Ilmu Tauhid

Jika Allah Maha Bijaksana, Mengapa Kejahatan Diciptakan?

Jumat, 9 Agustus 2024 | 20:00 WIB

Jika Allah Maha Bijaksana, Mengapa Kejahatan Diciptakan?

Ilustrasi TKP. Sumber: Freepik

"Jika Allah benar-benar ada, mengapa Ia ciptakan pembunuh, koruptor, dan pemerkosa?" Ini adalah pertanyaan yang kerap kali dilontarkan oleh orang-orang yang ragu untuk menggugat keimanan seseorang terhadap Tuhan.


Dalam wacana anglophone (penutur bahasa Inggris), model pertanyaan demikian dikenal pula dengan the problem of evil. Permasalahan ini muncul karena kontradiksi yang seolah-olah terjadi antara sifat Allah yang maha sempurna, maha pengasih, dan sekaligus maha kuasa dengan adanya kejahatan yang merajalela.

 

Bagaimana mungkin Tuhan yang demikian bijaksana menciptakan orang-orang zalim yang menyengsarakan dunia lalu menghukum mereka di neraka, padahal Dia seharusnya sudah mengetahui masa depan para penganiaya itu dan punya kuasa untuk menghentikan mereka?


Jika kita teliti lebih mendalam, pertanyaan ini merupakan sejenis loaded question yaitu pertanyaan yang menyimpan beberapa asumsi yang belum tentu benar atau disetujui oleh lawan bicara. 


Dalam serangkaian gugat tanya terkait ‘permasalahan kejahatan’ tersebut, kita akan menemukan bahwa penanya berasumsi kalau semua kejahatan yang terjadi di dunia adalah tanggung jawab Tuhan karena Dia telah mengetahui apa-apa yang akan terjadi, tetapi masih saja menciptakan pelaku dan perbuatan-perbuatan jahatnya.


Namun, kita tidak sepakat dengan asumsi tersebut. Memang benar bahwasanya Allah mengetahui dan menciptakan perbuatan-perbuatan zalim hamba-Nya, tetapi penciptaan atas setiap perbuatan sesungguhnya sesuai dengan pilihan (kasb) si hamba tersebut.


Pengetahuan Allah yang mendahului terjadinya suatu perbuatan tidak menggiring kehendak bebas seorang hamba untuk memilih melakukannya. Dengan demikian, perbuatan jahat seorang anak manusia sesungguhnya adalah tanggung jawabnya sendiri.


Ulasan lebih detail terkait problematika kasb ini dapat dibaca pada artikel penulis ‘Memahami Konsep Free Will dalam Aqidah Islam’.


Akan tetapi, pertanyaan susulan akan segara diajukan. Jika begitu adanya bukankah lebih baik Allah tidak menciptakan manusia sama sekali sehingga kejahatan dan kesengsaraan sama sekali tiada?


Pemikiran semacam itu, sekali lagi, dilandasi oleh asumsi yang sebenarnya keliru yaitu anggapan bahwa Allah sebagai Tuhan ‘wajib’ menghapuskan segala bentuk potensi kejahatan.  Kekeliruan kedua adalah anggapan bahwa ‘kebaikan’ dan ‘kejahatan’ adalah kategori moral yang juga berlaku bagi perbuatan Tuhan.


Pertama, kita tidak sepakat bahwa Allah wajib melakukan sesuatu yang kita anggap ideal. Sebab apabila Allah harus melakukan sesuatu, berarti Dia tidak memiliki kehendak yang mutlak dan dapat dipaksa untuk tunduk pada hal lain di luar diri-Nya. Syekh Al-Baijuri menjelaskan:


ليس عليه تعالى واجب من فعل أو ترك, لأأنه تعالى فاعل بالإختيار, ولو وجب عليه فعل أو ترك لما كان مختارا, لأن المختار هو الذي إن شاء فعل وإن شاء ترك


Artinya, “Tidak ada kewajiban bagi Allah Ta’ala untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu karena Ia adalah Dzat yang bertindak dengan pilihan bebas. Apabila Ia wajib melakukan atau meninggalkan sesuatu, maka kita tidaklah pelaku yang bebas memilih, karena pelaku yang bebas memilih adalah ia yang melakukan sesuatu jika ia mau dan meninggalkannya jika ia mau.” (Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid Syarah Jauharatut Tauhid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1424 H/2004 M], halaman 123).


Adanya paksaan atas tindakan Allah itu tentunya mustahil karena segala sesuatu selain Allah bisa ada saja karena pilihan kehendak dan ciptaan-Nya, bagaimana mungkin sesuatu yang eksistensinya bergantung pada Allah bisa memaksa-Nya melakukan atau meninggalkan sesuatu? Sungguh jauh panggang daripada api.


Beralih ke pertanyaan selanjutnya: jika Allah bebas untuk melakukan segala sesuatu termasuk menciptakan kejahatan di dunia, bukankah hal itu membuat Allah menjadi Tuhan yang jahat juga?


Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, pertanyaan tersebut mencuat karena kesalahpahaman atas konsep ‘baik’ dan ‘buruk’ yang dianggap bebas dari intervensi Tuhan. Padahal Tuhan sebagai sumber keberadaan makhluk adalah juga sumber dari nilai-nilai.


Dengan demikian, konsep baik, buruk, suci, jahat, terpuji, tercela, dan lain sebagainya adalah nilai-nilai yang tidak memiliki esensi hakiki di dalam dzatnya sendiri, melainkan hasil dari intervensi Tuhan itu sendiri. Dalam hal ini Syekh Al-Buthi menulis:


فإذا ثبت أنه لا واسطة بين الله وخلق أي شيء مما تعلقت إرادته بخلقه، وأن كل الموجودات بما فيها من تكيف وأعراض إنما هو بخلق مباشر من الله -فقد ثبت إذا أن الأشياء لا تنطوي (انطواء ذاتيا) على شيء من الحسن والقبح، أي لا يمكن أن تكون متسمة بحسن أو قبح، متأصلين فيها بالطبع لا بالخلق

 

Artinya, “Jika sudah dipastikan bahwa tidak ada perantara antara Allah dan penciptaan apa pun yang Dia kehendaki, serta semua yang ada, termasuk bentuk dan sifat-sifatnya yang diciptakan langsung oleh Allah, maka hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu tidak memiliki nilai baik atau buruk (secara esensial).

 

Artinya, sesuatu tidak bisa dianggap baik atau buruk dengan sendirinya, tetapi kebaikan atau keburukan itu muncul karena diciptakan oleh Allah, bukan karena sifat aslinya." (Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, Kubral Yaqiniyyat Al-Kauniyyah, [Damaskus: Darul Fikr, 1417 H/ 1997 M], halaman 149).


Agar lebih mudah memahami, coba pikirkan sebab sesuatu itu dianggap baik atau buruk dan dari mana sebab itu muncul. Misalnya, jujur itu baik dan bohong itu buruk. Mengapa?

 

Alasannya bisa banyak, mulai dari akibat kejujuran dan kebohongan terhadap individu atau masyarakat, ganjaran yang diberikan di akhirat atas pelakunya, hingga kecenderungan hati manusia terhadap baiknya kejujuran dan buruknya kebohongan.


Dari alasan-alasan tersebut, tampak bahwa semua itu bisa terjadi karena model kehidupan yang Allah ciptakan di dunia ini. Allah bisa saja membuat hati manusia condong menilai kejujuran sebagai buruk dan kebohongan sebagai baik.


Begitu pula Allah kuasa untuk menciptakan model kehidupan di mana kejujuran dan kebohongan tidak memiliki nilai baik dan buruk karena kemanfaatannya yang hilang. Selama ini kita menganggap kebohongan itu buruk karena akan memberikan informasi keliru yang selanjutnya berpotensi membuat kita keliru dalam mengambil keputusan.


Kejujuran kita anggap baik karena dengan informasi yang benar kita bisa memilih tindakan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan kita. Namun andai Allah menciptakan model kehidupan di mana manusia bisa memenuhi kebutuhannya secara langsung tanpa perlu pertimbangan informasi, bukankah jujur dan bohong itu menjadi tidak memiliki nilai lagi?


Walhasil, kebaikan dan kejahatan sebenarnya adalah nilai moral yang Allah ciptakan untuk menguji perbuatan manusia. Dengan demikian, menggunakan nilai moral tersebut untuk menguji kebijaksanaan Allah adalah logika yang terbalik. Wallahu a'lam


Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy