Sirah Nabawiyah

Jejak Agama Hanif dan Penyimpangan Akidah Masa Jahiliah

Jum, 17 Desember 2021 | 09:00 WIB

Jejak Agama Hanif dan Penyimpangan Akidah Masa Jahiliah

Ilustrasi masa jahiliah. (Foto: Saffagah)

Nabi Muhammad saw membawa ajaran Islam di tengah bangsa Arab yang sudah mapan dengan akidahnya. Hanya saja, agama yang mereka anut sudah jauh dari garis wahyu yang sudah disampaikan oleh Allah melalui Nabi Ibrahim as jauh sebelumnya. Di sini lah peran Rasulullah untuk meluruskan kembali sekaligus memperbarui akidah masyarakat jahiliah.


Agama Hanif

Untuk bisa mengkaji sejarah dakwah Nabi Muhammad saw dengan utuh, kita tidak boleh melupakan kondisi sosial religius masyarakat Makkah ketika itu, baik saat masa jahiliah ataupun sebelumnya. Sebelum masa jahiliah, bangsa Arab telah menganut agama Hanif, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Hal demikian terjadi karena bangsa Arab sendiri merupakan anak cucu Nabi Ismail as, putra Ibrahim. Allah swt menegaskan dalam Al-Qur’an,


قُلۡ صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ  


Artinya: “Katakanlah: ‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah’. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. (QS. Ali Imran [3]: 95)


Kata ‘Hanif’ disebutkan jelas pada ayat di atas sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Dalam beberapa ayat lain, Allah swt juga menyebutkan jelas kata tersebut. Seperti dalam surat Al-An’am ayat 161 dan surat An-Nahl ayat 123.


Berdasarkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, ayat tersebut memerintahkan umat Muslim untuk mengikuti agama yang dibawa Nabi Ibrahim tersebut. Karena pada dasarnya ajaran Ibrahim sama dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (Ibnu Katisr, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim, juz II, h. 66) 


Maksud agama Nabi Ibrahim sama dengan Nabi Muhammad adalah dalam hal bertauhid, yaitu sama-sama memerintahkan untuk hanya menyembah Allah swt, sebagaimana esensi setiap ajaran nabi-nabi pada umumnya.


Setelah sekian abad berlalu, ajaran Nabi Ibrahim mulai mengalami banyak penyimpangan oleh pemeluknya sendiri. Agama yang dulu hanya menyembah satu Tuhan, kini tidak lagi. Kian hari, parktik-praktik kemusyrikan semakin marak di kalangan masyarakat Arab. Kebodohan bangsa saat itu membuat mereka akhirnya terjerumus dalam taklid buta kepada para nenek moyang untuk menyembah berhala dan banyak laku kemusyrikan lainnya. Karena itulah Nabi Muhammad diutus.


Berhala pertama

Sebelum bangsa Arab terjerumus dalam kemusyrikan, mereka adalah bangsa yang berpegang teguh pada akidah yang bersumber dari wahyu Allah swt. Semuanya berubah ketika seseorang bernama Amr bin Luhay bin Qam’ah (leluhur Suku Khuza’ah) membawa berhala pertama ke Makkah dan mengajak orang-orang untuk menyembahnya. Berhala itu bernama Hubal yang ia bawa dari Syam.


Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya menjelaskan, seorang yang bernama Amr bin Luhay pergi dari Makkah menuju ke Syam untuk suatu kepentingan. Begitu ia tiba di daerah bernama Maarib, di wilayah Balqa yang didiami oleh suku Amaliq (keturunan dari Imlaq), Amr melihat orang-orang itu menyembah berhala dan bertanya, “Berhala-berhala model apakah yang kalian sembah itu?”


Mereka menjawab, “Kami memuja para berhala untuk meminta hujan, kemudian mereka pun menurunkannya. Kami memohon kepada mereka, dan mereka mengabulkan permohonan kami.” Rupanya Amr begitu saja mempercayai semua itu dan membuatnya tertarik untuk meminta satu berhala yang bernama Hubal untuk dibawa ke Jazirah Arab dan disembah penduduk setempat.


Dalam versi lain disebutkan, kemunculan berhala murni karena faktor internal orang-orang Makkah sendiri. Dikisahkan, saat masyarakat penduduk Makkah mengalami kesulitan, mereka akan pergi ke negeri-negeri lain dengan membawa batu-batu dari tanah suci Makkah sebagai bentuk penghormatan. Jika sampai di sebuah tempat, mereka berhenti dan meletakkan batu tersebut untuk diputari, persis seperti saat thawaf mengelilingi Ka’bah.


Lambat laun, tradisi ini mengalami pergeseran paradigma dan penyimpangan makna. Sikap hormat yang berlebihan pada batu-batu tersebut kebablasan dan dijadikan berhala untuk disembah. Kian hari, penyimpangan akidah mereka kian parah, hingga ajaran-ajaran agama Nabi Ibrahim lenyap begitu saja. Kendati demikian, masih ada beberapa orang yang mengajarkan agama Ibrahim tersebut, seperti Qass bin Sa’idah al-Iyyadi, Ri’ab asy-Syinni, dan Buhaira sang Rahib. 


Meski begitu, ajaran-ajaran yang dibawa kelompok setia tersebut juga tidak lagi murni sebagaimana apa yang dulu Nabi Ibrahim sampaikan. Seperti redaksi kalimat talbiyah yang mengalami reduksi sebagai berikut,


لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ. لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ إِلَّا شَرِيْكٌ هُوَ لَكَ. تَمْلِيْكُهُ وَ مَا لَكَ


Artinya: “Aku menyambut seruan-Mu ya Allah, aku menyambut seruan-Mu. Tiada sekutu kecuali sekutu yang Engkau miliki. Yang Engkau miliki dan dia miliki pula.” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, juz I, h. 94-96)


Dalam catatan Ibnu Hisyam dijelaskan, begitu penduduk Makkah meninggalkan agama Nabi Ismail, mereka menamai berhala-berhala dengan nama mereka sendiri, baik yang masih memiliki garis keturunan dengan Nabi Ismail ataupun bukan. Seperti Hudzail bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar yang membuat berhala dengan nama Suwa’ dan Kalb bin Wabrah dari Qudha’ah dengan berhala bernama Wadd. (Ibnu Hisyam, juz I, h. 97)


Demikianlah kondisi sosial religius bangsa Arab ketika Nabi Muhammad saw diutus. Artinya, masyarakat saat itu benar-benar berada dalam penyimpangan agama yang serius. Meski begitu, mereka pernah memiliki rekam historis keagamaan yang benar dengan memeluk agama Hanif. Di sini lah tugas Nabi untuk mengembalikan mereka ke dalam ajaran yang lurus. 


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta