Ilmu Tauhid

Misteri Dajjal dalam Eskatologi Islam: Apakah Sosok Nyata atau Simbol Kejahatan?

Kamis, 15 Agustus 2024 | 11:00 WIB

Misteri Dajjal dalam Eskatologi Islam: Apakah Sosok Nyata atau Simbol Kejahatan?

Ilustrasi setan. Sumber: Canva/NU Online

Dajjal kerap muncul sebagai salah satu sosok yang paling misterius dan penuh kontroversi dalam lintasan eskatologi Islam. Dajjal yang sering digambarkan sebagai pembohong ulung menjadi simbol dari puncak fitnah dan kekacauan menjelang akhir zaman.

 

Dalam Eskatologi Islam, Dajjal bersumber dari kata bahasa Arab yang berakar dari 'Dajala', yang berarti berbohong atau menipu. (Ibnu Manzur Al-Anshari, Lisanul 'Arab, [Beirut: Dar Shadr, 1994], halaman 236).


Dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada penyebutan eksplisit perihal Dajjal, namun beberapa detail banyak disebutkan dalam hadits. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengimani perkara yang gaib, atau dalam ilmu tauhid disebut dengan sam’iyyat, yaitu di mana segala sesuatunya tidak bisa dijangkau dengan akal manusia, melainkan melalui keterangan yang disediakan oleh Allah Yang Maha Tahu.


Para ulama memiliki ragam pendapat terkait Dajjal, apakah nama tersebut menunjukkan sosok individu, atau hanya ungkapan metafora yang melambangkan fitnah, kebohongan, dusta dan keburukan yang akan tersebar di akhir zaman? Berikut salah satu hadits populer terkait dengan Dajjal:


 عن سفينة مولى رسول الله ﷺ قال: خطبنا رسول الله ﷺ فقال: ” ألا إنه لم يكن نبي قبلي إلا قد حذر الدجال أمته، هو أعور عينه اليسرى، بعينه اليمنى ظفرة غليظة، مكتوب بين عينيه: كافر، يخرج معه واديان; أحدهما جنة والآخر نار، فناره جنة، وجنته نار، معه ملكان من الملائكة يشبهان نبيين من الأنبياء، ولو شئت سميتهما بأسمائهما وأسماء آبائهما، أحدهما عن يمينه، والآخر عن شماله، وذلك فتنة، فيقول الدجال: ألست بربكم؟ ألست أحيي وأميت؟ فيقول له أحد الملكين: كذبت. ما يسمعه أحد من الناس إلا صاحبه، فيقول له: صدقت. فيسمعه الناس فيظنون أنما يصدق الدجال، وذلك فتنة، ثم يسير حتى يأتي المدينة، فلا يؤذن له فيها؟ فيقول: هذه قرية ذلك الرجل. ثم يسير حتى يأتي الشام، فيهلكه الله عند  عقبة أفيق.


Artinya: “Diriwayatkan dari Safinah pelayan Rasulullah saw, ia berkata; Rasulullah saw menyampaikan khutbah kepada kami lalu beliau bersabda, 'Ingatlah, sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku melainkan telah memperingatkan bahaya Dajjal terhadap umatnya. Ia bermata satu sebelah kiri, di mata kanannya terdapat kulit tebal, di antara kedua matanya tertulis 'kafir'. Dua lembah keluar bersamanya, salah satunya surga dan yang lainnya neraka. Nerakanya adalah surga dan surganya adalah neraka. Ada dua malaikat bersamanya yang mirip dengan Nabi, andai aku mau pasti nama mereka berdua aku sebutkan dan nama-nama ayah-ayah mereka berdua. Salah satunya berada di sebelah kanan sementara yang lain berada di sebelah kiri. Itu adalah ujian. Kemudian Dajjal berkata. "Bukankah aku Rabb kalian, bukankah aku bisa menghidupkan dan mematikan?" Kemudian salah seorang malaikat menjawab, "Kau dusta." Tidak ada seorang pun mendengarnya selain temannya. Kemudian yang lain menjawab, "Kau benar." Orang-orang mendengarnya dan mengira malaikat itu membenarkan Dajjal. Itu adalah ujian. Kemudian Dajjal berjalan hingga tiba di Madinah tapi tidak diizinkan memasukinya. Ia berkata, "Ini adalah tempat orang itu." Selanjutnya Dajjal berjalan hingga tiba di Syam kemudian Allah membinasakannya di 'Aqabah Afiq'." (Hadits riwayat Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, [Beirut: Darul Fikr, 1991], jilid VIII, halaman 216).


Hadits tersebut berkualitas shahih, meskipun sebagian kritikus hadits memiliki penilaian yang berbeda terhadap satu perawi yang ada pada sanad hadits di atas, yaitu Hasraj bin Nubatah.

 

Mayoritas ulama menilainya sebagai perawi yang kredibel (tsiqah) dan layak (shalih), sedangkan as-Saji berpendapat dha'if (lemah), dan Ibnu Hajar al-'Asqalani menyebutnya kurang teliti, namun kepribadiannya baik sehingga hadits cenderung diterima dengan catatan. (Ibnu Hajar al-'Asqalani, Tahdzibut Tahdzib, [Beirut: Darul Fikr, 1995], halaman 120). 


Imam an-Nawawi berpendapat bahwa hadits-hadits Dajjal seperti di atas adalah dalil dari Allah untuk menguji keimanan hamba-hamba-Nya, apakah percaya dengan eksistensi Dajjal atau tidak.

 

Adapun mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah, para ahli hadits, dan ahli fiqih meyakini kebenarannya. Berbeda dengan orang-orang Khawarij maupun Mu’tazilah yang mengingkarinya. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, [Beirut: Dar Ihya at-Turats 'Arabi, 1972], halaman 58).


Dajjal Sebagai Sosok Individu

Beberapa hadits menyebut karakteristik Dajjal secara spesifik, yaitu wujudnya yang berasal dari kalangan manusia, berambut keriting, keningnya lebar, badannya gemuk, pundaknya bidang, berkulit merah dan salah satu matanya seperti buah anggur. 


Dajjal juga diberikan oleh Allah kemampuan luar biasa untuk menguji ketakwaan manusia. Ia mampu mengeluarkan sihir, menghidupkan orang mati, menurunkan hujan dan menyuburkan tanah, dan bergerak dengan cepat di muka bumi.


Imam an-Nawawi juga menyebutkan bahwa tanda 'Kafara' atau bermakna kafir pada dahi Dajjal adalah petunjuk yang kuat atas kedustaan dan kekafirannya. Allah akan menampakkannya kepada orang Islam, dan menyembunyikannya dari orang akan terperdaya oleh sosok tersebut.


Mayoritas riwayat yang menggambarkan Dajjal adalah dengan menyebut ciri-ciri fisik yang jelas, hingga tanda-tanda kehidupannya. Maka berdasarkan keterangan ini, Dajjal akan datang dengan wujud manusia yang hakiki, bukan metafora. 


Salah satu ulama kontemporer yang juga mewakili pandangan ulama klasik dalam memandang hadits tersebut secara tekstual adalah Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dari Damaskus, Suriah. (Pipin Armita dan Jani Arni, Dinamika Pemahaman Ulama Tentang Hadis Dajjāl, [Jurnal Ushuluddin Vol.25 No.2. Juli-Desember 2017], halaman 215).


Dajjal Sebagai Sifat atau Simbol

Berbeda dengan pandangan di atas, beberapa ulama memiliki pandangan dan pemahaman kontekstual terhadap hadits-hadits Dajjal. Beberapa ulama kontemporer bahkan cenderung merelevansikan beberapa matan hadits tersebut dengan keadaan umat manusia dan perkembangannya di zaman modern terkini. Biasanya kelompok ini menghadirkan takwil dan ta’thil (memberikan pemahaman tidak sebagaimana yang tersurat) dalam metode interpretasi yang digunakan. 


Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim pernah memberi penjelasan terkait kutipan hadits yang berbunyi “Puncak kekufuran terdapat pada arah timur”. Sabda tersebut menurutnya adalah pertanda kemunculan Dajjal dari timur. Kemunculan tersebut diiringi dengan maraknya kezaliman, kekafiran, kesombongan, dan fitnah-fitnah yang besar. (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, [Jakarta: Pustaka Azzam, 2010], jilid I, halaman 627).  


Dalam pemaknaan Imam an-Nawawi di atas, terdapat kesimpulan bahwa Dajjal adalah sosok yang akan muncul dari suatu tempat. Namun di sisi lain, tidak menafikan juga bahwa Dajjal yang dimaksud bermakna metafora, yaitu sebuah ungkapan yang menunjukkan huru-hara kekacauan yang akan terjadi di akhir zaman.


Selanjutnya, Imam Ibnu Hajar pernah menyimpulkan keterangan hadits perihal peperangan antara Dajjal dan Nabi Isa. Hadits tersebut berisi tentang 7000 orang Yahudi di belakang Dajjal dan deskripsi kejadian menjelang hari kiamat.

 

Salah satunya benda-benda mati yang dapat berbicara. Ia menyebut kemungkinan kondisi tersebut diungkapkan dengan majaz, bahwa tidak ada sedikit pun tempat bersembunyi yang aman nantinya. (Ibn Hajar Al-'Asqalani, Fathul Bari, [Jakarta: Pustaka Azzam, 2008], jilid XVIII, halaman 278).

 
Beberapa deskripsi metafora di atas sangat beriringan dengan aspek ketauhidan. Artinya, pada misi penyebaran fitnah yang dibawa oleh Dajjal ada misi teologis yang bertujuan mengguncang keimanan.

 

Keterangan tersebut dapat dilihat dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan yang lainnya, bahwa Dajjal menyebut dirinya sebagai nabi hingga mengaku sebagai Tuhan, seraya menghasut manusia dengan kekuatannya dan berjalan ke penjuru bumi.


Terlepas dari perbedaan interpretasi perihal Dajjal sebagai wujud fisik maupun sifat (simbolis), poin pentingnya adalah untuk menyadarkan kembali umat muslim agar berlindung kepada Allah swt. Terutama meyakini bahwa apa saja yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi saw adalah sesuatu yang valid dan akan terjadi.


Selain itu, sebagai bentuk kewaspadaan dalam menghadapi datangnya fitnah akhir zaman, kita perlu banyak berdoa meminta perlindungan kepada Allah. Nabi Muhammad saw pernah mengajarkan doa khusus dalam menghadapi fitnah Dajjal:


اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Allâhumma innî a‘ûdzu bika min ‘adzâbi jahannama, wa min ‘adzâbil qabr, wa min fitnatil mahyâ wal mamât, wa min syarri fitnatil masîḥid dajjâl.


Artinya: “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari siksa neraka, dan aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur, dan aku berlindung pada-Mu dari fitnah Dajjal.”


Demikian tulisan tentang ragam pendapat terkait makna Dajjal antara sosok personal atau simbol. Tidak ada yang mengetahui interpretasinya secara definitif. Apa pun yang nanti kan terjadi, semoga Allah selalu melindungi kita. Wallahu a’lam.


Ustadzah Sayyida Naila Nabila, Pegiat Kajian Keislaman