Ilmu Tauhid

Menyingkap Bid’ah: Antara Hadits dan Pandangan Ulama

Kamis, 10 April 2025 | 13:00 WIB

Menyingkap Bid’ah: Antara Hadits dan Pandangan Ulama

Sumber: Canva/NU Online

Dalam beberapa waktu terakhir, sebuah serial yang mengangkat tema bid’ah menjadi viral dan memicu perbincangan hangat di masyarakat. Serial ini mengisahkan seorang tokoh jahat yang berkedok agama, memanfaatkan ritual-ritual keagamaan demi meraih keuntungan duniawi.

 

Namun, di tengah kontroversi tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apa sebenarnya bid’ah menurut ajaran Islam? Apa saja hadits-hadits yang berkaitan dengannya, dan bagaimana cara memahaminya secara tepat?


Hadits-Hadits Terkait Bid’ah

Dalam memahami konsep bid’ah, terdapat beberapa hadits yang menjadi rujukan utama. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:


كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ


Artinya, "Setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat."


Hadits ini sering dipahami dalam konteks syariat, di mana "muhdatsah" merujuk pada perkara yang bertentangan dengan nash-nash atau prinsip syar’i.


Di sisi lain, terdapat hadits yang memberikan perspektif berbeda:


مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ


Artinya: "Barang siapa yang membuat sunnah hasanah (baik) dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang membuat sunnah sayyi’ah (buruk), maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun," (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, [Beirut: Muassasatur Risalah, 1421 H/2001 M], jilid XXXI, hlm. 510).


Hadits ini menunjukkan bahwa tidak semua perkara baru otomatis dihukumi sebagai bid’ah yang sesat. Ada perkara baru yang dinilai positif selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.


Pembagian Bid’ah: Hasanah dan Sayyi’ah

Pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu hasanah (baik) dan sayyi’ah (buruk), memiliki dasar yang kuat dalam pemahaman ulama. Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh Al-Baihaqi, memberikan penjelasan sebagai berikut:


قَالَ الشَّافِعِيُّ رضي الله عنه: الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فَهَذِهِ بِدْعَةٌ ضَلَالَةٌ. وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لَا يُخَالِفُ وَاحِدًا مِنْ هَذِهِ، فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُومَةٍ


Artinya: "Imam Syafi’i berkata: Perkara baru itu ada dua jenis: yang bertentangan dengan Kitab, Sunnah, atsar, atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari ini, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela," (Al-Baihaqi, Al-Madkhal ilas Sunanil Kubra, [Kuwait: Dar al-Khulafa’ lil-Kitab al-Islami, t.t.], hlm. 206)


Banyak ulama menegaskan bahwa tidak semua perkara baru dihukumi sebagai bid’ah yang sesat. Salah satu contoh adalah pernyataan Sayyidina Umar bin Khattab ketika mengumpulkan umat Islam untuk salat tarawih berjamaah:


نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ


Artinya, "Sebaik-baik bid’ah adalah ini."


Sayyidina Umar tidak memaksudkan bid’ah dalam pengertian syar’i yang tercela, melainkan dalam pengertian bahasa, yaitu perkara baru yang baik dan memberikan maslahat.


Imam 'Izzuddin bin Abdus Salam, sebagaimana dikutip oleh Syekh Azzarkasyi, menyebutkan:


وَقَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ: هِيَ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَتَنْقَسِمُ إِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ، وَطَرِيقُ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرْعِ، فَأَيُّ حُكْمٍ دَخَلَتْ فِيهِ فَهِيَ مِنْهُ


Artinya: "Syekh ‘Izzuddin berkata: Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW, dan bid’ah terbagi menjadi lima hukum (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram). Cara mengetahuinya adalah dengan membandingkan bid’ah tersebut dengan kaidah-kaidah syariat; hukum mana pun yang dimasukinya, maka ia termasuk dalam hukum tersebut," (Az-Zarkasyi, Al-Mantsur fil Qawa’idil Fiqhiyyah, [Kuwait: Kementerian Wakaf Kuwait, dicetak oleh Kuwait Press Company, 1405 H/1985 M).


Klasifikasi ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap perkara baru harus berdasarkan dampaknya terhadap syariat dan maslahat umat. Oleh karena itu, memahami bid’ah memerlukan kehati-hatian dan ilmu yang mendalam agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapannya.


Lantas, Apa yang Disebut Bid’ah Sayyi’ah?

Bid’ah sayyi’ah adalah segala hal baru yang diada-adakan dalam agama tanpa landasan dari ajaran syariat atau tanpa mengikuti prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam agama. Imam Al-Khaththabi menjelaskan:


وَهِيَ كُلُّ شَيْءٍ أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ أَصْلٍ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ، وَعَلَى غَيْرِ عِيَارِهِ وَقِيَاسِهِ، وَمَا كَانَ مِنْهَا مَبْنِيًّا عَلَى قَوَاعِدِ الْأُصُولِ وَمَرْدُودًا إِلَيْهَا فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَا ضَلَالَةٍ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ


Artinya, "Segala sesuatu yang diadakan tanpa dasar dari prinsip-prinsip agama dan tidak sesuai dengan tolok ukur serta qiyasnya. Adapun yang didasarkan pada kaidah-kaidah prinsip agama dan merujuk kepadanya, maka itu bukan bid’ah ataupun kesesatan. Dan Allah lebih mengetahui," (Al-Khaththabi, Ma’alimus Sunan, [Aleppo: Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, 1351 H/1932 M], jilid IV, hlm. 301).


Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa bid’ah sayyi’ah adalah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam secara mendasar. Lebih lanjut, Ibn Abdil Barr memberikan pandangannya tentang bid’ah yang tercela. Beliau berkata:


فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّينِ خِلَافًا لِلسُّنَّةِ الَّتِي مَضَتْ عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ بِدْعَةٌ لَا خَيْرَ فِيهَا، وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا، وَالْأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهَجْرَانِ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوءُ مَذْهَبِهِ، وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍ لَا تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَةُ الْبِدْعَةِ


Artinya: "Apa yang dalam agama menyelisihi sunnah yang telah menjadi tradisi dalam amal, maka itu adalah bid’ah yang tidak memiliki kebaikan sama sekali. Wajib untuk mencelanya, melarangnya, memerintahkan untuk menjauhinya, serta meninggalkan pelakunya jika tampak buruk keyakinannya. Adapun bid’ah yang tidak menyelisihi dasar syariat dan sunnah, maka itu adalah bid’ah yang baik," (Ibnu Abdil Barr, Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad, Al-Istidzkar, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H/2000 M], jilid II, hlm. 67).


Penegasan ini memberikan batasan yang jelas bahwa bid’ah yang tercela adalah yang bertentangan dengan sunnah Nabi dan prinsip-prinsip syariat.


Ibn Rajab al-Hanbali juga memberikan definisi yang memperkuat pemahaman ini. Beliau menyatakan:


وَالْمُرَادُ بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيعَةِ يَدُلُّ عَلَيْهِ، وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الشَّرْعِ يَدُلُّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً


Artinya: "Yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa dasar dari syariat yang menunjukkannya. Adapun sesuatu yang memiliki dasar dari syariat yang menunjukkannya, maka itu bukan bid’ah secara syar’i, meskipun secara bahasa tetap disebut bid’ah," (Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, [Kairo: Darus Salam, 1424 H/2004 M], jilid II, Hal. 871).


Dengan demikian, bid’ah sayyi’ah adalah inovasi dalam agama yang tidak memiliki rujukan sama sekali dalam syariat dan patut dihindari oleh setiap Muslim. Hal baru yang sejalan dengan dalil umum dan membawa kemaslahatan tidak menjadi masalah dalam syariat.

 

Contohnya, tabarruk kepada orang saleh dengan doa atau peninggalannya, serta perayaan Maulid Nabi untuk mengingat dan meneladani beliau, selama niatnya tetap ikhlas karena Allah dan tidak bertentangan dengan hukum Islam.


Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bid’ah dalam Islam terbagi menjadi dua: hasanah (baik) dan sayyi’ah (buruk). Bid’ah hasanah adalah perkara baru yang sejalan dengan prinsip syariat, tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits, atau ijma’ ulama, serta memberikan maslahat bagi umat. Sementara itu, bid’ah sayyi’ah adalah segala bentuk inovasi yang menyimpang dari ajaran Islam, tidak memiliki dasar syar’i, dan berpotensi menyesatkan.


Pemahaman yang tepat tentang bid’ah sangat penting agar umat Islam tidak terjebak dalam sikap ekstrem, baik yang menolak segala hal baru secara mutlak maupun yang menerima semua praktik tanpa filter syariat.

 

Dengan merujuk pada pendapat ulama yang otoritatif, kita dapat membedakan antara bid’ah yang tercela dan inovasi yang justru memperkaya khazanah keislaman, selama tetap berpegang pada prinsip agama dan tidak menyimpang. Wallahu a'lam.


Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.