Nasional

Ini 3 Hambatan Mahasiswa Baru Beradaptasi di Lingkungan Kampus

Selasa, 1 Juli 2025 | 13:00 WIB

Ini 3 Hambatan Mahasiswa Baru Beradaptasi di Lingkungan Kampus

Mahasiswa baru perlu beradaptasi dengan lingkungan kampus. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Peralihan dari siswa menjadi mahasiswa memerlukan adaptasi yang tidak mudah. Dosen Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga Aufa Abdillah Hanif membeberkan beberapa kendala yang akan dihadapi siswa saat melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi.


Pertama, adaptasi akademik. Aufa mengungkapkan, dari jenjang SMA ke Perguruan Tinggi atau dari siswa ke mahasiswa, mereka akan menghadapi perubahan lingkungan belajar.


Ia menilai, anak-anak SMA terbiasa dengan pola belajar bergantung pada guru dan sistem pengajaran yang terstruktur. Saat menjadi mahasiswa, mereka akan dihadapkan pada perkuliahan yang lebih menuntut self-directed learning atau pembelajaran mandiri.


“Dosen tidak selalu mengejar-ngejar tugas dan materi sering kali hanya diberikan secara garis besar. Mahasiswa dituntut aktif mencari sumber sendiri, membaca jurnal, serta berpikir kritis dan reflektif. Ini bisa jadi kaget budaya akademik, terutama bagi mahasiswa dari daerah pedesaan yang sebelumnya terbiasa dengan pendekatan belajar konvensional,” ujarnya saat dihubungi NU Online pada Selasa (1/7/2025).


Ia menambahkan, hambatan lain terkait budaya akademik yang dihadapi siswa biasanya berupa kemampuan berpikir ilmiah atau komunikasi yang berbeda karena berasal dari berbagai daerah. Hal ini bisa memicu stres dan rasa takut saat berbicara di depan kelas, tidak percaya diri dalam presentasi atau membaca referensi bahasa asing.


“Dukungan teman sebaya dan dosen pembimbing akademik menjadi kunci dalam mengurangi tekanan ini,” terangnya.


Menurut Aufa, dukungan sosial berperan penting untuk membantu siswa beradaptasi di lingkungan sosial baru. Dukungan sosial itu bisa berasal dari keluarga, teman sekampung dan sesama alumni sekolah akan membantu dalam proses adaptasi akademik.


“Di kampus-kampus di Jawa, komunitas kedaerahan seperti ikatan mahasiswa kabupaten atau paguyuban daerah menjadi tempat bernaung yang memberi rasa aman, sekaligus tempat berbagi beban akademik,” jelasnya.


Kedua, penyesuaian budaya baru di kampus. Konselor Psikologi Biro Psikologi Tazkia UIN Salatiga ini menjelaskan, di lingkungan kampus terjadi apa yang disebut sebagai integrasi budaya. Mahasiswa terdiri dari berbagai latar belakang, ada yang berasal dari kota besar, pesantren atau keluarga santri hingga berasal dari latar budaya urban. Sehingga mahasiswa baru harus belajar menyesuaikan gaya komunikasi, berpakaian dan bersosialisasi. 


Ia memberi contoh, misalnya mahasiswa baru dari Jawa yang cenderung berkepribadian pasif dan sungkan saat berargumentasi. Sedangkan budaya kampus mendorong ekspresivitas dan argumentasi. “Adaptasi ini membutuhkan waktu dan pemahaman lintas budaya,” paparnya.


Menurut Aufa, kompetensi bahasa juga menjadi sesuatu momok bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru biasanya menghadapi kendala dalam pemahaman dan penggunaan bahasa akademik dan bahasa Inggris. Program literasi akademik atau pelatihan menulis ilmiah, kata Aufa, sangat membantu mahasiswa untuk menguasai kompetensi bahasa dan membuat mereka perlahan-lahan percaya diri.


Ia mengatakan, dukungan kampus agar mahasiswa memahami budaya kampus biasanya dijalankan dalam program orientasi mahasiswa baru, pelatihan keterampilan bahkan layanan konseling.


“Namun, efektivitasnya bergantung pada seberapa terbuka mahasiswa mencari bantuan,” ungkapnya.


Ketiga, penyesuaian lingkungan baru. Aufa tidak menampik, penyesuaian di lingkungan baru merupakan faktor penghambat mahasiswa baru saat berada di lingkungan atau budaya baru kampus. Misalnya, mereka harus jauh dari keluarga dan tinggal di kos atau asrama secara mandiri.


“Tradisi seperti mengirim paket dari rumah (makanan, baju hangat, atau uang tambahan) menjadi bentuk dukungan emosional dari keluarga di kampung,” paparnya.


Ia menilai jaringan sosial seperti teman-teman kampus, ikatan alumni sekolah, organisasi intra kampus atau kelompok studi keagamaan dapat menjadi sistem pendukung untuk membentuk rasa saling memiliki.


Menurutnya, pendampingan khusus dari pihak kampus untuk membantu mahasiswa baru memahami dan cepat beradaptasi di lingkungan baru sangat penting. Saat ini beberapa universitas seperti UGM, Unnes, atau UIN sudah mempunyai program pendampingan khusus bagi mahasiswa baru, kelompok peer counseling dan komunitas rumah belajar. 


Program seperti ini membantu mahasiswa dari latar belakang berbeda untuk beradaptasi, termasuk mahasiswa minoritas budaya atau yang berasal dari pesantren tradisional.


“Jadi, adaptasi dari siswa menjadi mahasiswa di kampus, terutama di Jawa, bukan hanya soal akademik, tapi juga sosial dan budaya. Perubahan cara belajar, pola hidup mandiri, dan integrasi dengan budaya kampus yang majemuk menjadi tantangan yang signifikan,” katanya.


Senada, Dosen Bahasa Inggris Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora (Fuadah) Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga Risa Suryani mengatakan, tantangan yang seringkali dihadapi mahasiswa baru terkait budaya akademik kampus yang dominan mandiri. 


Menurut Risa, mandiri di sini maknanya menuntut mahasiswa agar terbiasa mencari informasi akademik tanpa intervensi secara intens dari siapapun. Misalnya seperti memilih mata kuliah dan dosen harus dilakukan secara mandiri oleh mahasiswa baru, berbeda ketika masih sekolah, hal tersebut dijadwalkan oleh bagian kurikulum.


"Selain itu, mahasiswa baru harus bisa memanajemen waktu dengan baik antara kegiatan akademik, organisasi dan sosial di luar kampus," jelasnya.