lebih baik ia mengangkat seseorang yang beragama dan berilmu, bila tidak juga ditemukan ia boleh memasrahkan harta haram tersebut sendiri. Bila ia menyerahkan harta haram tersebut kepada seorang fakir, harta itu tidak haram baginya melainkan halal dan baik. Baginya diperbolehkan menyedekahkan untuk dirinya sendiri dan keluarganya, jika dirinya fakir. Karena jika keluarganya merupakan fakir, maka sifat fakir ada dalam diri mereka, bahkan keluarga yang fakir lebih utamanya orang untuk disedekahi. Dirinya diperbolehkan mengambil dari harta haram tersebut kira-kira kebutuhannya, karena ia juga seorang fakir. Ini adalah pendapat al-Ghazali" (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhadzzab, [Beirut, Darul Fikr], juz IX, halaman 351).


Ringkasnya, seseorang yang memiliki harta haram kemudian ingin bertaubat dan terbebas darinya maka ia harus mengembalikan kepada yang berhak, baik kepada yang bersangkutan langsung, wakilnya, atau ahli warisnya, bila telah meninggal dunia. Jika tidak memungkinkan maka harus dialokasikan untuk kemaslahatan umum atau disedekahkan kepada fakir miskin. Namun, jika dirinya juga seorang fakir maka ia boleh menggunakannya sekedar untuk memenuhi kebutuhannya. Adapun teknis yang lebih utama, ia menyerahkan uang haram tersebut kepada tokoh agama yang amanah untuk mentasarufkan atau membagikannya. Ini lebih baik ketimbang membagi sendiri. 


Walhasil, cara terbebas dari uang haram hasil menang judi slot adalah ditasarufkan untuk kemaslahatan, tidak boleh dirusak, dimusnahkan atau dibuang ke laut. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Imam al-Ghazali: Diriwayatkan dari Muawiyah ibn Abi Sufyan dan selainnya, dari ulama salaf: Imam Ahmad ibn Hambal dan al-Harits al-Muhasibi dan selainnya dari ulama'-ulama' Wira'i berkata: 


 لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ إتْلَافُ هَذَا الْمَالِ وَرَمْيُهُ فِي الْبَحْرِ فَلَمْ يَبْقَ إلَّا صَرْفُهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ 


Artinya: "Karena tidak diperbolehkan merusak harta ini (harta haram) dan membuangnya di laut, maka tidak tersisa cara lain selain mentasarufkan untuk kemaslahatan orang-orang Muslim". Wallahu a'lam bisshawab.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo