Ilmu Hadits

Klasifikasi Bidah Menurut Hadratussyekh KH M Hasyim Asyari

Rab, 21 Desember 2022 | 16:00 WIB

Klasifikasi Bidah Menurut Hadratussyekh KH M Hasyim Asyari

Bidah tersebut dalam hadits sebagai penyimpangan di dalam agama atau heterodoks. (Ilustrasi: shutterstock)

Diskursus soal bid’ah tentunya tidak akan bisa lepas dari pemahaman kita akan sabda Nabi Muhammad saw dalam mukaddimah khutbah beliau. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan redaksi sebagai berikut: 


فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، و"كل" بدعة ضلالة


Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah (hal baru) adalah sesat.”


Sementara Imam An-Nasa’i meriwayatkan dengan redaksi sebagai berikut:


وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار


Artinya: “Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah (hal baru) adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka.”


Telah sama-sama kita ketahui bahwa perdebatan di kalangan ulama terjadi dalam memahami kata “kullu” pada hadits di atas. Ada yang menyatakan bahwa “kullu” tersebut bermakna “setiap” yang konsekuensinya ialah bahwa setiap kebaruan dan ada yang memaknainya “sebagian besar”.


Salah satu ulama yang memaknainya dengan “sebagian besar" ialah Imam Nawawi dalam Kitab Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, juz VI, h. 154:


وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع


Artinya: “Setiap bid’ah adalah sesat, lafal ‘setiap’ (kullu) di sini adalah lafal umum yang bermaksud khusus, yaitu maksudnya sebagian besar bid’ah.”


Lebih lanjut, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari, juz XIII, halaman 254, menjelaskan bahwa tidak semua kebaruan disasar oleh hadits di atas sebagai sebuah kesesatan, hanya yang tidak berlandaskan pada dalil syar’i:


والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام


Artinya: “Yang dimaksud dengan ucapan Nabi Muhammad saw ‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah sesuatu yang baru yang tidak punya dalil dari syari’at, baik dalil itu secara umum atau secara khusus.”


Atas berbagai pertimbangan di atas, Hadratussyekh KH M Hasyim Asyari selaku pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama menyusun sebuah penjelasan dalam karyanya, yakni Risalah Ahlissunnah wal Jamaah fi Haditsil Mauta wa Asyrathis Sa’ah wa Bayani Mafhumi Ahlissunnah wal Jamaah, di mana di situ beliau mengutip Imam Syekh Ahmad Zarruq Al-Burnusi Al-Fasi dalam Kitab ‘Uddatul Murid As-Sadiq yang membuat klasifikasi bidah menjadi tiga tingkatan, yakni:


Pertama, bid’ah sharihah atau yang jelas bidahnya, yakni amalan yang bertentangan dengan landasan syar’i baik dalam bentuk wajib, sunah, mubah dan lainnya. Hal ini bahkan bisa mematikan sunnah atau menganggap salah sebuah kebenaran. Ini adalah bid’ah yang paling buruk.


Kedua, bid’ah idhafi atau bid’ah yang disandarkan pada amalan tertentu yang sunnah atau yang jelas bebas bid’ah.


Ketiga, bid’ah khilafiah yang memiliki dua sandaran yang sama-sama kuat argumentasinya. Satu sisi bidah tapi sisi lain sunnah seperti membuat majelis dzikir.


Dengan klasifikasi tersebut, Hadratussyekh KH M Hasyim Asyari bersepakat bahwa jika suatu pembaharuan tidak keluar dari dalil syara’ maka tidak termasuk bid’ah tercela. Beliau juga mengutip klasifikasi bid’ah yang dirumuskan oleh Syekh Ibnu Abdissalam yang membagi bid’ah menjadi lima macam:


Pertama, bid’ah wajib seperti belajar ilmu nahwu, ilmu tentang bahasa yang belum terpahami (gharib) dalam Al-Qur’an dan sunah yang bisa membantu pemahaman agama.


Kedua, bid’ah haram seperti mazhab-mazhab akidah yang melenceng yang menyerupakan Allah dengan makhluk.


Ketiga, bid’ah yang sunnah seperti pendirian madrasah dan pesantren


Keempat, bid’ah makruh seperti menghias masjid secara berlebihan


Kelima, bid’ah yang mubah seperti berjabat tangan sesudah shalat.


Dengan penjelasan tentang ragam klasifikasi bid’ah ini bisa kita pahami bahwa tidak semua bid’ah itu secara general kita anggap sebagai sebuah kesesatan. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.


Ustadz Mohamad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes