Tasawuf/Akhlak

Beda Tauhid Rububiyyah-Uluhiyyah Ibnu Taimiyyah dengan Aswaja

Sel, 12 Desember 2023 | 20:00 WIB

Beda Tauhid Rububiyyah-Uluhiyyah Ibnu Taimiyyah dengan Aswaja

Tauhid. (Foto: NU Online)

Ibnu Taimiyah membagi tauhid kepada tiga macam tauhid, Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asma wa Sifat. (Taqiyuddin Ahmad bin Ibnu Taimiyah, Majmuatu Al-Fatawa, jilid II (Kairo: Daar al Wafa, 2005), hal. 22).


Tauhid Rububiyah diartikan sebagai pengakuan kuat bahwa Allah adalah Tuhan dan Penguasa segala sesuatu. Dialah pencipta dan penguasa segala sesuatu, yang mengatur seluruh alam semesta, tiada satu pun sekutu dalam kepemilikannya. 


Dalam Tauhid Rububiyah, tidak ada yang tidak tunduk pada perintah Allah, tidak ada yang campur tangan terhadap hukum-Nya, tidak ada seorang pun yang mengikuti kekuasaan-Nya dan tidak ada seorang pun yang setara atau bersaing dengan-Nya dalam arti ketuhanan. (Amal al-‘Amru, al-Alfaz wal Mushthalahat al-Muta’alliqah bi Tawhid al-Rububiyyah, hal. 26).


Sedangkan Tauhid Uluhiyah diartikan pengkhususan ibadah kepada Allah dalam perkataan, niat, dan perbuatan. Seorang hamba tidak bernazar kecuali pada-Nya, tidak menyeru kepada siapa pun di waktu senang atau susah dan tidak meminta pertolongan kecuali pada-Nya, tidak bergantung kepada siapa pun kecuali pada Allah. (Abdurrahman bin Hasan, Fathul Majid syarh Kitab Tauhid, hal. 84).


Secara sederhana, Tauhid Rububiyah ingin menegaskan bahwa seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah pengatur alam semesta, sedangkan Tauhid Uluhiyah adalah pengesaan ibadah hanya kepada Allah semata, bukan kepada selainnya.


Pandangan orang-orang yang meyakini penuh pembagian tauhid kepada Rububiyyah dan Uluhiyyah mengharuskan seseorang untuk bertauhid dengan kedua jenis tauhid ini. Menurut mereka, ada orang-orang yang bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah saja, misalnya orang-orang Musyrik Jahiliyah.


Orang-orang Musyrik Jahiliyah menurut kelompok ini sebenarnya sudah bertauhid, akan tetapi Tauhid Rububiyah saja, yaitu meyakini bahwa Allah yang menciptakan alam semesta, matahari, bulan dan lain-lain. Pendapat ini didasarkan pada ayat Al-Ankabut ke-61:


وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُۗ فَاَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ


Artinya: “Jika engkau bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan,” pasti mereka akan menjawab, “Allah.” Maka, mengapa mereka bisa dipalingkan?” (QS Al-Ankabut [60]: 61).


Menurut mereka, kaum Musyrik Jahiliyah bertauhid Rububiyyah saja tanpa bertauhid Uluhiyyah, sehingga mereka tidak mengesakan Allah, akan tetapi menyekutukannya dengan sesembahan lainnya, sebagaimana ayat az-Zumar ke-3:


وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ


Artinya: “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS Az-Zumar: 3).


Kritik pembagian tauhid menjadi Rububiyyah dan Uluhiyyah

Pembagian tauhid dalam kitab-kitab tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah secara global terbagi kepada 3 saja, yaitu Ilahiyyat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, Nubuwwat yang terkait dengan sifat-sifat para nabi dan rasul, dan Ghaybiyyat yang terkait dengan hal-hal ghaib seperti malaikat, surga, neraka, jin dan lain sebagainya.


Dalam istilah ulama Ahlussunnah wal Jamaah, tauhid kepada Tuhan (rabb) sebagai pengatur alam semesta sama saja dengan tauhid kepada ilah atau Tuhan yang disembah. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Justru ketika dipisah akan menjadi rancu dan kontradiktif.


Implikasi dari klasifikasi tauhid menjadi dua, Rububiyyah dan Uluhiyyah, adalah bahwa ada orang-orang yang bertauhid namun Tauhid Rububiyyah saja, tanpa Tauhid Uluhiyyah sebagaimana penjelasan di atas.


Lebih parahnya, klasifikasi ini akan memudahkan orang untuk menuduh seseorang yang bertawasul, melakukan istighatsah atau meminta barakah melalui shalawat Nabi dan doa orang saleh sebagai perilaku syirik. Karena berpendapat adanya unsur menyembah selain Allah atau hilangnya Tauhid Uluhiyah dari dirinya.


Pembagian tauhid kepada Uluhiyyah dan Rububiyyah ini belum pernah dijelaskan oleh para ahli kalam sebelum Ibnu Taimiyyah. Di sisi lain, Nabi pun ketika menyeru manusia tidak membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah, keduanya adalah satu kesatuan.


Pada hakikatnya, orang-orang yang bertawasul, berziarah dan meminta doa orang saleh bukan sedang meyakini bahwa ada manfaat dan bahaya pada praktik yang berupa wasilah tersebut, akan tetapi Allah semata yang dapat memberi manfaat maupun bahaya.


Justru orang yang bermasalah keyakinannya adalah yang meyakini bahwa orang hidup dapat memberi manfaat dan orang yang sudah wafat dalam kuburan tidak dapat memberi manfaat. Ulama Ahlussunnah wal Jamaah pun meyakini demikian, bahwa baik hidup maupun mati, sama-sama tidak memberikan efek (ta’tsir) manfaat maupun mudharat. (Syifa binti Hitho, Al-Haqaiq al-Jaliyyah syarh al-Kharidah al-Bahiyyah, halaman 21).


Kesimpulannya, menurut para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah sebenarnya adalah diduga bagian dari satu kesatuan dan tidak dapat dibeda-bedakan. 


Orang yang menyembah Allah, dengan tentu meyakini bahwa alam semesta adalah ciptaannya. Begitupun sebaliknya, orang yang meyakini bahwa alam semesta beserta takdirannya diciptakan dan diatur Allah, maka otomatis ia mengikuti apa yang disyariatkan Allah sebab ia adalah hamba-Nya. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences