Ilmu Tauhid

Baik dan Buruk menurut Kelompok Sunni dan Mu'tazilah

Sen, 2 Januari 2023 | 19:00 WIB

Baik dan Buruk menurut Kelompok Sunni dan Mu'tazilah

Kelompok Mu'tazilah dan Kelompok Sunni mendiskusikan konsep baik dan buruk secara mendalam. (Ilustrasi: NU Online)

Salah satu tema kajian akidah yang sempat menjadi perdebatan antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlusunnah wal Jamaah (Sunni) ialah terkait siapa yang berhak menentukan baik dan buruk.


Kelompok Mu’tazilah dalam hal ini mengedepankan akal hingga menyatakan bahwa hukum itu ditentukan oleh akal. Berbeda dengan Sunni yang menyatakan bahwa hanya Allah yang berhak menentukan hukum.


Dari perbedaan cara pandang ini, maka imbasnya, Sunni berpendapat bahwa sebelum diutusnya Rasul yang membawa syariat dari Allah, maka tidak ada hukum syariat yang berlaku, oleh karena itu tidak ada konsep dosa dan pahala sebelum diutusnya Nabi. Sebaliknya Mu’tazilah berpandangan bahwa akal bisa menemukan konsep tentang baik dan buruk dan oleh karena itu meskipun misalnya Allah tidak mengutus Rasul, seseorang tetap saja dianggap berdosa jika ia tak beriman karena bagi mereka, akal bisa menemukan hakikat ketuhanan meski tanpa adanya petunjuk ayat yang dibawa oleh Rasul.


Mu’tazilah berargumen bahwasanya akal kita memiliki potensi besar untuk menemukan kebenaran karena bisa menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Misalkan, tanpa ada Rasul yang diutus pun kita tahu bahwa berbohong itu jelek dan jujur itu baik. Maka dengan potensi ini, semestinya akal pun bisa menemukan hakikat hukum syariat.


Menanggapi argumen tersebut, Sunni mengeluarkan pendapat yang moderat dengan membagi pemaknaan baik dan buruk. Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Kitab Jam‘ul Jawami‘ sebagaimana terdapat dalam Kitab Hasyiyah Al-‘Attar, juz I, halaman 80 mengatakan:


قوله (الْحُسْنُ وَالْقُبْحُ) لِلشَّيْءِ (بِمَعْنَى: مُلَاءَمَةِ الطَّبْعِ وَمُنَافَرَتِهِ) كَحُسْنِ الْحُلْوِ وَقُبْحِ الْمُرِّ (وَ) بِمَعْنَى (صِفَةِ الْكَمَالِ وَالنَّقْصِ) كَحُسْنِ الْعِلْمِ وَقُبْحِ الْجَهْلِ (عَقْلِيٌّ) أَيْ يَحْكُمُ بِهِ الْعَقْلُ اتِّفَاقًا (وَبِمَعْنَى تَرَتُّبِ الْمَدْحِ) وَ (الذَّمِّ عَاجِلًا) وَالثَّوَابِ (وَالْعِقَابِ آجِلًا) كَحُسْنِ الطَّاعَةِ وَقُبْحِ الْمَعْصِيَةِ (شَرْعِيٌّ) أَيْ لَا يَحْكُمُ بِهِ إلَّا الشَّرْعُ الْمَبْعُوثُ بِهِ الرُّسُلُ أَيْ لَا يُؤْخَذُ إلَّا مِنْ ذَلِكَ وَلَا يُدْرَكُ إلَّا بِهِ


Artinya: “Baik dan buruknya segala sesuatu apabila dimaknai sebagai sesuatu yang bisa membuat hati menjadi condong atau sebaliknya enggan seperti baiknya rasa manis dan buruknya rasa pahit, atau dengan kata lain dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat sempurna atau sebaliknya bersifat kurang sebagaimana baiknya memiliki ilmu dan buruknya kebodohan, maka hal itu bisa ditentukan dengan akal kita secara sepakat. Sedangkan apabila baik dan buruk itu dimaknai sebagai sesuatu yang berpotensi melahirkan sanjungan atau sebaliknya hinaan di masa sekarang (dunia) dan berpotensi melahirkan pahala atau sebaliknya siksa di kemudian hari (neraka) sebagaimana baiknya ketaatan dan buruknya maksiat, maka hal itu hanya bisa ditentukan lewat syariat yang dibawa oleh Rasul, dalam arti hanya syariat yang dibawakan oleh Rasul yang bisa menghukumi baik dan buruk tersebut, atau dengan kata lain klaim baik atau buruk hanya bisa ditemukan dan dideskripsikan menggunakan syariat yang dibawa oleh Rasul.”


Dari penjelasan di atas bisa kita pahami bahwa untuk hal-hal yang parameternya adalah kecenderungan hati atau tabiat kemanusiaan kita, maka itu bisa dihukumi oleh akal, sementara untuk hal-hal yang parameternya adalah pahala atau dosa, maka kita hanya bisa menentukannya dengan syariat yang dibawa oleh Rasul.


Argumen ini tentu saja berbeda dengan apa yang diyakini oleh Mu’tazilah karena bagi mereka, akal bisa menentukan baik dan buruk dari sudut pandang manapun yang melahirkan maslahat maupun mafsadah yang kemudian hal tersebut selaras dengan konsep baik dan buruk menurut Allah.


Penentuannya bisa secara otomatis seperti akal paham bahwa berbohong itu buruk dan berkata jujur itu baik, atau penentuannya dilakukan sesudah proses pemikiran seperti akal memahami bahwa berbohong jika untuk kebaikan maka itu baik.


Namun demikian, tentu kita sama-sama tahu bahwa pengetahuan Allah sifatnya Maha Luas sementara akal pikiran manusia sangat terbatas. Oleh karena itu menyatakan bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah bisa ditemukan oleh akal tanpa adanya wahyu, rasanya sangat sulit untuk dibuktikan.


Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.


Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes.